Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton
Pahlawan Nasional pertama dari Buton. Berani memutus perjanjian dengan VOC.
Warga Buton, Sulawesi Tenggara, boleh berbangga. Himayatuddin Muhammad Saidi kini telah resmi menjadi Pahlawan Nasional setelah terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK/2019 tanggal 7 November 2019. Himayatuddin adalah Sultan ke-20 dalam sejarah Kesultanan Buton. Dia berkuasa selama dua periode: 1751—1752 dan 1760—1763.
Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia, mengatakan ikhtiar pengusulan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional dimulai 14 tahun lalu. “Pada 2005, suatu tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Baubau (sebuah kota di Pulau Buton) memulai pekerjaannya untuk melakukan riset dan penulisan,” kata Susanto, yang mendalami sejarah Kesultanan Buton sebagai tema disertasinya, kepada Historia.
Anggota tim silih berganti. Susanto menjadi ketua tim pengusulnya pada 2011. Tugasnya menyusun perbaikan naskah akademis karya tim sebelumnya. Tim Susanto merampungkan naskah itu pada 2012 dan mengajukannya ke Kementerian Sosial. Naskah itu lolos seleksi. Penetapan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional pun tinggal menunggu giliran.
Naskah karya Susanto mengungkap hayat dan pengabdian Sultan Himayatuddin. Himayatuddin lahir pada awal abad ke-18. Tak ada keterangan pasti tentang waktunya. Tapi silsilah dan hayatnya semasa kecil terjabarkan secara terang. Dia anak La Umati Sultan Liauddin Ismail, Sultan ke-13 Buton.
Berjuluk La Karambau
Semua Sultan Buton masih satu garis keturunan dengan generasi awal Kerajaan Buton. Nama Buton telah tercatat dalam Kakawin Negarakertagama. “Sebagai salah satu daerah taklukan Majapahit pada 1365,” catat Susanto Zuhdi dan Muslimin A.R Effendy dalam Perang Buton vs Kompeni-Belanda 1752-1776 : mengenang kepahlawanan La Karambau. Raja pertamanya bernama Wa Khaa-Khaa.
Kedatangan Islam di Buton pada abad ke-15 menandai tonggak sejarah baru Buton. Raja keenam Buton memeluk Islam dan bernama La Kilaponto Muhammad Kaimuddin I. Dia meletakkan Islam sebagai jiwa Kesultanan Buton.
“Islam sebagai dasar falsafah negara. Sistem pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Dasar yang bernama Martabat Tujuh serta undang-undang pelaksanaannya yang dinamakan Istiadatul Azali,” ungkap Susanto dan Muslimin.
Selain lini politik dan pemerintahan, Islam juga merasuk ke lingkup sosial dan budaya. “Islam mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan watak dan akhlak bagi masyarakat Buton,” terang Susanto Zuhdi, G.A. Ohorella, dan M. Said D. dalam Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton.
Setiap anak pembesar Kesultanan pun memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandas Islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan keraton Buton. Dari luar keraton, anak-anak pembesar Kesultanan menerima pendidikan baca-tulis Alquran, baca-tulis aksara Buri-Wolio, dan seni beladiri. Himayatuddin juga menerima pola pendidikan semacam itu.
Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. “Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap,” terang Susanto dan Muslimin. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau.
Memutus Perjanjian
Himayatuddin mengemban tugas pemerintahan pertamanya sebagai Lakina Kambowa atau kepala wilayah desa. Tugas ini memungkinkan dia berinteraksi langsung dengan rakyat sekaligus mendengarkan masalah keseharian mereka. Antara lain perdagangan dengan orang-orang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) dan perilakunya.
Orang Buton dan VOC telah berinteraksi sejak awal abad ke-17. Bahkan hubungan dagang dan politik Kesultanan Buton dan VOC terikat secara resmi oleh perjanjian pada 5 Januari 1613 (Pajanji Awwalina). Perjanjian ini membolehkan VOC menggunakan pelabuhan Baubau, mengendalikan penanaman serta perdagangan rempah, dan memperoleh budak.
Atas penerimaan terhadap VOC, Kesultanan Buton berhak atas bantuan keamanan dari VOC jika sewaktu-waktu Kesultanan Gowa dan Ternate menyerang Buton. Dua Kesultanan ini memiliki ambisi politik dan ekonomi terhadap wilayah perdagangan rempah di perairan timur Hindia.
Ambisi Gowa dan Ternate berhadapan dengan keinginan Kesultanan Buton memperluas wilayahnya. Selain itu, La Elangi, Sultan Buton 1578—1615, berkeinginan menjaga kekuasaan tetap berada pada lingkaran keturunannya.
Tiap kekuatan dagang dan politik di kepulauan timur Hindia berupaya menjalin aliansi strategis dengan pihak lain untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Hubungan mereka tidak selamanya kawan seiring. Pernah pula hubungannya menegang. Berubah sesuai dengan keadaan politik, pertahanan, dan ekonomi masing-masing pihak.
Ada kalanya Kesultanan Buton berkeberatan terhadap perjanjian baru dengan VOC. Ini terjadi setelah VOC berhasil melepaskan Buton dari ancaman Gowa pada 1655.
Sementara Kesultanan Ternate mengurungkan niatnya memperluas pengaruh politik dan ekonominya ke Buton. Ternate justru tetap mengakui kedaulatan Buton dan turut dengan perjanjian baru VOC dengan Buton.
VOC merasa berjasa terhadap Buton. Karena itu, mereka meminta lebih banyak dari Buton. Dalam perjanjian baru pada 25 Juni 1667, VOC menuntut Kesultanan Buton untuk memusnahkan suplai berlebih atas cengkeh dan pala, dua komoditas rempah paling laku. Tujuannya agar harga rempah tetap tinggi. Suplai berlebih akan menyebabkan harga rempah turun dan merugikan VOC.
Kesultanan Buton juga harus mengirim upeti bahan makanan kepada VOC. Kedaulatan mereka pun terancam. Sebab hubungan ekonomi dan politik dengan pihak luar harus seizin VOC dan Kesultanan Ternate.
Melihat kekuatan militer dan ekonomi VOC, Kesultanan Buton terpaksa menerima perjanjian ini. Penerimaan perjanjian ini juga berpunca pada pikiran untuk menjaga stabilitas kehidupan politik, ekonomi, dan keamanan negeri Buton.
Tetapi perjanjian Buton dan VOC mulai goyah pada masa Himayatuddin berkuasa. Sultan ini menerima banyak laporan dari rakyat Buton tentang perilaku congkak orang-orang VOC dalam berdagang. Sikap ini lahir dari porsi istimewa dan besar pedagang VOC di perairan timur.
Himayatuddin menimbang ulang perjanjian Buton dengan VOC. Dia berkesimpulan bahwa perjanjian ini membelenggu Buton dan lebih banyak menguntungkan VOC.
“Himayatuddin telah menyadari betapa peranan dan campur tangan Kompeni Belanda dalam urusan pemerintahan kerajaan, sehingga Kerajaan Buton seperti kehilangan kedaulatannya,” terang Husein A. Chalik dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara.
Bergerilya di Gunung
Himayatuddin berada dalam dilema. Melawan VOC berarti harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. Kekuatan militer VOC cukup besar. Menyerang secara langsung kedudukan mereka akan berakibat buruk. Tetapi tunduk pada perjanjian VOC juga akan menenggelamkan martabat Buton lebih dalam.
Akhirnya Himayatuddin memilih jalan perlawanan. Bentuk perlawanannya berupa pembiaran terhadap kasus perompakan kapal VOC pada 17 September 1750. Yang menarik, kepala perompak adalah seorang bangsa Eropa. Tersebab itu dia berpendapat perompakan adalah urusan internal VOC. Dia menolak tuntutan ganti rugi dari VOC.
Karuan pejabat VOC naik darah. VOC menyebut Himayatuddin tidak taat lagi pada perjanjian sebelumnya dan mengancam akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Buton.
Himayatuddin menyongsong ancaman itu dengan mempersiapkan benteng dan pasukannya. Tetapi sebelum pertempuran pecah, Sara (Dewan Penasihat Kesultanan Buton) mempunyai siasat jitu untuk meredam serangan VOC. Mereka meminta Himayatuddin menyingkir sementara waktu sembari menyusun kekuatan perlawanan. Jabatannya diambil-alih oleh iparnya, Sultan Sakiyuddin
Baca juga: Ketika Kompeni VOC Dimaki dan Dipuji
VOC menerima baik suksesi ini. Sultan baru berjanji memberi VOC kompensasi atas kasus perompakan kapalnya. Tetapi Sultan baru pun enggan memenuhi semua permintaan kompensasi dari VOC. Akibatnya VOC pun menyerang Buton. Perang pecah. Orang Buton menyebutnya sebagai Zaman Kaheruna Walanda atau zaman huru-hara Belanda.
Himayatuddin memimpin perlawanan dari sebuah benteng. Tetapi pasukan VOC berhasil mendesak rakyat Buton. Sakiyuddin dan Himayatuddin pun menyingkir ke pedalaman. Perang pun berakhir. VOC mencoba memperbaiki hubungan dengan Buton.
Himayatuddin tetap menolak menjalin hubungan dengan VOC dan memilih bergerilya di hutan dan gunung. Dia sempat kembali ke keraton dan menjadi sultan lagi serentang 1760—1763. Tapi tak banyak keterangan tentang apa yang dilakukannya dalam rentang waktu itu.
Himayatuddin turun takhta kembali pada 1763 dan memulai lagi perjuangan gerilyanya bersama rakyat. Selama gerilya, dia menekankan pentingnya pewarisan lingkungan kepada generasi setelahnya untuk melestarikan hidup bersama.
Himayatuddin wafat pada 1776 di Gunung Siontapina. Atas ikhtiarnya menentang VOC dan melindungi rakyatnya, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar