PAGI, 9 Maret 2016, Nusantara merona ketika matahari menampakan korona di ufuk timur. Gerhana Matahari Total (GMT) terpancar di 12 daerah, tidak terkecuali Sumatera Barat. Mentawai menjadi daratan pertama yang dilintasi GMT. Pelbagai ritual dan pesta pun digelar.
Kendati demikian, Mentawai atau pun Padang tidak begitu menarik bagi para astronom mengamati dan menganalisa GMT yang menyembur pagi ini, Rabu (9/3). Mereka lebih memilih wilayah Timur Indonesia.
“Sepengetahuan saya nggak ada astronom ke Mentawai. Mungkin karena matahari terlalu rendah,” ujar astronom Avivah Yamani kemarin.
Kondisi ini kontras dibanding dengan peristiwa tanggal 18 Mei 1901, di mana Padang dan Mentawai menjadi salah satu jalur yang dilewati GMT.
Baca juga: Menggali Budaya Astronomi Nusantara
Berdasarkan catatan National Aeronautics and Space Administration (NASA), total durasi gerhana matahari saat itu, 6 menit 27 detik. Magnitudonya mencapai 1.034.
Selain Padang, GMT ini juga terlihat di Bukittinggi, Sawahlunto, dan beberapa daerah lain di Sumatra. Untuk Indonesia, GMT juga melintasi Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku. GMT juga melewati Mauritanius, Papua Nugini.
GMT di awal abad 20 tersebut, direspons para astronom dengan melakukan pengamatan dan penelitian. Padang menjadi salah satu tujuan utama untuk pengamatan.
James W. Gould dalam buku Americans in Sumatra mengatakan, Hindia Belanda diminati sebagai lokasi pengamatan gerhana pada 1901 karena aksesnya mudah. Sementara pilihan ke Sumatera karena dianggap lebih aman.
Alkisah, astronom Charles Dillon Perrine serta staffnya R.H Curtiss yang bekerja di Lick Observatory, University of California, memilih Padang sebagai tujuan untuk pengamatan GMT tahun 1901. Ia diberi amanah memimpin ekspedisi gerhana dari lembaga tersebut.
Perrine dan Curtiss bertolak dengan kapal dari San Fransisco pada tanggal 19 Februari 1901. Selama 45 hari mengarungi samudera dengan persinggahan di Honululu, Jepang, Hongkong, Singapura, Batavia, mereka akhirnya sampai di Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) tanggal 5 April.
Sejenak mereka berkeliling kota untuk melihat lokasi yang pas. Alhasil, gelanggang pacuan kuda di pinggir kota, sekitar Tunggul Hitam sekarang, mereka pilih sebagai tempat pengataman.
“Tempat pengamatan dibangun oleh tukang dengan konstruksi bambu dan atap ijuk. Bangunan itu dilengkapi gudang penampungan barang dan pagar,” cerita Perrine dalam The Popular Science Monthly yang terbit Agustus 1905.
Baca juga: Setengah Abad Planetarium dan Observatorium Jakarta
Lelaki kelahiran Ohio, 28 Juli 1867 tersebut, juga menyewa penduduk setempat untuk menjadi penjaga bangunan yang menyerupai perkemahan tersebut.
Perrine punya waktu sekitar enam minggu untuk persiapan sebelum GMT pancar pada 18 Mei. Selama itu pula, ia berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar, lalu mempersiapkan alat penunjang pengamatan seperti kamera dan teleskop.
Dari interaksi dengan penduduk sekitar, Perrine diberitahu bahwa lokasi kamp mereka tersebut adalah tempat angker. Dengan informasi tersebut, Perrine pun mendapat jawaban dari aura ketakutan dari sang penjaga di hari pertama.
“Setelah menanyainya, diberitahu bahwa pacuan kuda itu angker. Bahwa tidak penduduk asli yang berani tinggal sendirian, karena sering mendengar suara-suara aneh di tengah malam,” kisah Perrine.
Namun Perrine dan Curtiss tidak bergeming. Begitu juga dengan sang penjaga. Hari-hari mereka pun lebih banyak di sana.
“Enam minggu sebelum gerhana kami sangat sibuk. Ada sepuluh teleskop
yang dipasang dan disesuaikan dengan pas. Pengamatan waktu sering dibuat, sembari melakukan percobaan untuk menentukan metode terbaik untuk mendokumentasikan gerhana dengan fotografi,” kata dia.
Baca juga: Planetarium Ambisi Sukarno Menguak Rahasia Angkasa
Sementara masyarakat pribumi, mengutip keterangan Perrine, awalnya merasa terganggu. Mereka berpikir sebagai orang asing, dengan ras hampir sama dengan Belanda, dianggap sebagai mata-mata.
Lambat laun, keberadaan mereka diterima terbuka. Apalagi bukan hanya Perrine dan Curtiss, para astronom asing pun semakin ramai menjejali Padang.
Menurut Perrine, kehadiran banyak astronom berdampak pada sambutan masyarakat. Kecurigaan tidak lagi terpapar. Bahkan, masyarakat pun sudah paham, bahwa orang-orang tersebut sedang mengamati gerhana matahari yang muncul sempurna di Padang.
Namun, masyarakat juga semakin liar dalam menafsirkan keberadaan para peneliti tersebut. Jika persiapan menyambut gerhana tidak lagi dicurigai, dikatakan Perrine, masalah lanjutan timbul, ketika sebagian masyarakat mengira para peneliti tersebut juga pandai meramal.
“Jika kami bisa meramal peristiwa seperti kejadian saat gerhana nanti, kita akan dikultus manusia setengah dewa,” ujar Perrine.
Baca juga: Perjalanan Dinas Menyedihkan Demi Planetarium
Mengenai apa yang akan terjadi ketika gerhana terus menjadi pertanyaan penduduk setempat. Dikatakan Perrine, astronom yang ada di Padang coba menjelaskan secara ilmiah dengan menyebutkan komet besar muncul sesaat sebelum gerhana.
Sontak, iman penduduk goncang, membayangkan kejadian yang mengerikan seperti kiamat. Muncul rumor, sebut Perrine, bahwa kamp mereka akan dihancurkan.
“Aku tidak tahu bahwa ada bahaya nyata, tetapi kepolisian waspada hingga gerhana itu selesai,” ujarnya.
Seminggu jelang gerhana, semua persiapan dimatangkan. Perrine mengatakan, persiapan juga dibantu oleh orang Belanda. Instrumen yang dibutuhkan untuk pengamatan juga disiapkan.
“Terus belajar mengoperasikan kamera teruma untuk menangkap dengan cahaya dan kecepatan tinggi,” bilangnya.
Hari yang ditunggu tiba. Namun, Padang dibaluti awan yang sedikit menutupi cahaya matahari selama total.
Meski berawan, dikatakan Perrine, pengamatan berjalan sukses dan menghasilkan informasi yang sangat penting. Hal ini karena durasi totalnya lumayan lama, 6 menit 50 detik.
Perrine mengatakan, tiga set kamera yang dirancang khusus untuk merekam berhasil mengabadikan korona dalam, tengah, dan luar.
“Foto korona skala besar tersebut menunjukan kekhasan,” tukasnya.
Durasinya yang lama, dimaksimalkan astronom untuk mencari lebih banyak lagi planet antara mercuri dengan matahari. Empat kamera dengan lensa panjang difokuskan untuk pencarian tersebut.
Baca juga: Planet Baru di Luar Galaksi
Selama itu pula, Perrine dan Curtiss merekam pergerakan matahari dengan alat fotografi. Ia menyebutkan untuk melihat pergerakan matahari menjadi total mesti menggunakan alat seperti teleskop dan kamera dengan lensa panjang.
Jika hanya dengan mata telanjang, hanya tampak samar-samar matahari seperti cincin, tanpa struktur apa pun.
Akan tetapi yang terpenting, kata Perrine, dengan berlalunya bayangan gerhana matahari total dan kembali normal, telah meredupkan paradigma tahayul yang masih menggelayuti sebagian diri masyarakat.
Selain astronom, dikatakan Perrine, banyak pelancong yang datang ke Hindia-Belanda untuk menyaksikan fenomena GMT. Sebagaimana orang asing masuk, mereka pun mengikuti prosedur seperti membubuhkan stempel kedatangan dan membayar uang masuk.
Pemerintah kolonial dibuat sibuk. Namun dengan administrasi demikian, cerita Perrine, orang asing dan wisatawan yang datang menjadi terdata.
Selain ke Padang, tujuan sebagian para peneliti dan juga wisatawan di Sumatera Barat adalah Bukittinggi (Fort de Kock) dan Sawahlunto.
Baca juga: Status Cagar Budaya untuk Planetarium dan Observatorium Jakarta
Jika Padang diselimuti awan saat proses gerhana total, lain Bukittinggi. Masih dalam bukunya, Americans in Sumatra, Gould mengatakan pemandangan gerhana di Bukittinggi sangat bagus karena cuaca cerah. Beruntung bagi rombongan astronom Angkatan Laut Amerika Serikat karena memilih kota tersebut.
Ternyata para astronom Angkatan Laut Amerika Serikat tersebut berangkat ke Padang dengan USS General Alava (AG-5). Kapal buatan tahun 1895 tersebut berlabuh di Teluk Bayur.
Menurut Perrine, selama persiapan gerhana, sejumlah hiburan disajikan untuk petugas dan para astronom.
Ia sendiri sempat menghadiri pesta perpisahan yang dilangsungkan Konsul Amerika. Tarian dan minuman menjadi pelepas dahaga setelah berminggu-minggu di Padang berkutat dengan teleskop.
Setelah melakukan tugas mengamati GMT, Perrine cukup lama di Padang. Ia menghabiskan waktu jalan-jalan, mengamati kehidupan dan kebudayaan warga Padang. Ia juga sempat ke pedalaman Minangkabau.
Perrine meninggal 21 Juni 1951. Ia bekerja di Lick Observatory selama 16 tahun, dari 1893-1909. Setelah itu, pemenang Lalande Prize tahun 1897 ini kemudian menjadi Direktur Argentine National Observatory hingga tahun 1936.