JACOBUS Bontius senang bukan kepalang. Pembuka jalannya untuk meraih gelar profesor terbuka bersamaan dengan datangnya penunjukan dirinya oleh direksi VOC (Heeren XVII) untuk menangani segala urusan medis kapal selama pelayaran ke Asia pada Agustus 1626. Bontius antusias menerima proyek ini.
Bontius menjadi satu dari sekian ilmuwan yang terkena "wabah" revolusi saintifik. Harold J Cook dalam tulisannya “Global Economies and Local Knowledge in the East Indies” menyebut, kala itu dalam dunia ilmu pengetahuan sedang muncul semangat “revolusi saintifik” dengan kebangkitan kembali natural history.
Ilmu inilah yang mendorong orang Eropa melakukan penjelajahan dunia untuk mencari rempah-rempah dari sumbernya. Pada mulanya, kebangkitan ilmu natural history sebatas mengkaji teks-teks lama. Setelahnya, orang-orang merasa perlu untuk terjun ke lapangan guna megamati langsung dengan tetap berpegang pada teks lama.
“Di sinilah (kebangkitan natural history, red.) yang mendorong mereka melakukan penjelajahan ke Amerika dan dunia timur,” kata Dr. Gani A. Jaelani, sejarawan Universitas Padjajaran, dalam webinar “Rempah-Rempah, Pengetahuan Medis, dan Praktik Kesehatan di Indonesia”, Selasa, 5 Mei 2020.
Baca juga: Kala Sarjana Eropa Ramai-Ramai Teliti Jamu
Gani menjelaskan, natural history merupakan bidang ilmu yang mendeskripsikan alam. Para peneliti Eropa abad pertengahan membaca kembali karya-karya natural history seperti milik Pliny the Elder (Gaius Plinius Secundus) yang hidup pada 23-79 SM. Pliny menyusun ensiklopedi alam, astronomi, botani, farmakologi, dan manifestasi pengetahuan kuno yang ada di alam semesta. Naturalis lain yang karyanya dikaji ulang ialah Dioscarides, hidup sezaman dengan Pliny. Ia meluncurkan buku De Medica Materia dengan 550 entri jenis tumbuhan yang punya manfaat untuk kesehatan.
Pengkajian karya lama ini kemudian memunculkan pengetahuan baru. Naturalis abad pertengahan Conrad Gesner berpendapat bahwa akal dan pengalaman merupakan pilar ilmu pengetahuan. Akal berasal dari Tuhan dan pengalaman berasal dari manusia. Ilmu pengetahuan merupakan perpaduan keduanya sehingga perlu dilakukan observasi di lapangan.
Natural history kemudian berkait erat dengan kolonialisme. Para pegawai kolonial dan naturalis melakukan ekspedisi dalam rangka mengumpulkan informasi demi kepentingan perdagangan dan keilmuan. “Mereka mencari tahu tumbuh-tumbuhan apa saja yang memiliki nilai ekonomis di pasar Eropa. Para dokter punya peran penting dalam penyelidikan manfaat tumbuhan bagi kepentingan ekonomi dan kesehatan,” kata Gani.
Baca juga: Percaya pada Jamu dari Dulu
Para apoteker yang bekerja di kongsi dagang Hindia Timur, VOC, lalu diinstruksikan untuk membawa sampel tumbuhan, mulai daun, biji-bijian, cengkeh, hingga kayumanis sekembalinya menjelajah. Profesor Carolus Clusius dari Universitas Leiden juga menginstruksikan para apoteker yang menjelajah untuk menelusuri produk alam di belahan dunia lain.
Salah satu dokter dan naturalis yang ikut ke nusantara ialah Bontius. Setelah penunjukan oleh direksi VOC, Bontius berangkat dengan kapal yang membawa Jan Pieterzoen Coen dan tiba pada 1627 di Maluku. Tinggal selama beberapa bulan di sana, ia melakukan pengamatan tentang penyakit, tumbuhan, dan pengobatan tradisional dengan banyak melakukan wawancara pada warga lokal.
Pengamatannya kemudian ia tuliskan setelah pindah ke Batavia pada awal 1628. Karya Bontius diterbitkan tahun 1642 dalam bahasa Latin, De medicina Indorum. Terjemahan bahasa Inggrisnya muncul seabad kemudian.
Baca juga: Naskah-naskah tentang Jamu
Peneliti lain ialah Georg Eberhard Rumphius. Ia menyusun Het Amboinsche Kruid-Boek, berisi khasiat tanaman obat di Ambon berserta deskripsi cara orang Ambon menggunakan tanaman tersebut. Buku Rumphius dirahasiakan oleh VOC untuk mencegah bangsa Eropa lain datang ke Nusantara. “Selesai ditulis pada 1702, setengah abad setelahnya baru diterbitkan,” kata Gani.
Dari Amerika, ada dokter Thomas Harsfield yang datang ke Hindia Belanda pada 1801 dan tinggal hingga 1819. Sepanjang 1804-1812, ia melakukan perjalanan ke Jawa. Laporan ekspedisinya tentang tanaman obat yang digunakan orang Jawa dikirim ke Bataviaasch Genootshap der Kursten en Wetenschappen. Karyanya kemudian diterbitkan pada 1816 dengan judul Short Account on the Medical Plants of Java.
Semangat penelitian di negeri ini didorong oleh kepercayaan bahwa obat sebuah penyakit bisa ditemukan di tempat penyakti itu muncul. Dalam periode ini, para dokter Eropa masih takjub pada pengetahuan lokal terkait obat-obatan. Mereka mengumpulkan informasi dengan menyerap pengetahuan dari penduduk lokal. “Bontius dan Rumpihius melaukan wawancara pada pembatu di tempat mereka tinggal,” kata Gani.
Baca juga: Bertemu dalam Secangkir Jamu
Namun demikian, setelah abad-19 muncul paradigma baru dalam dunia kedokteren yang menggusur ilmu pengetahuan kedokteran lokal. “Louis Pasteur, Robert Koch menginisiasi pemahaman bakteriologi, bahwa penyakit disebabkan oleh bakteri patogen. Pengobatan dilakukan dengan membunuh patogen penyebab penyakit,” kata Gani.
Sejak itu, pola penelitian kesehatan bergeser dari observasi lapangan dan menjelajah alam ke penelitian laboratorium. Hal ini membuat penelitian tanaman obat yang dilakukan dokter Eropa menjadi berkurang. Pada masa ini pula peran perempuan sebagai pengguna dan pemilik ilmu pengetahuan tanaman obat berjasa dalam membantu para peneliti.
Pada 1880-an, ada setidaknya 300-an dokter terlatih Eropa di Hindia Belanda. Mayoritas dari mereka bekerja di rumah sakit militer dan hampir semuanya terkonsentrasi di pusat-pusat kota. Di pedesaan dan khususnya di luar Jawa, layanan dokter hampir tak terjangkau. Penduduk di daerah harus menyediakan perawatan medis mereka sendiri. Maka, istri pemilik perkebunan jadi penanggung jawab kesehatan pekerja pribumi. Dengan kata lain, perawatan medis di Hindia disediakan di rumah oleh perempuan.
Baca juga: Mevrouw Jans Ahli Jamu Asal Semarang
Pada 1888, Chemisch Pharmacologisch didirikan. Di dalamnya terdapat laboratorium yang khusus meneliti kandungan kimiawi dalam tanaman obat. Menurut Hans Pols dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation”, perempuan Indo-Eropa punya peran penting sebagai mediator antara peneliti Eropa dan warga pribumi, pemilik ilmu tanaman obat lokal.
Buku pedoman medis yang biasanya dipegang para perempuan, merujuk pada bahan-bahan yang dapat diperoleh dengan mudah di sekitar tempat tinggal. Sebagian besar obat di Hindia adalah obat domestik yang sering digunakan sebagai bumbu masak, sehingga para perempuan amat mudah mengenali dan mengaksesnya. “Obat herbal, yang memanfaatkan tanaman dan buah-buahan yang sering digunakan dalam memasak juga merupakan obat yang paling umum di koloni,” tulis Hans Pols.
Banyak perempuan indo-Eropa suka mencatat resep favorit mereka. Pada 1870-an, dua buku catatan perempuan indo-Eropa diterbitkan setelah penulisnya meninggal. Buku pertama ialah buku catatan milik Emelie van Gent-Detelle, perempuan indo-Eropa dari keluarga pemilik perkebunan yang tinggal di dekat Yogyakarta. Kakek Emelie merupakan ahli bedah Jerman untuk VOC bernama Joseph Thomas Coenraad. Selama hidupnya, reputasi Emelie dikenal karena pengetahuannya tentang pengobatan herbal. Buku kedua yang diterbitkan ialah milik Johanna Wilhelmina Gunsch-van Blokland, yang tinggal di Surabaya. Catatan Johanna bersumber dari kumpulan resep yang dikumpulkan ayahnya.
Baca juga: Dokter Jerman Populerkan Pengobatan Tradisional Negeri Jajahan
Para perempuan indo-Eropa yang paham tentang tanaman medis lokal ini punya posisi terhormat sebagai perantara budaya medis Eropa dan Jawa untuk wawasan medis. Mereka umumnya bisa berbicara bahasa Belanda, Jawa, Sunda, Melayu, atau bahasa lokal lain. Dengan begitu, mereka dapat dipahami oleh banyak kelompok etnis.
“Ada pergeseran, penelitian tanaman obat tidak lagi diteliti oleh para dokter, tapi pertanian, atau tak punya latar beakang medis sama sekali,” kata Gani.