Masuk Daftar
My Getplus

Jalan Berliku Penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa

Sejarah penanganan orang dengan gangguan jiwa sejak masa kolonial. Hancur pada masa Jepang dan perang kemerdekaan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 10 Okt 2019
Ilustrasi perawat melayani pasien gangguan jiwa. (123rf.com).

Arthur Fleck pulang konseling dari tempat terapi mentalnya. Wajahnya murung. Sang terapis memberitahu bahwa tak ada lagi konseling dan resep obat untuk Arthur. Pemerintah kota Gotham memotong dana pelayanan dan pengobatan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) seperti Arthur. Kebijakan ini berpengaruh besar terhadap jalan nasib Arthur.

Cerita di atas merupakan potongan film Joker. Bukan peristiwa nyata, tapi menjadi refleksi tentang pelayanan dan pengobatan ODGJ di Amerika Serikat pada masa lalu. Joker tayang menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia saban 10 Oktober. Indonesia turut memperingatinya. Perbaikan pelayanan dan pengobatan ODGJ menjadi perhatian berulang-ulang.

Baca juga: Menertawakan Kepedihan Hidup Bersama Joker

Advertising
Advertising

Perbaikan pelayanan dan pengobatan ODGJ di Indonesia beralas dari resolusi pemerintah kolonial pada 21 Mei 1831. Menurut Denny Thong dalam biografi Bapak Psikiatri Indonesia, Prof. Dr. R. Kusumanto Setyonegoro, SPKJ, Memanusiakan Manusia Menata Jiwa Membangun Bangsa, dalam Resolusi 21 Mei 1831 No. 1 Pasal 1 disebutkan bahwa setiap rumah sakit besar di Weltevreden (Batavia-Red.), Semarang, dan Surabaya akan disediakan kamar untuk merawat penderita gangguan jiwa.

Semangat resolusi ini berakar pada humanisme Eropa. “Masa itu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, atas nama kemanusiaan, manusia digugah untuk kemerdekaan para penderita penyakit jiwa,” tulis Doktor Iskandar Yul, psikiater sohor Indonesia, dalam “Manusia Modern dan ‘Sandyakala’ Rumah Sakit Jiwa”, termuat di Kompas, 10 Oktober 1993.

Tingkatan Pelayanan

Resolusi ini juga mendorong pelayanan ODGJ dengan pendekatan ilmiah dan pembagian kategori atau tingkatan gangguan jiwa. Lazim terjadi masa itu, ODGJ mengalami pemasungan dan pengurungan dalam sebuah ruangan mirip sel penjara di rumah sakit tentara sebagai metode penyembuhan.

Penyembuhan oleh masyarakat awam sama parahnya. Tertanam kuat pandangan bahwa ODGJ kerasukan roh jahat atau guna-guna sehingga penyembuhan harus melalui dukun. Caranya dengan memukul, menendang, dan siksaan fisik lainnya sampai roh jahat diyakini telah keluar dari raga ODGJ.

Baca juga: Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa

Perbaikan pelayanan ODGJ berlanjut dengan peresmian Rumah Sakit Jiwa/RSJ (Hetkrankzinnigengestich) pertama di Hindia Belanda pada 1 Juli 1882. Letaknya di Tjilendek, Buitenzorg (Bogor). Jauh dari ingar-bingar kehidupan. Tanahnya luas, 117 hektar.

Pasien bisa leluasa bergerak dan mengerjakan banyak hal. Ini sebentuk penerapan metode okupasi (menyibukkan diri) dari Philippe Pinel, psikiater Prancis (175—1826), untuk membantu penyembuhan pasien. Tergolong metode baru pada masanya.

Pemerintah kolonial melanjutkan pendirian RSJ di tiga kota lainnya: Lawang (23 Juni 1902), Magelang (1923), dan Sabang/Aceh (1923). Tiga RSJ ini kemudian menjadi RSJ pusat (Krankzinnige Gesticht) bersama RSJ Buitenzorg. Pendanaannya bersumber penuh dari anggaran pemerintah.

“Sejak masa kolonial, rumah sakit jiwa merupakan institusi yang mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah,” catat Kompas dalam “RSJ Bogor 120 Tahun Tempat yang Aman untuk Hilang”, 11 Juli 2002.

Baca juga: Kala Belanda Bangun Rumahsakit Jiwa 

Pelayanan di RSJ Pusat perlu rujukan dari unit-unit kesehatan jiwa seperti Doorganghuizen (rumah perawatan sementara hingga 6 bulan) dan Verpleegtehuizen (rumah rawat inap gangguan jiwa). Segala urusan administratifnya berada di bawah Dienst van het Krankzinnigenwezen (Dinas Kesehatan Jiwa), selanjutnya dilebur ke Dienst voor de Volks Gezondheid (Dinas Kesehatan Rakyat). Pasien di dua tempat ini tergolong ODGJ tahap ringan dan sedang.  

Dua unit ini tersebar di banyak tempat seperti Sala (1919), Grogol/Batavia (1924), Semarang (1929), Surabaya (1929), Pakem/Yogyakarta, Medan, Palembang, Padang, Makassar, Bangli/Bali, Muntok/Bangka, Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Kepala Doorganhuizen selalu berasal dari dokter Eropa, sedangkan Verpleegtehuizen berkepalakan anak negeri.

Pelibatan Masyarakat

Sempat berdiri unit kesehatan jiwa bernama Gezinsverpleging di Buitenzorg pada 1903. Melalui unit ini, pemerintah kolonial menitipkan ODGJ di rumah keluarga pekerja institusi kesehatan jiwa. Pemerintah berharap mereka turut membersamai penyembuhan ODGJ. Sebuah kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam pelayanan ODGJ.

“Tetapi ternyata kebijakan ini mengalami banyak kelemahan. Antara lain perawatan yang kurang baik, bahkan terjadi pemerasan dan penelantaran penderita,” tulis Denny Thong.

ODGJ tingkat kronis (psikosis) memperoleh pelayanan berbeda. Pemerintah kolonial membangun koloni untuk ODGJ tingkat kronis (Colonie voor Krankzinnigen) di delapan tempat: Petengahan Singkawang, Wedi Klaten, Kubu Bali, Semblimbingan Kotabaru, Praja Lombok, Ulu Gadut Padang, Suko Malang, dan Sempuh Malang. Pembentukan koloni bertujuan agar ODGJ memperoleh kesibukan bertani atau berkebun.

Baca juga: Serupa Hari di Bulan April

Inisiatif perbaikan pelayanan ODGJ juga berasal dari pihak swasta. Prof. Van Wulfften Palthe, Kepala Bagian Psikiatri CBZ/Centrale Burgulijke Ziekenhuis/Pusat Kesehatan Rakyat, mendirikan koloni swasta pertama di Lenteng Agung, Batavia, pada 1935. Dananya berasal dari sumbangan perusahaan perkebunan (semacam coorporate social responsibility/tanggung jawab sosial perusahaan masa sekarang).

“Yang mengelola koloni tersebut adalah dr. Soejoenoes (kelak menjadi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada 1958, red.). Di situ pun diterapkan gezinverpleging dan upaya ini berhasil,” tulis Denny Thong.

Tapi secara umum, pelayanan ODGJ menghadapi banyak masalah. Jumlah institusi pelayanan ODGJ tidak laras dengan kenaikan jumlah ODGJ di Hindia Belanda. Selain itu, jumlah dokter jiwa (psikiater), dokter, dan perawat di institusi kesehatan jiwa sangat sedikit. Kesadaran masyarakat tentang penanganan gangguan jiwa pun belum beranjak jauh dari masa sebelumnya.

Iskandar Yul menyebut masalah krusial lainnya berupa mampatnya ilmu pengobatan ODGJ. RSJ menjadi penuh karena perawatan pasien ODGJ membutuhkan waktu panjang. Pasien lama belum keluar, tapi sudah ditambah lagi oleh pasien baru yang masuk. “Hal ini disebabkan pada waktu itu belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien gangguan jiwa.”   

Senjakala Pelayanan

Pelayanan ODGJ masuk masa paling buruk saat Jepang menduduki Indonesia. Jepang menutup RSJ di Sabang, mengubahnya jadi barak militer dan penampungan penyakit menular.

Jepang memindahkan sebagian ODGJ di RSJ Sabang ke RSJ Lawang dan Buitenzorg. Banyak ODGJ di RSJ lain terabaikan. “Pada zaman itu, setiap hari empat sampai lima pasien meninggal karena susah sekali mendapat obat-obatan dan makanan,” kata dr. Amir Hussen Anwar, SpKj (Spesialis Kesehatan Jiwa), mantan kepala RSJ Bogor, kepada Kompas, 11 Juli 2002.

Sebilangan pasien RSJ dilepas begitu saja sehingga berkeliaran di jalan. Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro, pemikir terkemuka psikiatri Indonesia, menyebut mereka sebagai gelandangan psikotik.

Baca juga: Perburuan Gelandangan

Gelandangan psikotik umumnya mengidap dementia praecox, nama lama skizofrenia atau gangguan jiwa berat yang menyerang proses pikir sehingga menyebabkan ketidaksesuaian pikiran, perasaan, dan perilaku. Tanda gangguannya disertai pula oleh waham (delusi) dan halusinasi.

ODGJ pun terlunta-lunta di jalan tanpa pelayanan dan pengobatan. Orang menganggapnya sebagai gelandangan biasa tersebab tekanan ekonomi. Ketika razia gelandangan oleh Jepang berlangsung, mereka tertangkap dan tidak memperoleh pelayanan dan pengobatan sebagai ODGJ. Hidup mereka berakhir tragis.

Masa suram pelayanan dan pengobatan ODGJ terus berlangsung ketika Indonesia masuk alam kemerdekaan. Selama 1945-1949, pemerintah menginventarisasi institusi kesehatan jiwa. Banyak institusi rusak dan beralih fungsi akibat pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan.

Padahal pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan ikut mengguncang mental penduduk. “Bahkan banyak pula yang sudah mencapai tahap gangguan jiwa,” tulis Denny Thong.

Fajar Baru

Keadaan ini mendorong pemerintah berupaya keras menata kembali pelayanan ODGJ. Jawatan Urusan Penyakit Jiwa dibentuk. Ketuanya dr. J.A. Latumeten. Tapi jawatan ini tak mampu berbuat banyak. Kondisi politik saat itu masih belum stabil akibat agresi Belanda sepanjang Juni 1947.

Baru pada 1950, ketika keadaan negara mulai stabil, jawatan termaksud berangsur berdaya menjalankan tugasnya. Salah satunya menghidupkan kembali pelayanan RSJ. Muncul pula pemikiran-pemikiran dari para psikiater Indonesia seperti R.M. Soejoenoes dan Kusumanto Setyonegoro tentang pelayanan ODGJ melalui pengembangan ilmu psikiatri, cabang ilmu kedokteran dengan pengkhususan pada masalah jiwa.

Baca juga: JA Latumeten, Psikiatris Nasionalis Kompeten Namun Kurang Beken

R.M. Soejoenoes memandang pelayanan ODGJ bergantung pada kemauan ilmu psikiatri membuka diri dengan perkembangan ilmu lain. “Kalau dulu psikiatri hanya mempelajari penyakit di klinik saja, sekarang ilmu ini sudah keluar dari klinik dan mencari hubungan dengan dan dicari oleh ilmu-ilmu lain,” kata Soejonoes dalam “Kesehatan Jiwa dalam Masyarakat Kita”, pidato pengukuhan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga, 18 Oktober 1958.

Pandangan Soejoenoes mirip dengan Kusumanto Setyonegoro. Dia menekankan pula perbaikan layanan ODGJ lewat pengembangan ilmu psikiatri. Selain itu, dia mendorong pembangunan RSJ-RSJ baru di tiap provinsi untuk mempermudah pelayanan terhadap ODGJ. Dia sering menuangkan gagasannya dalam bentuk artikel populer di media massa 1960-1970-an. Tujuannya menumbuhkembangkan kesadaran tentang kesehatan jiwa dan perbaikan layanan ODGJ.  

Selain kemunculan pandangan segar tentang psikiatri, perkembangan ilmu pengobatan untuk ODGJ juga maju pesat. Ilmuwan di Amerika Serikat mulai menemukan obat untuk ODGJ. Semua perkembangan termaksud menandai masa baru pelayanan ODGJ di Indonesia.  

TAG

kesehatan kesehatan jiwa

ARTIKEL TERKAIT

Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza Di Balik Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia Minyak Mujarab Resep Rahasia Keraton Sumbawa RSUD Pertama di Jakarta Enam Hal Terkait Medis Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban Vaksin Wabah Penyakit Boentaran Martoatmodjo, Menteri Kesehatan Pertama Republik Indonesia Sulitnya Menghadapi Wabah Natural History, Ilmu yang Mendorong Penjelajahan Bangsa Eropa