KENDATI bergelar pahlawan nasional dan namanya diabadikan menjadi nama jalan yang membentang di depan RSJ Suharto Heerjan (Grogol, Jakarta) dan Rumahsakit Tentara (Ambon), nama Jonas Andreas Latumeten tak begitu dikenal orang. Padahal, jasanya begitu besar.
Prof. dr. JA Latumeten, begitu ia dipanggil oleh rekan-rekan seperjuangannya, merupakan ahli jiwa generasi pertama. Tak banyak yang bisa diketahui tentang masa kecil pria kelahiran Ambon tahun 1888 itu kecuali dari keluarganya yang merupakan keluarga nelayan.
Sebagaimana umumnya anak lelaki di Negeri (desa) Rutong, tempat tinggal keluarga Latumeten, dia sudah membantu ayahnya sejak belia. Latumeten tak hanya ikut melaut dan menangkap ikan, tapi juga ikut memasarkannya ke Kota Ambon.
Dalam perjalanan ke Ambon, berjarak hampir 25 kilometer dari Rutong, itu seringkali ikan dagangan Latumeten diminta-paksa oleh aparat kepolisian atau birokrat kolonial. Pengalaman pahit itu menyemai kebenciannya pada Belanda.
Kendati kehidupan yang dilaluinya begitu keras, Latumeten tak ingin menyerah dan terus bersemangat dalam bersekolah. Ia akhirnya bisa masuk Stovia. Setelah lulus dari Stovia, ia bekerja di Rumahsakit Jiwa Lawang, Malang menjadi asisten dr. PHM Travaglino.
Baca juga: Kala Belanda Bangun Rumahsakit Jiwa
Sambil bekerja, Latumeten kerap mengikuti pertemuan Jong Ambon dan aktif di Asosiasi Dokter Hindia. Pada 1919, organisasi ini menuntut peningkatan status profesional dokter pribumi. Mereka memprotes pemerintah kolonial yang tidak memberi izin praktik, gaji rendah (lebih rendah dari perawat Eropa), dan beban kerja yang lebih berat dibanding dokter kulit putih. Para dokter pribumi ditempatkan di pelosok di mana jumlah fasilitas medis amat minim.
Pada Minggu, 2 November 1919, diadakan pertemuan besar yang menghadirkan beragam organisasi nasionalis, seperti Budi Utomo, Ambonsch Studiefonds, dan Sarekat Hindia. Dalam pertemuan itu, Latumeten ikut berpidato tentang nasib dokter pribumi di tengah sikap rasis pemerintah kolonial yang mendarah-daging.
Ia mengajak para dokter pribumi untuk melakukan pemogokan di dinas masing-masing. Ia juga mencemooh kebijakan pemerintah yang melarang dokter pribumi membuka praktik meskipun sudah mengundurkan diri. “Kalau mereka melarang, anggap saja kami dukun. Tak perlu ada izin,” katanya, disambut tepuk tangan para peserta pertemuan.
Baca juga: Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa
Meski aktif dalam gerakan nasionalis, ia tetap bisa mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Pada 1922, Latumeten berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Ia bisa dibilang orang Indonesia pertama yang mendalami kesehatan jiwa. Rekannya yang lain, seperti Mohammad Amir baru melanjutkan studi psikiatri tahun 1923. Sementara dokter asal Minahasa, Tom Kandou baru mulai mendalami ilmu ini pada 1931.
Begitu sampai di Belanda Latumeten bergabung dengan Asosiasi Dokter Hindia cabang Belanda, hingga jadi ketua pada 1924. Ia juga aktif di Perhimpunan Indonesia.
Ketika psikiatris Belanda yang bertugas di Indonesia, F. H. van Loon mengeluarkan tulisan tentang kondisi amok dan sifat orang pribumi, Asosiasi Dokter Hindia yang diketuai Latumeten mengeluarkan tulisan tandingan. Hans Pols dalam Nurturing Indonesia menyebut tulisan empat halaman yang diterbitkan organisasi itu tak lain karya Latumeten. Isinya menyerang pandangan van Loon dan mendekonstruksi argumennya.
Van loon menulis tentang amok, kondisi marah tiba-tiba di depan umum dan terkadang bisa sampai membunuh. Ia menyebut, amok hanya terjadi di Hindia karena sifat manusianya masih primitif dan tidak bisa menahan emosi sehingga pertarungan fisik mudah terjadi.
Latumeten menolak penyataan ini. Ia menyebut Van Loon bersikap tidak objektif dan penelitiannya terpengaruh prasangka rasial. Ia mempertanyakan sifat emosional dan tukang kelahi yang disebut van Loon. Pasalnya, di Belanda sendiri Latumeten sering menemukan perkelahian di depan bar atau di jalanan, baik tangan kosong maupun dengan pisau. “Kalau kami yang kelahi kalian sebut amok. Di sini, (di Belanda) disebut ekspresi budaya,” sindir Latumeten dalam tulisannya.
Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis
Latumeten menerima gelar kedokteran Belanda pada 1924. Setahun berikutnya ia meraih gelar doktoral dalam bidang medis dengan disertasi “Over de Kernen van den Nervus Oculomotorius”.
Setelah kembali ke Hindia, Latumeten tak banyak aktif di pergerakan secara politik. Ia lebih fokus pada pengobatan, khususnya untuk pribumi. Pada 1927 ia menjadi pengawas rumah sakitjiwa di Sabang. Tahun 1936, ia kembali bertugas di Rumahsakit Jiwa Lawang hingga pendudukan Jepang.
Nasib apes menghampirinya pada Mei 1945. Latumeten ditangkap oleh Kenpeitai. Ia dijebloskan ke penjara. Buruknya perlakuan penjara membuatnya hampir mati kelaparan.
Setelah Jepang kalah, ia hampir tak selamat karena di masa revolusi kecurigaan pada orang timur amat tinggi. Orang-orang Maluku Kristen sering dianggap pro-Belanda. Meski sejak dulu Latumeten getol memperjuangkan kemerdekaan Indoensia, karena jabatan tingginya di RSJ Lawang, orang Ambon, dan Kristen, ia sempat jadi tahanan anak-anak muda pro-republik meski tidak lama.
Baca juga: Kala Nyonya Disangka Antek Belanda
Pada awal tahun 1946, Latumeten diangkat menjadi profesor psikiatri di Sekolah Tinggi Kedokteran (cikal bakal FK UI). Di usia senjanya, ia masih dipercaya sebagai Inspektur rumahsakit jiwa di Kementerian Kesehatan Indonesia dan anggota Dewan Petimbangan Agung, bersama rekannya sesama dokter, Radjiman Wedjodiningrat.
Latumeten tak lama memegang posisi ini. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia, perlakuan buruk di penjara Jepang rupanya merusak kesehatannya. Latumeten akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Djakarta pada 30 Mei 1948 dalam usia 60 tahun.