Pengetahuan astronomi hampir dimiliki semua etnis di Nusantara, baik masyarakat maritim maupun agraris. Kendati dibalut mitologi, nenek moyang Nusantara telah merekam dan menjelaskan dengan baik fenomena alam yang diamatinya termasuk astronomi.
Contohnya, di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit.
Di Bali, wariga adalah istilah untuk menyebut primbonnya. “Naskah lontar kemudian juga ada yang disebut wariga, karena memuat pengetahuan astronomi dan penanggalan rumit juga,” kata Daud dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudayaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta.
Beberapa prasasti menyebut profesi wariga. Misalnya, prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa. Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan. Namun, hanya sepuluh nama yang sering disebut antara lain wariga, gusti, kalang (tuha kalang), winkas, tuha banua, parujar, huluair, tuhālas, tuha wәrәh, dan hulu wras.
Baca juga: Menggali Ilmu di Langit
Seorang wariga Jawa Kuno biasanya mengamati konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet ketika perintah raja dituangkan dalam sebuah prasasti. Misalnya dalam Prasasti Tuhannaru. Selain berisi penetapan desa perdikan, prasasti ini dibuka dengan informasi pertanggalan lengkap ketika prasasti itu diturunkan. Termasuk konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet di langit Mojokerto ketika itu, yaitu 1245 Saka, Masa (bulan dalam tarikh Saka) Margasira yang merujuk pada November hingga Desember.
Menurut Trigangga, kurator Epigrafi Museum Nasional dalam artikel “Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-unsur Penanggalan Prasasti” yang terbit di Pentas Ilmu di Ranah Kebudayaan, jika dikonversikan ke tarikh Masehi, prasasti tembaga itu dikeluarkan pada sekira pukul 06.56 pagi, hari Selasa Legi, tanggal 13 Desember 1323, lengkap dengan konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet.
Posisi benda langit juga penting ketika orang kuno akan membangun bangunan suci. Hal pertama yang mereka lakukan ketika akan mendirikan candi adalah menanam tiang gnomon untuk melihat bayangan matahari. Mereka mencari titik pusat yang sakral atau brahmasthana sebagai pusat candi. Di sinilah kekuatan yang melindungi bangunan suci itu dianggap ada.
Baca juga: Sesaji Sebelum Candi Berdiri
Ilmu astronomi juga banyak dianggap menjadi dasar pembangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Sejumlah penelitian memberikan beberapa kemungkinan tentang fungsi astronomisnya.
Daud menjelaskan, ada penelitian yang menduga kalau stupa induk di Borobudur adalah sebuah gnomonnya dan stupa di sekelilingnya adalah penanda waktu. Cara kerjanya mirip seperti jam matahari. Ada juga yang menyebutnya sebagai kalender tahunan. Pun ada pula yang menghubungkan pada arah bintang-bintang tertentu.
“Pendapat ini masih beragam. Ada yang mengaitkan dengan gerakan matahari karena Buddha disimbolkan dengan matahari juga, jadi ada yang mengkaitkannya dengan itu,” jelas dia.
Di sisi lain, oritentasi Candi Borobudur juga mengarah ke Gunung Merapi. Menurut Daud, ini bisa dikaitkan dengan upaya memadukan unsur agama Buddha dan sebagai landmark untuk tetenger. Pasalnya, keduanya sering dikaitkan dengan matahari dan gunung.
“Jadi Candi Borobudur sendiri juga diduga merupakan perpaduan antara ajaran Buddha dan mengingat nenek moyang,” kata Daud.
Baca juga: Menggali Budaya Astronomi Nusantara
Konsep itu rupanya juga terlihat di Situs Liyangan di kaki Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Situs ini terungkap beberapa tahun lalu. Daud mencoba menganalisis sepuluh bangunan candi yang ada di sana. Ketika diukur, candi-candi yang berusia relatif tua mengarah ke gunung api, yang waktu itu dikenal juga sebagai mandala agni. Sementara candi-candi yang lebih muda ternyata mengarah ke Candi Prambanan.
“Nah Candi Prambanan itu adalah tetenger dari nenek moyang mereka. Jadi barangkali ada kaitannya astronomi dengan konteks pemikiran mereka yang berhubungan dengan nenek moyang. Ini butuh dikaji lebih jauh lagi,” jelas Daud.
Daud mengatakan sistem kosmologi yang dimiliki orang Jawa ini juga ditemukan di Pasifik. Ia menduga ini merupakan pengetahuan yang dibawa oleh para penutur Austronesia yang berkelana ke kepulauan Nusantara.
“Ini bukan Hindu Buddha. Saya curiga sebagai Austronesia karena mereka yang berkelana lalu dimantapkan pada masa Hindu Buddha,” katanya.
Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
Namun, budaya India juga punya andil terhadap ilmu perbintangan Jawa Kuno. Khususnya, menurut Trigangga, kalender Jawa Kuno banyak dipengaruhi kalender Hindu (India) sebagaimana terlihat dari unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti.
Sementara kalau melihat unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti, tidak semuanya merujuk kepada pergerakan benda-benda angkasa. Contohnya unsur penanggalan dewata, menunjukkan bahwa setiap kelompok benda angkasa itu ada penguasanya (dewa).
“Dewa-dewa dianggap memiliki teritorial dan menguasai benda-benda angkasa tertentu dan mempengaruhi kehidupan manusia yang lahir di bawah tanda itu,” kata Trigangga.
Soal era atau tarikh, Jawa Kuno memakai kalender Tarikh saka. Sistem kalender ini awalnya tersebar dari India Selatan ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Dalam Masehi, persisnya tarikh ini dihitung mulai dari 2 Maret 78.
Namun, astrologi Jawa Kuno tak sepenuhnya mengikuti kaidah astrologi India. Ini tertutama dalam soal penamaan. Soal unsur penanggalan, bisa jadi masyarakat Jawa Kuno menciptakan lebih banyak daripada orang India. Contohnya, dalam penggunaan unsur penanggalan wuku dan wara. Di India hanya mengenal saptawara, di Jawa dan Bali selain saptawara, diciptakan juga tri, catur, panca, sad, asta, sanga, dan dasawara.
“Itu yang membuat kalender Jawa Kuno begitu rumit, tapi di balik kerumitan itu, tersirat kemudahan untuk merekonstruksi unsur-unsur penanggalan prasasti yang rusak atau hilang,” kata Trigangga.
Baca juga: Pranata Mangsa, Tradisi Pengetahuan yang Digerus Zaman
Menurut Trigangga, dibandingkan kalender India, unsur-unsur penanggalan pada kalender Jawa Kuno sangat lengkap, terdiri atas warşa (tahun), māşa (bulan lunar), samkrānti (bulan solar), tithī dan pakşa (satuan waktu yang lebih kecil dari bulan lunar), nāma tithī (siklus lima harian dalam bulan lunar), karaņa (setengah harilunar), wāra (hari solar), wuku (unsur penanggalan asli Jawa), nakşatra dan dewatā (sekelompok bintang), yoga (pergerakan bulan dan matahari secara bersamaan dalam mengelilingi bumi), grahacāra (lintasan planet), maņdala (wilayah pengelompokan bintang), parwweśa (simpul), rāśī (zodiak), dan muhūrta (satuan waktu terkecil dalam sistem penanggalan Jawa kuno).
Sementara masyarakat Jawa sekarang yang mewarisi pengetahuan ilmu perbintangan dari leluhurnya masih berpedoman kepada pranata mangsa. Ini adalah penanggalan yang berkaitan dengan musim, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Lalu ada primbon, pengetahuan tentang horoskop Jawa, watak atau kepribadian manusia berdasarkan tanggal lahir, atau berdasarkan hari lahir (weton), makna mimpi, tanda-tanda di tubuh, ramalan jodoh. Adapun petungan, adalah penentuan hari baik dan hari buruk untuk melakukan pekerjaan, membangun rumah, penentuan jodoh dan waktu pernikahan.
“Dari sejarah perkembangannya," kata Trigangga, "astrologi India yang juga mendapat pengaruh budaya Yunani telah memperkaya ilmu perbintangan yang sudah dimiliki masyarakat Jawa Kuno.”