Masuk Daftar
My Getplus

Prasangka Pada Pasien Jiwa Pribumi

Kendala bahasa dan prasangka rasial menyebabkan para dokter Eropa kesulitan mendiagnosis kondisi kejiwaan pasien pribumi.

Oleh: Nur Janti | 27 Nov 2019
Pintu masuk RSJ Lawang, Malang. Sumber: Hans Pols, The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies.

SEORANG lelaki muda dari Yogyakarta yang berprofesi sebagai asisten juru tulis diantar keluarganya ke Rumahsakit Jiwa (RSJ) Magelang. Sebelumnya, ia terserang demam. Kemungkinan besar, demamnya berasal dari stres. Selama bekerja, ia terus meragukan kemampuannya sendiri hingga stres dan membuatnya menderita gangguan jiwa.

Selain stres, faktor lain yang dianggap memicu gangguan jiwa ialah kemiskinan. Pasien lain yang berobat ke RSJ Magelang merupakan mantan kuli kontrak di perkebunan Deli. Orang di sekitarnya menganggap si mantan kuli orang bingung. Begitu masuk RSJ, mantan kuli itu langsung ditanya petugas kesehatan tentang apa yang dirasakan, melihat sesuatu, atau mendengar hal-hal aneh. Diagnosis dokter, seperti dikutip Sebastiaan Broere dalam tesisnya “In and Out Magelang Asylum”, menyatakan si kuli menderita delusi parah.

Mendiagnosis pasien pribumi di era kolonial tak mudah. Kebanyakan pasien menjawab tidak tahu ketika ditanya tentang kondisinya. Di RSJ Malang, mayoritas pasien dideskripsikan mengalami “bingung” atau linglung yang disebabkan oleh stres.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Bermula dari Institusi sampai Tumbuhnya Kesadaran Sehat Jiwa

Kebingungan para pasien itu menyebabkan para psikiatris Belanda ikut kebingungan lantaran kendala bahasa dan prasangka kolonial mereka. Psikiatris Belanda PHM Travaglino mengalaminya ketika berjaga di RSJ Malang pada 1920-an. Alhasil, Travaglino kerap kesulitan mendiagnosis pasiennya. Saking bingungnya, ia pernah membuat lelucon tentang kelompok pasiennya. Ada tiga: kelompok yang selalu menjawab tidak tahu, tidak mau, dan kelompok pasien yang belum diperiksa kejiwaannya.

Travaglino percaya bahwa alam pikir orang Eropa dan pribumi berbeda. Menurutnya, kaum pribumi masih berada dalam tahap awal perkembangan evolusi sehingga kondisi psikologisnya amat emosional. Ia menganggap orang pribumi sering membuat keributan karena emosi yang meledak-ledak dan berpotensi 10 kali lebih tinggi membuat kerusuhan dibanding orang Eropa.

Kebingungan dan prasangka rasial yang dialami psikiatris Eropa sudah menjadi pembahasan sejak permulaan abad ke-20. Pada 1906, Inspektur Layanan Medis Sipil AG Vorderman menyarankan Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri JH Abendanon untuk membentuk satuan tugas dokter pribumi yang khusus menangani gangguan jiwa. Pendapat Vorderman mengacu pada pengakuan Raden Soemeroe, seorang dokter Jawa, yang mengatakan pekerjaannya di RSJ Bogor amat berguna selain sebagai penerjemah juga memandu psikiatris Eropa memahami latarbelakang kultur para pasien pribuminya.

Baca juga: 

Jalan Berliku Penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa

“Misalnya, kata baik-buruk atau pintar-bodoh bermakna berbeda bagi orang Eropa dan pribumi. Penilaian tentang ketidaknormalan juga berbeda,” kata Soemeroe seperti dikutip Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market.

Soemeroe lebih jauh berpendapat, pemahaman dokter Jawa pada karakter, bahasa, budaya, dan kondisi lingkugan pribumi memudahkan mereka untuk bersimpati pada pasien pribumi. Hal itu sulit dilakukan para dokter Eropa meski sudah mendapat pelatihan penanganan pasien pribumi. Pejabat layanan medis sipil agaknya mengamini pengakuan Soemeroe. Alhasil, satu atau dua orang dokter Jawa selalu dipekerjakan di RSJ Bogor dan Lawang, Malang untuk mendampingi dokter jiwa Eropa.

Di sisi lain, kebijakan itu juga amat ekonomis lantaran meminimalisir anggaran untuk mempekerjakan dokter Eropa. Menurut Liesbeth, alasan ekonomilah yang paling mendorong Komite Kesehatan Kolonial menyepakati ide Soemeroe alih-alih penjabaran sosio-kulturalnya. Pada 1912, anggaran untuk RSJ makin ditekan. Alhasil, pasien pribumi lebih banyak dipegang oleh dokter Jawa dengan pengawasan rutin dokter Eropa.

Baca juga: 

Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa

Padahal, seperti ditulis Hans Pols dalam Nurturing Indonesia, para pendukung Politik Etis berpendapat bahwa psikologis pribumi dan orang Eropa sebenarnya serupa. CF Engelhard, pengawas kesehatan yang bertugas di Surakarta dan tinggal di Jawa hingga pasca-kemerdekaan, berpendapat bahwa perbedaan kondisi terjadi karena faktor eksternal. “Dengan penuh hormat pada budaya mereka, symptom, perkembangan, dan psikosis orang Jawa tidak berbeda dengan apa yang saya temui di Eropa,” kata Engelhard.

Engelhard menyadari bahwa cara pandang semacam ini berkebalikan dengan apa yang diamini para psikiatris di era kolonial seperti Travaglino. Alih-alih menggarisbawahi persamaan, psikiatris Travaglino lebih menekankan pada perbedaan mendasar antara kondisi kejiwaan pasien pribumi dan Eropa.

TAG

kesehatan jiwa mental kolonial

ARTIKEL TERKAIT

Tolo' Sang "Robinhood" Makassar Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Sepuluh Warisan Kolonial yang Meresahkan Thierry Baudet: Harusnya Indonesia Masih Jajahan Belanda Riwayat Erasmus Huis: Peran Baru Sebuah Pusat Kebudayaan (1970-Sekarang) Menyesapi Cerita-Cerita Tersembunyi di Pameran Revolusi! Bermacam Pajak Era Kolonial Melihat Kolonialisme Bekerja lewat Teropong Sastra