Masuk Daftar
My Getplus

Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa

Ditangkapi lantas dimasukkan ke layanan kesehatan mental, para penderita gangguan jiwa yang terlantar dirawat secara cuma-cuma oleh pemerintah kolonial.

Oleh: Nur Janti | 07 Agt 2018
Pasien gangguan jiwa di rumahsakit transit Surakarta. Sumber: Sebastian Broere, In and Out of Magelang Asylum.

Dimin kesal, lantas mengamuk. Dia hendak membakar rumah tetangganya. Ribut-ribut tak dapat dihindarkan. Akhirnya, Dimin ditangkap polisi lantaran dianggap pengacau dan mengancam keselamatan keluarga juga para tetangganya.

Tak berapa lama dikurung di Penjara Rembang, petugas penjara menemukan ada yang ganjil pada Dimin. Seorang dokter kemudian dipanggil untuk memeriksanya. Rupanya, Dimin bukan seorang kriminal melainkan penderita gangguan kesehatan jiwa. Maka, Dimin dipindahkan ke Layanan Kesehatan Jiwa Magelang yang dibiayai pemerintah Belanda.

“Dimin datang dari keluarga petani. Dia tidak harus membayar biaya pengobatan karena itu digratiskan,” kata Sebastiaan Broere yang meneliti tentang Rumah Sakit Jiwa di Magelang dan Yogyakarta pada Historia.

Advertising
Advertising

Dimin termasuk penderita gangguan jiwa yang beruntung. Orang lain yang seperti Dimin ada yang dikurung, dipasung, bahkan dibunuh karena dinggap amat mengganggu dan membahayakan masyarakat. Mereka yang bernasib mujur, bertemu atau dilaporkan polisi, berakhir di layanan kesehatan pemerintah kolonial. Tapi mereka yang “kurang mengganggu dan mengancam” masyarakat tidak bisa mendapat layanan ini.

Dari penelusuran Broere, sekira 30 persen pasien di Layanan Kesehatan Jiwa Magelang merupakan penderita gangguan jiwa yang menjadi gelandangan. Kebanyakan kasusnya seperti Dimin, mengamuk lantas ditangkap polisi dan dimasukkan ke penjara terlebih dulu. Mereka dirawat secara cuma-cuma dan menjadi tanggungan pemerintah Belanda.

“Saya pikir mereka (orang Belanda) juga merasa takut. Mereka merasa tidak aman di Hindia. Saya kira mereka begitu ketakutan pada orang Indonesia yang menderita gangguan mental atau orang yang terserang amok, bisa membunuh mereka, makanya dibentuklah layanan kesehatan mental,” kata Broere.

Jika Dimin masuk karena dianggap mengganggu, lain lagi dengan Raden Mas Hardjosentono yang masuk Layanan Kesehatan Jiwa Magelang diantar oleh salah satu anaknya. Sejak mengalami kesulitan finansial, Hardjisentono stres dan berujung depresi. Anaknya menyebut Hardjosentono bingung. Atas saran dari keluarga besar yang merupakan priyayi ini, anaknya mengantar Hardjosentono ke Magelang. Keluarga berharap Hardjosentono bisa sembuh dari gangguan jiwanya dan kembali seperti semula.

Dimin dan Hardjosentono (keduanya nama rekaan dalam penelitian Broere) masuk pada 1930-an ketika pelayanan kesehatan mental Hindia-Belanda sudah cukup mapan. Layanan kesehatan jiwa di masa ini sudah terintegrasi dengan rumahsakit transit (sebelum masuk ke Magelang) dan jaringan perkebunan yang digunakan sebagai masa percobaan sebelum pasien dilepas kembali ke masyarakat.

Pasien-pasien pada layanan kesehatan jiwa di Magelang datang dari kondisi seperti Dimin dan Hardjosentono. Namun ada pula yang dirawat sambil didampingi keluarga mereka meski pada akhirnya dititipkan di sana lantaran keluarga tak bisa seterusnya menunggui mereka.

Hans Pols dalam artikelnya “The Development of Psychiatry in Indonesia: From Colonial to Modern Times” menyebut pasien pribumi sembuh lebih cepat dibanding pasien-pasien Eropa. Pols mengutip dokter Belanda, PMH Travaligno, yang menyelidiki gejala skizofrenia di Jawa, bahwa halusinasi lewat penglihatan dan pendengaran jarang terjadi di kalangan penderita skizofrenia Jawa.

Penderita skizofrenia Jawa, menurut Travaglino, biasanya berperilaku agresif dengan mengamuk. Mereka juga bicara sendiri, berteriak, bernyanyi, dan memaki. Terkadang, mereka terlibat keributan karena mengganggu orang dengan merobek pakaian orang lain, merusak barang, atau memukul orang. Pasien-pasien ini mengalami disorientasi, kurang konsentrasi, sangat gelisah, dan histeris. Namun, kutip Pols, sebagian besar pasien pulih dalam waktu seminggu.

Ketika pasien gangguan jiwa di Magelang dianggap sudah sembuh, petugas kesehatan akan megirimkan surat, memberi kabar kesembuhan pasien. Keluarga pasien juga bisa mengajukan pembebasan rehabilitasi. Mereka yang masuk karena ditangkap polisi akan dibebaskan dengan diberi keterampilan bertani. Namun bila pasien gangguan jiwa masih suka mengamuk dan berpotensi mengancam lingkungan sekitar, mereka tidak akan dilepaskan.

Kehadiran layanan kesehatan mental di Magelang menjadi titik cerah untuk para penderita gangguan mental terhindar dari pasungan juga penelantaran. “Layanan kesehatan jiwa Magelang menjadi tempat aman bagi para pasien agar bisa pulih dari masalah mental dan menemukan jalan kembali ke masyarakat,” tulis Broere dalam penelitiannya, In and Out of Magelang Asylum.

Baca juga:

Kala Belanda Bangun Rumahsakit Jiwa

Bermula dari Institusi sampai Tumbuhnya Kesadaran Sehat Jiwa

Mereka yang Dirundung Pasung

Nasib Pasien Negeri Jajahan

TAG

Kesehatan Mental Belanda Kolonial

ARTIKEL TERKAIT

Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Desa Bayu Lebih Seram dari Desa Penari