SUATU malam, sekelompok orang bersenjata masuk secara paksa ke rumah Rohmah Soemohardjo Soebroto, janda Oerip Soemohardjo, di daerah Bausasran, Yogyakarta. Mereka menggasak harta benda Rohmah seperti emas dan uang perak Belanda. Kejadian itu membuat Rohmah dan anaknya trauma parah.
Setelah Oerip yang meninggal karena serangan jantung, Rohmah menghadapi masa sulit. Revolusi membelah masyarakat jadi pro-republik atau pro-Belanda. Keberpihakan itu tak pandang ras, ada orang pribumi yang pilih membela Belanda, ada yang bersetia pada cita-cita kemerdekaan, ada pula Belanda yang mendukung kaum republik. Situasi jadi penuh kecurigaan. Rohmah, Dina Maranta Pantow (isrtri Mr. Sunario Sastrowardoyo, dan Saadah Alim (penulis asal Sumatera Barat) mengalami pahitnya jadi orang yang dicurigai.
Kedekatan Rohmah dengan orang-orang Belanda membuatnya dicurigai para pemuda dan laskar-laskar sebagai pribumi pro-Belanda. Kecurigaan itu berangkat dari latarbelakang Oerip yang pernah jadi opsir KNIL dan keputusan Rohmah-Oerip mengadopsi anak perempuan berdarah Belanda bernama Abby. Kecurigaan makin bertambah karena Rohmah tidak menguasai bahasa Indonesia.
Akibat kecurigaan itu, hampir tiap hari Rohmah dan Abby mendapat ancaman pembunuhan. Harta bendanya sering diminta paksa.
Padahal, Rohmah punya banyak peran yang bisa membuktikan bahwa dirinya pro-republik. Ketika seorang istri prajurit republik datang meminta bantuan pengobatan suaminya yang terluka ke rumah Rohmah, misalnya, dIa langsung memberi bantuan. Rohmah juga acap membagikan obat khusus untuk anak-anak dan bayi.
“Saya membantu sejauh kemampuan saya. Saya tidak membelot kepada penjajah,” kata Rohmah seperti dikutip Galuh Ambar Sasi dalam “Menjadi Manusia Indonesia: Pergulatan Identitas, Jejaring, dan Relasi Perempuan di Yogyakarta pada masa Revolusi” yang dimuat dalam Pluralisme dan Identitas.
Namun, semua itu belum cukup membuktikan kalau Rohmah seorang pro-republik. Akibatnya, Rohmah terpaksa keluar dari rumah kontrakannya di Bausasran untuk menghindari berulangnya perampokan. Dia pindah ke Yap Boulevard, daerah permukiman tentara Belanda, yang membuatnya merasa jauh lebih aman dan dekat dengan teman-tamannya yang orang Belanda. Di Yap Boulevard, dia juga menerima secara cuma-cuma fasilitas seperti majalah, makanan, bahkan biskuit.
Hal serupa juga dialami Dina Pantow ketika pindah ke Jakarta dari Ujung Pandang. Ketika anak-anak Dina hendak disekolahkan ke Perguruan Cikini yang terkenal sebagai sekolah “kaum republiken”, mereka tak diterima lantaran Dina berasal dari Sulawesi Utara dan dianggap tidak berjiwa republik.
“Seakan-akan orang yang berasal dari Sulawesi Utara atau Indonesia Timur tidak ada yang berjiwa patriot,” kata Dina dalam kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Padahal, semasa di Yogyakarta Dina menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan bahan makanan dan persembunyian para pejuang. Usaha ini membuat Dina nyaris ditembak Belanda.
Sementara, Saadah mendapati keluarganya dicurigai pro-Belanda lantaran tak ikut mengungsi ke Yogyakarta semasa revolusi. Dari penuturan anaknya, Aida Hasnan Habib, Saadah dan keluarganya yang tetap tinggal di Jakarta mendukung anak-anaknya aktif menjadi relawan perjuangan kemerdekaan meski dicurigai pro-Belanda. Kakak-kakak Aida kala itu ikut menjadi sukarelawan medis, mengumpulkan bantuan logistik, bahkan ada yang menjadi prajurit.
Kecurigaan pada Dina, Saadah, dan Rohmah muncul tanpa dasar yang kuat. Meski demikian, ketiganya tidak goyah. Mereka tetap setia pada republik meski harus mengalami diskriminasi sampai kekerasan. “Saya sadar saya harus tinggal demi suami saya. Nama suami saya harus tetap bersih tidak ternoda!” kata Rohmah menjelaskan besarnya godaan kala teman-temannya pindah ke Belanda.