Masuk Daftar
My Getplus

Taktik Belanda Berantas Amok dan Perlawanan Pribumi

Meski mengizinkan pribumi penderita amok dirawat cuma-cuma, pemerintah kolonial menggunakan kebijakan itu untuk menggembosi perlawanan pribumi.

Oleh: Nur Janti | 12 Okt 2019
Ilustrasi budak yang terserang amok. Sumber: Libcom.org.

SEORANG lelaki Tionghoa mengamuk pada malam 6 Juli 1938. Selain memecahkan cangkir dan piring, ia hampir membunuh anak perempuan dan pembantunya.

Di tempat lain, di Losari, seorang lelaki Jawa keliling desa sambil membawa golok. Dengan seenaknya dia masuk ke rumah orang seraya mengancam akan menebas siapa saja yang menghalangi jalan. Warga desa dibuatnya lari tunggang langgang kendati tak ada korban jiwa dalam keributan ini.

Kedua lelaki itu terserang amok. Si lelaki Tionghoa kemudian dikirim keluarganya ke rumahsakit jiwa (RSJ). Sementara, si lelaki Jawa mesti ditangkap petugas keamanan terlebih dulu sebelum dilarikan ke RSJ.

Advertising
Advertising

Kala itu, pemerintah Hindia Belanda sudah mengizinkan rumahsakit menerima pasien pribumi. Beberapa pasien miskin yang dianggap mengganggu keamanan dirawat secara cuma-cuma. Kebijakan menerima pasien pribumi ini, menurut Sebastiaan Broere dalam tesisnya “In and Out of Magelang Asylum”, didasari keinginan untuk meniadakan anggapan kalau yang bisa terkena gangguan jiwa hanya orang Eropa. Dengan menerima pasien pribumi, pemerintah ingin membuktikan kalau pribumi pun bisa terkena gangguan jiwa.

Baca juga: Jalan Berliku Penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa

Kebijakan itu juga didasari adanya kekhawatiran warga Eropa kalau sewaktu-waktu diserang pribumi yang sedang terkena amok. Serangan mental ini sempat bikin mandor-mandor merasa takut pada budaknya sendiri. Budak yang terserang amok berani menyerang mandor atau majikannya, bahkan hingga membunuh.

Amok merupakan gangguan mental terikat budaya. Penderitanya akan mengalami ledakan emosi yang seringnya diikuti kekerasan. Serangan amok biasanya terjadi setelah mengalami rasa malu atau tekanan psikis ekstrem. Orang yang terserang amok akan menyerang siapapun yang ada di depannya dengan cara mematikan. Satu kali serangan amok biasanya bertahan berjam-jam, diikuti pingsan, dan lupa ingatan. Karena efeknya yang membahayakan orang sekitar inilah kebanyakan penderita amok dimasukkan ke RSJ.

Menurut dr. PKM Travaglino, psikiatris yang bertugas di RSJ Lawang, Malang, skizofrenia yang diderita orang Jawa mirip ciri amok. Penderita skizofrenia memiliki symptom ledakan ekspresi, berbicara tak karuan, berteriak, menyanyi, memaki, merobek baju, hingga bertindak agresif dan destruktif.

Simptom skizofrenia juga mengakibatkan pasien kehilangan orientasi, kurang konsentrasi, mudah tersinggung, dan luapan ekspresi yang tinggi. Dalam “The Development of Psychiatry in Indonesia, From Colonial to Modern Times”, Hans Pols menyebut pasien skizofrenia juga menunjukkan kondisi mental yang di luar nalar. Meski demikian, pasien ini bisa sembuh dalam beberapa minggu.

Baca juga: Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa

Sebelum mengambil kesimpulan bahwa amok merupakan symptom pasien skizofrenia, Travaglino bertemu Emile Kreapelin, ahli psikiatri biologis yang sempat mengunjungi RSJ Bogor. Travaglino menanyakan pengalaman Kreapelin mengahadapi pasien amok. Menurut Kreapelin, seperti ditulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”, amok adalah bentuk dari epilepsi psikis. Namun ketika Travaglino menangani 80 pasien epilepsi, tak satu pun punya gejala seperti amok.

Dalam laporannya tahun 1920, Travaglino menyanggah pendapat Kreapelin. Travaglino menyebut ia sempat sepakat dengan temuan Kreapelin, namun pernyataan Kreapelin tak terbukti. Pasien amok, tulis Travaglino, lebih mirip gejala skizofrenia.

Pasien-pasien amok ini akan menjalani perawatan kejiwaan. Jika dianggap sudah membaik, mereka akan ditempatkan pada bagian pertanian milik rumahsakit. Mereka baru dibebaskan jika dianggap tidak membahayakan lingkungan, sesuai hukum tentang kejiwaan yang ditetapkan pada 1879.

Namun, diksi “membahayakan” jadi amat luas. Menurut Broere, RSJ kadang jadi senjata pemerintah kolonial untuk mengurung orang-orang dengan alasan politik. Dengan begitu kebijakan ini dijadikan alat represif pemerintah untuk menangkapi orang-orang yang membelot.

Baca juga: Mereka yang Dirundung Pasung

Broere menemukan contoh, seorang lelaki Batak berusia 46 tahun yang dimasukkan ke RSJ Magelang meski perilakunya sama sekali tidak mengganggu kenyamanan lingkungan atau membutuhkan penanganan medis. Catatan psikiatris yang menanganinya menyatakan, perilaku si lelaki Batak bisa diterima dan berfungsi normal dalam masyarakat kolonial. Meski demikian, ia tetap dirawat di RSJ Magelang selama 12 tahun. Setelah itu ia dikirim ke daerah pertanian di Lenteng Agung.

Broere menduga si lelaki Batak merupakan pejuang kemerdekaan yang fanatik. Dengan memasukkan tokoh-tokoh perjuangan ke RSJ, ada upaya pelabelan bahwa pembelot mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini merupakan upaya pemerintah Belanda mendelegitimasi protes atau pemberontakan yang dilakukan kaum pribumi.

TAG

mental jiwa kesehatan

ARTIKEL TERKAIT

Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza Di Balik Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia Minyak Mujarab Resep Rahasia Keraton Sumbawa RSUD Pertama di Jakarta Enam Hal Terkait Medis Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban Vaksin Wabah Penyakit Boentaran Martoatmodjo, Menteri Kesehatan Pertama Republik Indonesia Sulitnya Menghadapi Wabah Natural History, Ilmu yang Mendorong Penjelajahan Bangsa Eropa