Masyarakat Nusantara memiliki khazanah pengetahuan keantariksaan (astronomi) berlimpah. Mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk kebutuhan praktis hidup kesehariannya. Orang Bugis, misalnya, terkenal piawai menggunakan pengetahuan astronomi untuk menentukan arah dalam pelayaran.
Orang Jawa dan Melayu mahir menentukan kapan masa tanam dan panen melalui pengetahuan astronomi. Selain guna sosial, ada pula guna personal yang diperoleh dari pengetahuan lokal tentang astronomi. Misalnya untuk menentukan saat baik dalam pembuahan rahim.
“Jadi, semua pengetahuan yang bersumber kepada pengamatan terhadap alam itu punya kegunaan langsung,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta di Cikini, Jakarta, 27 April 2019.
Baca juga: Setengah Abad Planetarium dan Observatorium Jakarta
Hilmar melanjutkan pengetahuan astronomi untuk kebutuhan sehari-hari semacam itu seringkali tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Sebaliknya, warisan pengetahuan astronomi dari negeri Barat memperoleh tempat dalam khazanah ilmu pengetahuan.
“Pengetahuan lokal pada masa kolonial itu selalu dianggap remeh. Kita ini dianggap sebagai sehimpunan manusia yang tidak saintifik. Tidak punya scientific mind. Kita tidak punya hitung-hitungan, dan seterusnya,” kata Hilmar.
Keterputusan dengan Masa Lalu
Anggapan remeh itu kemudian mendekam secara turun-temurun di pikiran generasi berikutnya. Mereka enggan mempelajari lagi warisan pengetahuan lokal tentang astronomi. Akibatnya generasi-generasi setelahnya menjadi terputus dengan pengetahuan lokal tentang astronomi.
“Kita ini kadang-kadang merasa inferior karena yang satu sudah berkembang, punya institusi macam-macam, sudah menghasilkan begitu banyak temuan dan seterusnya, sementara kita ini belum apa-apa. Padahal kita sebetulnya punya khazanah yang cukup kaya,” ungkap Hilmar.
Widya Sawitar, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, menegaskan pandangan Hilmar Farid. Dia mengatakan bahwa pembangunan Candi Borobudur pada abad ke-8 tidak terlepas dari pengetahuan lokal tentang astronomi.
Peletakan batu pertama Candi Borobudur memperhitungkan keberadaan sebuah bintang bernama Polaris (Bintang Utara). “Jadi kalau kita mau mencari tahu bagaimana mengarahkan, atau meletakkan batu pertama candi, ternyata dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal itu merujuk kepada sebuah bintang, Polaris,” kata Widya.
Baca juga: Surga-Neraka di Kaki Borobudur
Keberadaan Polaris berfungsi untuk menandai arah utara. Melalui keberadaan Polaris, pekerja Borobudur dapat meneruskan tahap pembangunan berikutnya.
Penelitian Widya juga memperlihatkan kekariban masyarakat Nusantara dengan pengetahuan astronomi. Widya menyebutnya sebagai budaya astronomi Nusantara. Dia mengambil contoh budaya astronomi dari khazanah Jawa.
Widya menunjukkan penamaan matahari dalam kebudayaan masyarakat Jawa di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Dia mencatat terdapat sekira 90 nama untuk menyebut matahari. Masing-masing nama memiliki makna tersendiri, tetapi objeknya tetap sama dan satu jua.
Widya kemudian mempelajari Serat Centhini. Dia menemukan sejumlah nama untuk bintang. “Tidak dapat dipungkiri apa yang kita sebutkan juga ada akulturasi antara budaya Jawa dan India,” kata Widya. Nama-nama itu antara lain lintang, kartika, talilintangan, dan banyak lainnya.
Dalam Pranoto Wongso, bagian dari Serat Centhini, Widya juga banyak menemukan penamaan terhadap gugus-gugus bintang, planet, dan galaksi. Salah satu gugus bintang bahkan menjadi pedoman musim. Namanya gugus Lintang Kartika. Dalam bahasa Latin terkenal sebagai Pleiades. Gugus bintang ini termasuk dalam rasi bintang Taurus.
Baca juga: Musik Gamelan di Luar Angkasa
Tembang-tembang Jawa pun begitu erat kaitannya dengan astronomi. “Saya juga menemukan tembang di sini yang banyak memuat nama benda langit. Ada rasi bintang Layang-Layang, Gubug Penceng. Ada gugus bintang Cruze di sana, ada Prahu Pegat, itu planet Mars. Dalam tembang juga ada Kali sebagai simbolisasi Kali Srayu yang melambangkan galaksi Bimasakti,” kata Widya.
Tak ketinggalan soal teori penciptaan alam semesta. Setiap peradaban selalu memiliki gagasan tentang asal mula penciptaan alam semesta menurut versi masing-masing. Legenda Jawa pun menyebutkan bagaimana alam semesta tercipta. Ini berkaitan dengan penciptaan tokoh panakawan bernama Semar atau Hyang Ismaya.
Jalan Perdamaian
Beralih ke wilayah lain di Nusantara, tersua pula budaya astronomi. Ini terangkum di dalam banyak buku-buku terkenal berbahasa Melayu seperti Bustan al-Salatin, Taj al-Salatin, dan Hikayat Bayan Budiman. Semua buku mengandung pengetahuan astronomi dan ilmu falak.
Orang bisa menguak kedalaman budaya astronomi tersebut melalui karya Tatiana Denisova, "Orientation, Navigation and Seafaring in Malay Islamic Historiography from the 4th to 19th Centuries", termuat dalam buku berjudul CASIS, UTM KL—Seminar & Workshop, The Astrolabe: Its History & Application.
Baca juga: Sumber Hidup Orang Melayu
“Itu contoh-contoh saja bagaimana keterkaitan antara benda langit dengan budaya masyarakat di kesehariaannya. Itu contoh budaya astronomi,” kata Widya.
Hilmar mengatakan kekayaan khazanah budaya dan pengetahuan lokal tentang astronomi tersebut hendaknya jangan sampai membuat orang meromantisasinya. Menurutnya sikap tersebut tidak produktif.
“Orang jenis ini mengatakan bahwa kita punya peradaban yang besar di masa lalu, sudah punya teknologi canggih dan seterusnya. Dan pekerjaan yang dilakukan oleh orang seperti ini adalah menunggu."
Hilmar mengatakan Indonesia punya peluang mengeksplorasi budaya dan pengetahuan lokal tentang astronomi bersama dengan astronomi modern untuk kebutuhan praktis hidup sehari-hari. Dia tidak sepakat memosisikan kearifan lokal dan sains modern secara berlawanan.
“Itu menurut saya juga bukan sikap yang baik untuk kemajuan. Keduanya sebetulnya bisa sangat saling menyumbang, saling memperkuat,” ujar Hilmar.
Hilmar berharap Planetarium dan Observatorium Jakarta dapat menjadi pivotal role, poros dari pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan, dari dialog yang sehat antara astronomi modern dengan kearifan-kearifan lokal tentang astronomi yang sudah lama ada dan menyejarah.