Harga Seorang Pahlawan Nasional
Ada kalanya politik kepentingan menyusup ke dalam pengajuan calon pahlawan nasional.
GELAR Pahlawan Nasional merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan kepada warga negara Indonesia. Tahapan dari usulan hingga penetapannya memakan waktu lama dan biaya yang tak sedikit. Toh hal itu tak menghalangi anggota masyarakat, lembaga, dan pemerintah daerah untuk berlomba-lomba mengajukan calon Pahlawan Nasional.
Bagi anggota keluarga, gelar Pahlawan Nasional adalah sebuah prestise. Mereka juga berhak mendapatkan santunan berupa biaya hidup dan kesehatan, yang berlaku hingga generasi kedua.
“Perawatan makam Pahlawan Nasional juga mendapat tanggungan dari pemerintah,” kata Hartono Laras, direktur jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial.
Sebelum tahun 2015, tunjangan hidup sebesar Rp 1,5 juta dan tunjangan kesehatan Rp 3 juta per bulan. Besaran tunjangan itu kemudian diperbaharui. Seluruh tunjangan digabung dan dibayarkan per tahun sebesar Rp 50 juta.
“Sampai saat ini ada 86 keluarga pahlawan yang masih disantuni oleh negara,” ujar Hartono.
Menurut Abdul Syukur, sejarawan dari Universitas Negeri Jakarta yang menjadi anggota Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), kalau dilihat nominalnya, santunan pemerintah untuk keluarga Pahlawan Nasional tidaklah seberapa. Tapi untuk kalangan tertentu gelar Pahlawan Nasional bisa dijadikan modal untuk mendongkrak perolehan suara dalam pemilihan kepala daerah atau wakil rakyat.
“Tak jarang kan ada anak atau cucu tokoh penting di suatu daerah yang memerlukan itu sebagai atribusi historis untuk kepentingan politiknya,” ujar Abdul Syukur.
Sementara bagi pemerintah daerah, Abdul Syukur menambahkan, gelar Pahlawan Nasional merupakan sebuah kebanggaan dan dijadikan ukuran berhasil tidaknya suatu daerah berbicara di pentas nasional. Mereka menganggap daerah mereka punya sumbangsih untuk negeri.
“Pengakuan kultural itu penting,” ujar Abdul Syukur.
Selain kultural, ada keuntungan politis terutama bagi politisi: calon-calon gubernur, bupati, hingga Dewan Perwakilan Daerah. “Kalau berhasil (jadi Pahlawan Nasional) berarti orang ini berhasil mengangkat nama daerah,” ujarnya.
Untuk itu pemerintah daerah rela menggelontorkan dana besar dari kas daerah maupun via sponsor atau perusahaan-perusahaan swasta besar yang bercokol di daerahnya.
“Besarannya bisa mencapai ratusan juta, bahkan milyaran,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Biaya itu diperlukan untuk riset, seminar, hingga pembuatan biografi. Semakin tidak populer seorang tokoh semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan. Khusus untuk riset, biaya akan membengkak jika harus memburu data hingga ke luar negeri.
“Kalau untuk keluarga para pahlawan yang sejahtera sih itu bukan persoalan, tapi bagaimana bagi yang tidak punya uang?” kata Rushdy.
Karena harus melibatkan akademisi, pengajuan pahlawan dari daerah melibatkan sejumlah sejarawan atau ahli sejarah lokal. Mereka tergabung dalam Tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). Mereka bekerja dan diupah atas permintaan pemerintah setempat yang mengajukan pahlawannya.
“Harganya harga pasar gelap. Tergantung penelitian, jauhnya, lamanya,” kata Abdul Syukur.
Sejarawan Didi Kwartanada tidak menafikan adanya uang yang dikeluarkan untuk menyasar anugerah gelar Pahlawan Nasional. Itu ditujukan untuk membiayai sejumlah kegiatan seperti riset, penulisan dan pembuatan buku serta seminar. Kendati tidak bisa menyebut nominalnya, Didi memastikan jumlahnya pasti tidak sedikit. Terlebih beberapa seminar diadakan di beberapa kota.
"Waktu kami (Yayasan Nabil) mengadakan seminar tentang John Lie dan A.R. Baswedan, kami mengadakannya beberapa kali di berbagai kota,"ujar Didi.
Salah satu yang berpengalaman “menelorkan” Pahlawan Nasional adalah Nina Lubis, sejarawan Universitas Padjajaran merangkap ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Barat. Dia antara lain berhasil meloloskan KH Noer Alie, kendati diwarnai polemik terkait plagiatisme. Disebut oleh Ali Anwar (sejarawan Bekasi), Nina menerima Rp25 juta dari pemerintah Kabupaten Bekasi. Sayangnya, Nina belum bersedia diwawancarai Historia.
Tapi Nina juga pernah gagal. Dilansir majalah Arsip edisi 64/Juli-Desember/2014, dia pernah mengajukan nama M. Toha, pejuang Jawa Barat, sebagai Pahlawan Nasional. Pengusulannya selalu kandas oleh TP2GP. Selain sejarah M. Toha masih sumir dan minim data pendukung, kepahlawanannya banyak terjadi di daerah lain.
Menurut Abdul Syukur, sejarawan yang dibayar dalam proyek Pahlawan Nasional adalah lumrah. Selagi tak menyalahi integritas keilmuan, tak ada salahnya kemampuan sejarawan dihargai. Hal itu juga akan mendorong suatu penelitian.
“Itu salah satu kontribusi sejarawan terhadap masyarakat, dibayar ataupun tidak. Tanggungjawab moral sejarawan juga untuk mengajukan pahlawan dengan cara membantu pemerintah daerah karena yang bisa mengusulkan ke pusat itu pemerintah daerah,” kata Abdul Syukur.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar