Masuk Daftar
My Getplus

Mereka yang Dirundung Pasung

Penderita gangguan jiwa mengalami penderitaan berlipat karena dipasung. Praktik tak berperikemanusiaan yang sudah ditemui sejak era kolonial hingga kini masih terjadi.

Oleh: Nur Janti | 29 Agt 2018
Seorang perempuan penderita gangguan jiwa yang dikurung keluarganya di Ponorogo, Jawa Timur. (Human Right Watch).

EKRAM, lelaki asal Cianjur, Jawa Barat hanya bisa pasrah. Sepanjang hari dia tak dapat melakukan banyak hal lantaran dikurung dalam sebuah gudang di belakang rumah keluarganya. Hidupnya tak jauh beda dengan penjara. Untuk mendapat makanan, dia mengambil antaran makanannya dari sebuah lubang kecil. Ekram tak sendiri, di kabupaten yang sama seorang lelaki penderita gangguan jiwa dipasung selama sembilan tahun. Ketika ia dibebaskan, kakinya tak bisa digunakan lantaran berhenti tumbuh.

Keterkungkungan serupa juga dialami seorang perempuan penderita gangguan jiwa di Ponorogo, Jawa Timur. Ketika ditemukan pada 2016, perempuan ini dirantai dalam sebuah ruangan yang sengaja dibangun keluarganya. Aktivitas makan, minum, tidur, bahkan buang hajat terpaksa dilakukannya di ruangan yang sama.

Baca juga: Awal Mula Penanganan Gangguan Jiwa di Indonesia

Advertising
Advertising

Dari laporan Kriti Sharma untuk Human Right Watch yang dirilis pada 2016, ada sekira 57 ribu penderita gangguan jiwa yang hidup dalam pasung, baik pasung tradisional menggunakan balok kayu, dirantai, atau dikurung dalam ruangan. Sebagian beruntung lantaran dibebaskan oleh Dinas Kesehatan setempat. Sisanya, masih terus hidup dalam pasung. Beberapa bahkan dipasung sampai akhir hayat.

“Dari temuan kami, ada penderita gangguan jiwa yang dibebaskan setelah 15 tahun dipasung. Beberapa ada yang menghabiskan sisa hidupnya dalam pasung. Seperti hidup di neraka,” kata Kriti pada Historia.

Ada banyak penyebab seseorang dipasung oleh keluarganya. Tapi yang terpenting, ketidakpahaman tentang kesehatan jiwa. Masyarakat yang tidak paham tentang kesehatan jiwa akan menyangka penderita sebagai orang kurang iman, kerasukan roh jahat, atau pengacau. Alih-alih menumbuhkan empati, gangguan jiwa malah jadi stigma negatif bagi keluarga dan masyarakat.

Baca juga: Nasib Pasien Gangguan Jiwa pada Zaman Belanda

Banyak keluarga merasa malu bila ada kerabat mereka terkena gangguan jiwa dan mengaggapnya sebagai aib. Mereka juga khawatir penderita gangguan jiwa akan mengganggu tetangga atau kabur. Alhasil, banyak keluarga memilih jalan pintas untuk menangani penderita gangguan jiwa dengan cara memasung. “Praktik pasung terjadi ketika keluarga tidak tahu tentang kesehatan jiwa sehingga merasa tidak punya pilihan lain selain memasung kerabatnya,” kata Kriti.

Pemasungan Zaman Belanda

Pemasungan penderita gangguan jiwa bisa ditelusuri sejak zaman Belanda berdasarkan laporan ahli jiwa Belanda JW Hofmann. Dia menemukan seorang penderita gangguan jiwa di Bogor terus-menerus mengerang dalam kurungan.

Di Banyumas, ada seorang penderita gangguan jiwa yang dikurung keluarganya karena pernah merusak barang milik tetangga. Tetangga itu meminta ganti rugi pada keluarga si penderita yang sangat miskin itu. Lantaran layanan kesehatan jiwa belum menjangkau pelosok, keluarga memilih mengurung si penderita gangguan jiwa.

Baca juga: Bermula dari Institusi sampai Tumbuhnya Kesadaran Sehat Jiwa

Dalam laporan yang dirilis pada 1931, JP Kleiweg de Zwaan mengungkapkan pola serupa juga terjadi di Batak, di mana keluarga bertanggungjawab penuh atas perilaku kerabatnya yang menderita gangguan jiwa. “Adanya aturan adat tersebut menjadi alasan penting keluarga atau warga desa di Indonesia terpaksa mengurung kerabat yang menderita gangguan jiwa,” tulis Sebastiaan Broere dalam In and Out Magelang Assylum.

Para keluarga memilih merantai, memasung dengan balok kayu, atau mengurung dengan rumah bambu kecil kerabat yang menderita gangguan jiwa karena adanya aturan denda bagi keluarga penderita gangguan mental yang tidak menjaga ketertiban umum. Kurangnya jumlah layanan kesehatan jiwa di negeri jajahan menyebabkan ribuan penderita gangguan jiwa dikurung secara illegal. “Saya yakin mengurung orang, sekalipun mereka menderita gangguan jiwa, adalah hal yang illegal. Aturan ini juga berlaku di Eropa,” kata Sebastiaan pada Historia.

Baca juga: Kala Belanda Bangun Rumah Sakit Jiwa

Banyaknya pemasungan mendorong beberapa ahli jiwa mendesak pemerintah Belanda untuk mengembangkan layanan kesehatan mental di negeri jajahan. Hoffman meggunakan temuannya tentang pemasungan untuk membujuk pemerintah mengizinkan pribumi menerima layanan kesehatan jiwa. Hal serupa dilakukan J.A. Latumeten, yang mendorong peningkatan jumlah klinik psikiatri dan neurologis. Hasilnya, beberapa penderita gangguan jiwa bisa terbebas dari kurungan dan menerima layanan kesehatan jiwa.

Pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia selain melarang pasung sejak 1977 juga terus mengkampanyekan kesadaran sehat jiwa. Undang-undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 mengharuskan pelayanan kesehatan jiwa terintegrasi ke dalam layanan kesehatan umum.

Semua upaya itu ditempuh untuk membebaskan para penderita gangguan jiwa dari pasung sehingga terhindar dari penderitaan berlipat. “Sampai hari ini masih ada ribuan orang gangguan jiwa yang hidup dalam pasung,” kata Kriti.

Baca juga: Cara Belanda Menangani Penderita Gangguan Jiwa

TAG

kesehatan jiwa

ARTIKEL TERKAIT

Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rolls-Royce Punya Cerita Bumi Pertiwi Hampir Mati Lomba Bercocok Tanam di Masa Silam Enam Gempa Paling Mematikan di Negeri Tirai Bambu Purnatugas Heli Puma Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman Bom Fosfor Putih Bukan Senjata Biasa Doa yang Terkabul Awal Mula Ponsel Pintar