Masuk Daftar
My Getplus

Menggali Ilmu di Langit

Masyarakat Nusantara memiliki pengetahuan astronomi tradisional. Sayangnya dianggap tak ilmiah.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 11 Okt 2019
Rasi gubuk penceng. (kafeastronomi.com).

Setiap hari seorang gadis cantik lewat di dekat gubuk untuk mengantar makanan ke sawah. Terpesona oleh kecantikan sang gadis konsentrasi pemuda-pemuda yang sedang membangun gubuk itu pun terganggu. Akibatnya ketika selesai gubuk menjadi miring.

Kisah itu kemudian diabadikan orang Jawa sebagai nama rasi bintang, yaitu rasi gubug penceng (miring) atau yang dikenal dengan rasi layang-layang. “Rasi ini punya makna penting karena dipakai untuk menunjuk arah selatan,” ujar Premana Permadi, kepala Observatorium Bosscha, dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudyaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta.

Adapun sang gadis cantik dalam legenda itu pun diabadikan sebagai nama rasi bintang, Lintang Wulandjar Ngirim. Dalam astronomi modern, ia adalah rasi yang terdiri dari dua bintang paling terang di rasi Centaurus, yaitu Alpha Centauri dan Beta Centauri.

Advertising
Advertising

Dalam pameran “Langit untuk Semua: Astronomi dalam Budaya Nusantara” di Pekan Kebudayaan Nasional dijelaskan, bersama lintang Gubug Penceng, Lintang Wulandjar Ngirim disebut dengan rasi bintang pari oleh beberapa suku di Nusantara.

Dalam kalender pranata mangsa, Lintang Wulandjar Ngirim menempati posisi mangsa kawolu (ke-8), yaitu saat padi masih menghijau, sekira 4 Februari sampai 28/29 Februari.

Baca juga: Pranata Mangsa Tradisi Pengetahuan yang Digerus Zaman

Ada lagi Lintang Kartika, salah satu obyek langit yang banyak mendapat perhatian masyarakat kuno sebagai acuan navigasi dalam dunia pelayaran.

Dalam dunia pertanian, rasi ini menunjukkan dimulainya musim kapitu (ke-7) dalam pranata mangsa. Mangsa kapitu dimulai dari 22 Desember hingga 2 Februari. Dalam pranata mangsa, rasi ini merupakan waktu untuk memindahkan bibit padi ke sawah.

Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada menerangkan, kendati hidup di pedalaman sebagai masyarakat agraris, kemampuan astronomi tetap dibutuhkan. Seperti dalam hal menyusun pranata mangsa, kalender pertanian yang dikenal di Jawa dan Bali. Kalender ini berguna untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk menyemai, menanam, dan memanen padi.

“Bahkan kapan harus berburu, memotong bambu, karena ada musim tertentu yang kalau dipotong bambunya akan jelek,” lanjut Daud dalam seminar itu. “Ini adalah kekayaan etnosains yang luar biasa, yang belum kita gali.”

Bukan cuma dibutuhkan oleh masyarakat agraris. Pengamatan astronomis sudah muncul dari kebiasaan masyarakat Nusantara sebagai penjelajah lautan. Sudah sejak lama orang Nusantara lahir sebagai bangsa yang selalu dalam lingkungan laut. Langit menjadi sesuatu yang terbuka di mana mereka menimba ilmu pengetahuan. “Tiga ribu tahun lalu kita sudah sampai ke India. Kita yang ke sana duluan,” ujar dia. “Tidak mengherankan hampir semua etnis di Nusantara ada keterampilan tentang astronomi.

 

Berbeda dengan masyarkat tradisional, kini relasi manusia dengan langit semakin tipis. Utamanya karena memburuknya polusi cahaya. Orang pun menjadi lebih jarang menengadah ke langit untuk melihat fenomena astronomis.

Daud bilang, orang kini lebih percaya dengan ilmu astronomi modern. Pasalnya yang tradisional lebih banyak dibalut dengan mitos yang dianggap irasional.

“Padahal semua ini rasional, tapi karena bagiamana mereka menyampaikan, kalau disampaikan seperti ilmu pengetahuan sekarang saya kira pikiran mereka terlalu penuh. Tapi kalau dengan cerita, dongeng, jauh lebih mendalam mudah dipahami bahkan oleh anak kecil sekalipun,” jelas Daud.

Baca juga: Menggali Budaya Astronomi Nusantara

Filsuf dan astronom, Karlina Supelli menjelaskan sistem pengetahuan tradisional memang lebih banyak diturunkan secara oral dari generasi ke generasi. Ada sumber tertulis, tetapi umumnya hanya bisa diakses oleh satu kelompok masyarakat tertentu.

“Misalnya oleh resi, pandita agama, sementara yang diwariskan lewat dongeng, cerita, mitos, biasanya yang sifatnya umum-umum saja,” katanya dalam seminar itu.

Contohnya, kisah Dewi Sri yang dikenal masyarakat Sunda dengan nama Nyi Pohaci. Menurut Karlina, mitos ini adalah pelajaran bahwa dalam setangkai padi ada dinamika kehidupan. Ketika mitos ini diabaikan, masyarakat pun berisiko kehilangan kesadaran lingkungan.

“Memupus kesadaran dinamika benih dari tanam sampai panen sebagai bagian dari kosmos. Memupus juga pemahaman sosial tentang keadilan,” kata Karina. “Tanah itu hajat hidup orang banyak.”

Menurut Karlina ada caranya agar mitos-mitos tentang kearifan lokal ini bisa diterima di masa modern. Yaitu dengan keterbukaan dan kesediaan menerima apa yang di dalam masyarakat tradisional diterima dan dihayati sebagai realitas. Pun mengubah cara pandang memperlakukan mitos sebagai cerita khayal seakan dongeng.

“Mitos punya logika naratif, pola pikir intuitif yang puitis. Pengalaman spiritual tak mungkin dituturkan memakai bahasa diskursif. Ada metafor-metafor,” kata Karlina. “Bagaimana apakah kita bersedia menerima banyak pengetahuan dari sumber pengetahuan dan mengurangi intoleransi?”

TAG

astronomi

ARTIKEL TERKAIT

Mitos dan Tetenger Wabah Penyakit Ilmu Eksak Tertua Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang Status Cagar Budaya untuk Planetarium dan Observatorium Jakarta Menggali Budaya Astronomi Nusantara Serba Serbi Gerhana Matahari di Padang 1901 Membunuh Planet Pluto Akhir Kisah Raja Lalim AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa