PLANETARIUM di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, terlihat kuno di antara bangunan tinggi di belakangnya. Kubahnya berwarna putih dan tampak kusam. Catnya sedikit mengelupas. Ia telah berusia 50 tahun pada November 2018, tapi masih mempunyai daya pikat.
Ratusan orang mengunjungi Planetarium pada libur tahun baru 2019. Kebanyakan rombongan keluarga dan ingin menyaksikan pertunjukan Teater Bintang. Harga tiketnya cukup ramah kantong: Rp12.000 untuk orang dewasa dan Rp7.000 untuk anak-anak. Tapi pertunjukan hanya berlangsung tiga kali sehari.
Sejumlah orang tak beroleh tiket. Mereka harus puas menjelajah jagad raya melalui ruang pameran. Di sini terpampang linimasa penciptaan alam semesta. Ada pula keterangan tentang gerhana matahari dan bulan. Semua tersaji dalam bahasa ringan dan mudah dimengerti. Dari sini orang jadi tahu bahwa gerhana bukanlah peristiwa raksasa memakan bulan atau matahari.
Baca juga: Serba-serbi gerhana matahari di Padang tahun 1901
Sekarang pandangan takhayul semacam itu perlahan sirna. Tapi dulu, saat gagasan pembangunan Planetarium muncul dari Presiden Sukarno pada 1963, pandangan itu masih kaprah di sebagian besar bangsa Indonesia.
Sains melawan takhayul
“Ide untuk membangun Planetarium itu adalah ide dari presiden sendiri, yang ingin sekali membangkitkan minat dan perhatian pemuda-pemuda kita terhadap ilmu pengetahuan perbintangan dalam zaman abad angkasa luar ini, supaya bangsa Indonesia jangan ketinggalan daripada bangsa-bangsa lain dalam bidang ilmu pengetahuan yang maha penting ini,” tulis mingguan Djaja, 6 April 1963.
Sukarno memandang takhayul masih membelenggu sebagian besar bangsa Indonesia.
“Kita kadang masih kerdil, masih kecil. Misalnya kita ini masih banyak yang ber-gugon tuhon, bertakhayul. Mengira bahwa gerhana ialah karena bulan digerogoti oleh Batara Kala. Mengira bahwa jikalau ada bahasa jawanya lintang kemukus nanti akan datang pagebluk, (bencana, red.),” kata Sukarno dalam pidato pemancangan tiang pertama Planetarium pada 9 September 1964, termuat dalam arsip pidato Sukarno 1958-1968 Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Baca juga: Astronom Indonesia menemukan planet baru di luar galaksi
Sukarno menceritakan pengalaman masa kecilnya bersentuhan dengan takhayul. Suatu kali dia bangun subuh bersama ayahnya. Tujuannya melihat komet Halley melintas di langit Jawa. Orang Jawa menyebutnya lintang kemukus.
Orang-orang sekitar rumah Sukarno juga melakukan hal serupa. Ketika komet Halley melintas dan bisa dilihat secara benderang, seseorang berkata, “Wah, celaka! nanti akan datang pagebluk,” kata Sukarno menirukan ucapan orang tersebut.
Kemudian wabah kolera menyergap Surabaya dan Mojokerto. Banyak orang masuk rumah sakit. Tak sedikit pula yang meninggal. Para penganut takhayul bersuara kembali. “Aku sudah bilang kalau ada lintang kemukus, pasti bakal ada bencana.”
Sukarno tidak terima pandangan semacam itu. Kejadian tersebut hanya kebetulan, bukan sebab-akibat. Tak ada hubungan logis antara lintang kemukus dan wabah kolera di Surabaya dan Mojokerto.
“Nanti saudara bisa lihat di dalam planetarium bahwa komet itu tak lain tak bukan hasil daripada gerak-gerak bintang yang misalnya mengeluarkan gas,” terang Sukarno.
Baca juga: Tiket satu arah ke Planet Mars
Ada lagi pengalaman lain Sukarno tentang takhayul alam semesta yang hidup di kalangan bangsa Indonesia. Dia katakan pernah bertemu dengan seorang pemuda ketika memberikan kursus politik di Bandung pada masa pergerakan nasional. Si pemuda percaya bahwa bumi itu seperti opak. Bunder, tapi rata. Berlainan dengan kesimpulan ilmuan bahwa bumi itu bulat.
Kala lain Sukarno berhadapan dengan orang yang masih percaya bahwa mataharilah yang mengelilingi dunia. Bukan sebaliknya. Padahal ilmuwan-ilmuwan Eropa telah membuktikan 400 tahun lalu bahwa dunialah yang mengelilingi matahari.
Sukarno heran. “Kok kita sampai sekarang masih mengira saja matahari yang mengelilingi dunia?”
Beda dengan observatorium
Gagasan pembangunan Planetarium merupakan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Orang ketika itu hanya mengenal observatorium, tempat untuk mengamati benda-benda angkasa. Indonesia punya satu biarpun kecil-kecilan, kata Sukarno. Namanya Observatorium Bosscha, terletak di Bandung Utara.
Planetarium berbeda dari observatorium. Planetarium adalah tempat orang memperoleh pengetahuan tentang benda-benda langit, peristiwa yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta, dan keadaan di galaksi.
Planetarium gagasan Sukarno akan mempunyai kubah bergaris tengah sepanjang 23 meter. Di bawah kubah ada proyektor untuk menyorot. Dari sorotan itu timbul proyeksi gambar angkasa di sekeliling kubah bagian dalam.
Di bawah kubah tersedia pula tempat duduk untuk pengunjung. Sanggup menampung hingga 500 orang. “Ukuran planetarium sebesar ini merupakan ukuran terbesar di dunia,” tulis Djaja, 1 Juni 1963.
Baca juga: Cerita di balik musik gamelan di luar angkasa
Tempat duduk itu didesain sedemikian rupa untuk memberi pengunjung efek seolah-olah berada di tanah lapang dan sedang melakukan perjalanan ulang-alik sembari menatap angkasa raya. Lalu ada keterangan lisan dari petugas melalui pengeras suara tentang bagian-bagian angkasa yang sedang dipertontonkan ke pengunjung.
Keterangan lisan tersebut berlandas pada teori tiga ilmuwan. Pertama, teori susunan ruang angkasa menurut Nicolaus Copernicus. Kedua, teori tiga hukum astronomi dari Johannes Kepler. Ketiga, teori hukum gravitasi galian Isaac Newton. Demikian menurut Djaja, 19 September 1964.
“Jadi dengan duduk di planetarium itu saja kita mendapat pengetahuan tentang gerak-geriknya bintang-bintang,” lanjut Sukarno. Agar pengunjung betah dan tidak kelaparan saat mencari rahasia tentang angkasa raya, Sukarno menyarankan pengadaan perpustakaan, restoran, dan observatorium kecil dalam kompleks Planetarium.
Baca juga: Raden Saleh, pelopor seni lukis modern Indonesia
Planetarium Jakarta mengambil lokasi di bekas lahan Kebun Binatang, Cikini, Jakarta Tengah. “Pemilihan tempat itu sesuai dengan pendapat dua ahli planetarium Jerman yang khusus datang ke Indonesia untuk pembangunan planetarium ini dan sesuai dengan pesan almarhum Raden Saleh supaya taman tersebut dipergunakan sebagai tempat rekreasi untuk rakyat,” lanjut Djaja. Raden Saleh adalah pelukis sohor Indonesia sekaligus pemilik lahan tersebut.
Dana dari pengusaha batik
Sukarno menghendaki Planetarium Jakarta menonjolkan kekhasan Indonesia. Planetarium harus menonjol sendirian. Tidak boleh ada gubuk, rumah, dan toko yang menghalangi pandangan orang ke Planetarium. Wastu (bangunan) sekitar harus diatur sedemikian rupa supaya tampak harmonis dengan Planetarium.
Sukarno juga menginginkan kehadiran unsur ke-Indonesia-an dalam segi arsitekturalnya. “Maka pra-rencana pembangunan gedung itu dilakukan oleh tenaga-tenaga ahli kita sendiri, sedangkan peralatan teknisnya akan disediakan oleh Republik Demokrasi Jerman,” catat Djaja, 6 April 1963.
Sukarno menjelaskan arsitektural yang mengandung unsur ke-Indonesia-an untuk Planetarium ini bukanlah berunsur dari Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Bukan pula unsur dari rumah-rumah daerah, melainkan unsur-unsur arsitektural yang mampu menggambarkan kebutuhan manusia Indonesia modern dan ikhtiar menciptakan manusia Indonesia baru pada masa depan.
Baca juga: Cinta mati batik Betawi
Pembangunan Planetarium Jakarta memerlukan biaya sekira Rp1,5 miliar. Sukarno buka kartu bahwa sebagian besar biaya pembangunan akan berasal dari pihak swasta, Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Sukarno tak mengungkap mengapa dia memilih pengusaha batik untuk mendanai sesuatu yang berhubungan dengan angkasa raya.
“Heh, GKBI saya memerlukan gedung. Sanggup apa tidak GKBI mengongkosi pembangunan gedung ini?” cerita Sukarno. Anggota GKBI lalu bertanya perkiraan biayanya. Sukarno bilang bahwa untuk peralatannya saja seharga 670 ribu dolar Amerika Serikat. Belum termasuk biaya gedung. GKBI menyatakan kesanggupannya.
Tapi huru-hara setelah peristiwa 30 September 1965 mengubah semuanya. GKBI menarik diri dari pembiayaan. Pembangunan Planetarium sempat mangkrak beberapa lama. Lantas pemerintah pusat mengambil alih pendanaannya pada 1967. Dan ketika Planetarium ini berdiri pada 10 November 1968, Sukarno selaku sang penggagasnya telah tersingkir dari jagat politik. Planetariumnya pun kini mendem di antara bangunan-bangunan tinggi di sekitarnya.