Maria Walanda Maramis, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Utara
Perjuangan Maria Walanda Maramis dalam memajukan pendidikan perempuan. Ia juga menuntut agar perempuan memiliki hak yang sama dalam politik.
Senyum terkembang di wajah Maria Walanda Maramis saat membuka Sekolah Rumah Tangga (Huishoud School) di Sulawesi Utara pada 1917. Di tahun yang sama, tepatnya pada 8 Juli 1917, Maria juga mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) yang berperan besar dalam meningkatkan pendidikan bagi perempuan dan anak-anak di Sulawesi hingga ke berbagai daerah.
Maria lahir di Kema, kota pelabuhan kecil di Sulawesi Utara, pada 1 Desember 1872. Orang tuanya meninggal saat ia berusia enam tahun. Ia kemudian dibesarkan oleh paman dan bibinya. Pamannya, seorang Hakim Besar yang terpandang di Maumbi, menyekolahkan Maria dan kakak perempuannya di sebuah Sekolah Melayu. Sejak remaja, Maria sudah memiliki keinginan memajukan kaum perempuan.
J.B. Sudarmanto dalam Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia menyebut perkenalan Maria dengan sejumlah orang terpelajar, salah satunya Pendeta Ten Hoeven, kian membuka matanya akan pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan. Terlebih Maria menyadari pendidikan yang diperolehnya belum memadai karena hanya sekolah dasar. Oleh karena itu, ia mengisi waktunya dengan belajar secara otodidak.
Jalan untuk mewujudkan cita-cita semakin terbuka setelah Maria menikah dengan Yoseph Frederik Calusung Walanda, guru sekolah dasar HIS Manado (Hollandsch Inlandsche School) tahun 1890. Yoseph menjadi teman diskusi paling dekat bagi Maria dalam membahas gagasannya mengenai pendidikan bagi perempuan dan anak-anak.
Dari diskusi itu, Maria berkesimpulan bahwa para ibu merupakan inti dalam rumah tangga. Tugas-tugas yang diemban para ibu, tak hanya menuntut mereka memiliki kepandaian dalam mengatur anggaran belanja keluarga, tetapi juga harus mampu menjaga kesehatan keluarga serta memikirkan nasib anak-anak dan suami. Menurut Maria, pelaksanaan yang baik dari tugas-tugas ini merupakan jaminan bagi ketenteraman keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Maria menyoroti besarnya peran ibu dalam mendidik anak-anak. Namun, ketimpangan sosial dan minimnya perhatian pemerintah membuat mereka tak mendapatkan pendidikan yang baik. Oleh karena itu, Maria mencari cara untuk mendorong pendidikan bagi perempuan dan anak-anak. Maka, digelarlah rapat umum yang dihadiri kaum perempuan di Sulawesi Utara pada 8 Juli 1917.
M.P.B. Manus dalam Maria Walanda Maramis, Pahlawan Nasional menulis, sesudah mendengarkan gagasan dari sejumlah wanita terkemuka di wilayahnya, Maria mengusulkan untuk membentuk organisasi bernama PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya).
Melalui PIKAT, Maria bersama ibu-ibu menyediakan pendidikan bagi anak-anak perempuan yang telah lulus sekolah dasar. Guna mendukung kegiatan tersebut, Maria membuka Sekolah Rumah Tangga (Huishoud School). Di sekolah ini, anak-anak perempuan belajar memasak, menjahit, merawat bayi, serta beragam keterampilan dan kerajinan tangan.
Semangat PIKAT dalam meningkatkan pendidikan perempuan mendapat respons positif dari publik. Tak butuh waktu lama bagi organisasi ini mendirikan cabang di daerah-daerah lain seperti di Gorontalo, Poso, dan Ujung Pandang. Dalam Ensiklopedi Pahlawan Nasional yang disusun oleh Julinar Said, Triana Wulandari, dan Sri Sutjiatiningsih, disebutkan bahwa cabang PIKAT juga berdiri di sejumlah daerah di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bogor, Magelang, dan Malang.
Baca juga: Harga Seorang Pahlawan Nasional
PIKAT menarik perhatian pemerintah kolonial Belanda. Pada 16 Januari 1919, pemerintah mengeluarkan keputusan pengesahannya. Tak hanya itu, Sudarmanto menyebut Gubernur Jenderal Hindia Belanda pernah memberikan bantuan uang untuk mengatasi masalah biaya dalam organisasi tersebut.
Kendala biaya mulai muncul seiring dengan semakin besarnya PIKAT. Maria melakukan berbagai upaya agar PIKAT dapat terus berjalan, mulai dari menjual panganan hingga kerajinan tangan. Selain itu, organisasi ini juga kerap mendapat sumbangan dana dari sejumlah pembesar.
Perjuangan Maria memajukan perempuan tak hanya melalui PIKAT. Ia juga aktif menuliskan gagasan-gagasannya tentang memajukan perempuan melalui surat kabar Tjahaja Siang yang mempunyai reputasi baik di kalangan orang-orang Minahasa. Menurut Manus, surat kabar Tjahaja Siang juga memiliki oplah cukup besar sehingga memungkinkan gagasan-gagasan Maria dibaca dan diketahui oleh lebih banyak orang.
Baca juga: Coreng Moreng Anugerah Pahlawan Nasional
Selain memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan dan anak-anak, Maria juga menggaungkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam politik. Demi memperjuangkan hak politik kaum perempuan, Maria mengadakan kampanye hingga ke Batavia melalui sejumlah surat. Upaya yang dilakukannya menjadi pembahasan yang ramai dibicarakan oleh masyarakat Manado. Alhasil, tuntutan yang diajukan Maria direspons oleh pejabat pemerintah di Batavia.
“Pada awal tahun 1921 ia diberi tahu lewat surat bahwa tuntutannya dikabulkan yaitu kaum wanita diikutsertakan dalam pemilihan anggota-anggota dewan Minahasa Raad,” tulis Manus.
Setelah tahun 1922, Maria yang telah berusia setengah abad, kembali ke Maumbi bersama suaminya. Meski begitu aktivitasnya dalam pergerakan perempuan terus berlanjut hingga ia tutup usia pada 22 April 1924. Jasadnya dimakamkan di Maumbi, Sulawesi Utara.
Berkat jasanya dalam memperjuangkan kaum perempuan, Maria dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1969.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar