DALAM perjalanannya ke Bogor pada 1894, psikiater Belanda, JW Hofmann terkejut mendapati seorang pribumi penderita gangguan jiwa dipasung. Merasa iba dan tergugah, Hoffmann menulis artikel protes berjudul “Krankzinnigenverpleging in Neerlandsch-Indie” (Perawatan jiwa di Hindia Belanda) yang dimuat De Indische Gids. Hoffmann memprotes pemerintah Hindia Belanda yang tidak menyediakan layanan kesehatan mental untuk pribumi.
Tulisan Hoffmann membuka perdebatan di kalangan psikiater Belanda. Hoffmann mendesak pemerintah Hindia menyedikan layanan kesehatan mental untuk pribumi. “Saya mohon untuk melakukan sesuatu pada situasi menyedihkan yang dialami pribumi yang menderita gangguan jiwa…. Tetapi lakukan dengan cara yang murah dan praktis,” tulis Hoffmann.
Bermula di Belanda
Reformasi perawatan penyakit mental di Belanda dimulai pada 1830-an. Hal itu bermula dari perkembangan perawatan kesehatan jiwa di Eropa. Ahli medis Perancis Philippe Pinel menulis tentang kemungkinan-kemungkinan menyembuhkan pasien gangguan jiwa di rumahsakit jiwa (RSJ) dan berupaya mengembalikannya ke masyarakat pada 1801.
Sebelumnya, perawatan kesehatan jiwa Eropa pada akhir abad ke-18 memperlakukan pasien dengan cara dirantai. Pinel berhasil mengubah cara itu di RSJ Bicêtre dan RSJ Salpêtrière. Ia mengganti rantai dengan jaket pengikat.
Sementara di Eropa perawatan kesehatan jiwa terus dibahas lebih serius, di negeri jajahan perawatan pasien kesehatan jiwa masih diserahkan pada rumahsakit militer. Kebijakan untuk merawat pasien gangguan jiwa di RS militer tak lepas dari cara Profesor Brugman dari Universitas Leiden yang menjalankan layanan medis militer di Belanda pada 1795. Gubernur Jenderal HW Daendels meniru cara Profesor Brugman dengan menyerahkan semua urusan pengobatan, termasuk kesehatan mental, pada RS militer.
Rumahsakit militer yang dibangun tahun 1832 menampung penderita gangguan jiwa dalam satu departemen kecil. Mayoritas pasien merupakan mantan prajurit Belanda, mereka kemungkinan terserang Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang banyak diderita tentara. Namun, makin hari makin banyak pasien yang berdatangan.
Pada 1862, pemerintah kolonial mengadakan survei untuk mengetahui kondisi dan jumlah penderita gangguan jiwa di negeri jajahan. FH Bauer dan WM Smit, dua dokter yang dipasrahi tugas ini, menemukan 586 penderita gangguan jiwa parah sering mangamuk dan berpotensi membahayakan masyarakat. Dari jumlah itu, 252 di antaranya sudah dimasukkan ke rumahsakit militer di kota-kota besar. Laporan mereka tentang kondisi dan perlakuan orang-orang yang menderita gangguan jiwa di Hindia Belanda terbit pada 1862 dan membuat heboh di Belanda.
Selain mengadakan survei, Bauer dan Smit juga berkunjung ke beberapa negara untuk melihat cara penanganan pasien gangguan jiwa. Keduanya menyarankan agar pemerintah Belanda bertanggung jawab atas penderita gangguan jiwa yang berbahaya. Namun, penderita gangguan jiwa yang tidak berbahaya tidak perlu ditanpung di layanan kesehatan jiwa.
Hasil laporan Bauer dan Smit itu memuluskan keinginan para dokter untuk membangun layanan kesehatan mental khusus untuk orang Eropa yang tujuan utamanya menyediakan institusi lebih manusiawi dengan lebih banyak tempat tidur dan dipan.
“Sesungguhnya, proyek memperbaiki layanan kesehatan jiwa di Hindia Belanda sejak mula memang untuk merestrukturisasinya sesuai kriteria internasional di zamannya. Dalam laporan Bauer dan Smit ini kita melihat fondasi kelahiran psikiatri modern di Indonesia,” tulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”.
Pada 1881, pemerintah membuka layanan kesehatan jiwa pertama di Bogor dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg (kini Rumah Sakit dr. H Marzoeki Mahdi). Selaku penggagas, Bauer dan Smit memilih Bogor karena dianggap paling sesuai prinsip terapi rawat-inap penderita gangguan jiwa yang mesti diisolasi dari masyarakat: dekat dengan pusat kota, Batavia, tapi masih cukup asri dan terpencil.
Meski tujuan utama pembentukan RSJ Bogor untuk merawat orang Eropa, pemerintah kolonial terpaksa mengubahnya setelah Hoffmann memprotes kebijakan tersebut lewat tulisan pada 1894. Tulisan Hoffman kembali membuat geger sebagaimana laporan Bauer dan Smit.
Sejak tulisan Hoffmann itulah RSJ Bogor menerima pasien pribumi. Orang-orang pribumi yang sudah sadar akan kesehatan jiwa tak lagi mengira kelinglungan kerabat mereka disebabkan kesambet atau kesurupan. Mereka bisa memasrahkan kesehatan jiwa keluarga mereka pada pihak yang lebih ahli. Selain itu, pemerintah Belanda juga menampung secara cuma-cuma pribumi penderita gangguan jiwa yang membahayakan lingkungan.
“Layanan kesehatan mental pertama kali dibangun pada 1881 dan terus berkembang setelahnya. Pada 1900-an, dengan Politik Etis, pembahasan tentang kesehatan jiwa menjadi jauh lebih vokal,” kata Sebastiaan Broere yang meneliti sejarah RSJ Magelang untuk tesisnya.
Pada awal abad ke-20, dokter-dokter mengeluhkan makin banyaknya pasien gangguan jiwa baru sementara RSJ yang tersedia baru di Bogor. Bertambahnya jumlah pasien membuktikan bahwa kesadaran akan kesehatan jiwa makin meningkat di Hindia Belanda.
Pemerintah lalu membangun beberapa RSJ baru, seperti di Malang (1902), Magelang (1912), dan Sabang (1922). Pada 1930-an, Belanda sudah memiliki empat layanan kesehatan jiwa di negeri jajahan. Seluruh RSJ ini, tulis Hans Pols dalam “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies”, bisa menampung sekira 9000 pasien. Sementara, di kota-kota besar lusinan klinik psikiatris berdiri, mempermudah akses orang-orang yang ingin berobat.
Dekatnya akses pada layanan kesehatan mental berpengaruh besar pada tingkat kesadaran masyarakat sekitar. Hal ini juga menjelaskan data yang dihimpun Broere bahwa sebagian besar pasien RSJ Magelang datang dari kota-kota besar, seperti Surakarta, Yogyakarta, Magelang, dan Semarang.
Sementara para penduduk kota sudah sadar kesehatan jiwa, mereka yang hidup di desa dan jauh dari layanan kesehatan mental masih harus merana dalam kurungan, juga pasung. “Penderita gangguan jiwa akan tetap dikurung atau dipasung di desanya kecuali institusi kesehatan mental berada di dekat situ,” tulis Broere dalam In and Out of Magelang Asylum.
Baca juga: