Dahulu orang percaya ada hantu pembawa maut berwujud bola arwah. Terkadang ia muncul sebagai rombongan prajurit ganas yang bisa membunuh manusia ketika mereka tertidur. Hantu bernama Lampor itu kerap menimbulkan suara gaduh. Suaranya berasal dari iringan kereta kuda dan derap kaki pasukan.
Beberapa masyarakat Jawa mempercayai kalau mereka adalah pasukan Nyi Roro Kidul yang tengah bergerak dari Laut Selatan ke Gunung Merapi atau Keraton Yogyakarta. Sementara masyarakat di Jawa Timur percaya kalau Lampor muncul bersamaan dengan wabah penyakit.
Lampor mencari korbannya seringkali di bulan Sapar pada malam hari. Korban dicekik lalu dibawa dengan keranda. Jika itu terjadi, mereka bakalan mati seketika.
Namun, Lampor punya kelemahan. Konon, ia tak bisa duduk atau jongkok. Jadi orang-orang akan memilih tidur di bawah dipan atau di lantai agar Lampor tak mencekik mereka.
Dwi Cahyono, arkeolog yang mengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan kalau isu setan Lampor semacam itu marak di Jawa Tengah dan Timur sampai pada 1960-an. Lambat laun cerita itu menghilang. Desas-desus seputar Lampor kemungkinan muncul manakala banyak terjadi wabah penyakit pada masa lampau. Jika ia datang orang bisa mati dalam tidurnya.
"Wabah penyakit dalam konsepsi lama direlasikan dengan peristiwa mistis, seperti pada hantu Lampor," kata Dwi kepada Historia.
Baca juga: Flu dan Penyakit Menular Zaman Kuno
Terkadang dalam percakapan, kata lampor disandingkan dengan kata pagebluk, menjadi pagebluk lampor. Lampor secara harfiah berasal dari kata Jawa Kuna, lampur. Artinya mengembara atau bepergian. Sementara pagebluk adalah istilah Jawa untuk menyebut wabah penyakit.
Istilah pagebluk lampor kemudian memberi penegasan kalau pada masa lalu mungkin pernah terjadi pagebluk yang dahsyat dampaknya. Soal dahsyatnya pagebluk ini, ada perkataan dalam bahasa Jawa Baru yang populer.
"Isuk loro, sore mati, ini kan memberi gambaran betapa ganas penyakitnya, dalam durasi sesingkat itu orang mati," ujar Dwi.
Kata-kata itu dijumpai dalam kisah Babad Tanah Jawi. Jadi, setelah Amangkurat I wafat, Mataram tertimpa musibah. banyak orang sakit. Negara rusak. Udara tidak baik. Makanan mahal. Hujan tak turun, sehingga udara begitu panas. Negara Mataram seperti terbakar. Banyak orang meninggal. Pengemis tersebar di sepanjang jalan atau sungai. Banyak penderita sakit borok, kudis, pathek, bubul, dan sejenisnya. Orang yang sakit di waktu pagi, sorennya meninggal.
"Jadi dari situ kita melihat bahwa pada masa lalu ada gambaran tentang bencana penyakit," lanjut Dwi.
Lewat Tetenger Alam
Mungkin saking menakutkannya dampak pagebluk, orang Jawa pun mulai mencari pertanda atau tetenger sebelum wabah datang. Pada zaman Mataram Islam misalnya, pagebluk dihubungkan dengan kemunculan bintang berekor atau komet. Orang Jawa menyebutnya lintang kemukus. Menurut tradisi mereka, kemunculan komet pada arah tertentu memiliki arti, di antaranya sebagai pertanda kemunculan pagebluk.
"Memang umumnya penampakkan komet dimaknai sebagai membawa ‘hal yang kurang baik’, kecuali apabila muncul di arah barat," jelas Dwi.
Berdasarkan buku Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu yang ditulis R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya, Dwi menjelaskan bila komet muncul di arah timur tandanya ada raja yang sedang berbela sungkawa. Lalu rakyatnya bingung. Desa pun banyak yang mengalami kerusakan dan kesusahan. Harga beras dan padi murah, tetapi emas mahal harganya.
Baca juga: Pasukan Mataram Diserang Wabah Penyakit
Bila bintang berekor muncul di tenggara menandakan ada raja yang mangkat. Orang desa banyak yang pindah. Hujan jarang. Buah banyak yang rusak. Ada wabah penyakit yang membuat banyak orang sakit dan meninggal. Beras dan padi mahal. Kerbau dan sapi banyak yang dijual.
Apabila komet muncul di arah selatan tandanya ada raja mangkat. Para pembesar susah. Banyak hujan. Hasil kebun melimpah. Beras, padi, kerbau, dan sapi dihargai murah. Orang desa merana, karenanya mereka pun mengagungkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Suci.
Kalau komet muncul di barat daya artinya ada raja mangkat. Orang desa melakukan kebajikan. Beras dan padi murah. Hasil kebun berlimpah. Tapi kerbau dan sapi banyak yang mati.
Jika komet muncul di barat tandanya ada penobatan raja. Para pembesar dan orang desa senang. Beras dan padi pun murah. Apa yang ditanam berbuah subur dan cepat menghasilkan. Hujan akan turun deras dan lama. Apapun barang yang dijual-belikan murah harganya, karena memperoleh berkah Tuhan.
Lalu kalau bintang kemukus muncul di barat laut, itu pertanda ada raja yang berebut kekuasaan. Para adipati juga berselisih, berebut kekuasaan. Sementara warga desa bersedih hati. Kerbau dan sapinya banyak yang mati. Hujan dan petir terjadi di musim yang salah. Kekurangan makin meluas dan berlangsung lama. Beras dan padi mahal, namun emas murah.
Baca juga: Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang
Apabila ada komet muncul di utara, maknanya ada raja yang kalut pikiran lantaran kekeruhan di dalam pemerintahannya. Timbul perselisihan yang semakin berkembang menjadi peperangan. Beras dan padi mahal. Namun harga emas murah.
Selain tanda adanya wabah penyakit pada manusia, lintang kemukus juga memberi pertanda ada wabah penyakit yang akan menyerang hewan. Ada pertanda kalau kerbau dan sapi banyak yang mati. Itu disebutnya aratan. Bila lintang muncul di arah barat daya dan di barat laut.
"Ada pertanda alam yang di masa lalu dipersepsi sebagai tengara tentang adanya kematian," jelas Dwi. "Lampor itu juga merupakan keyakinan lokal sebenarnya tidak secara langsung bicara tentang penyakit tapi ada dampak yang berhubungan dengan penyakit."
Cara Memotong Rantai Penularan
Karenanya musibah yang terjadi akibat wabah penyakit bisa disebut sebagai malapetaka. Dwi menjelaskan, secara harfiah, dalam konteks Jawa Kuno dan Jawa Tengahan kata mala berarti kotor, cabul, najis secara fisik dan moral, noda, cedera, cacat, dan dosa. Kata itu bisa juga berarti penyakit.
"Terlihat bahwa pada mulanya malapetaka bertalian dengan bencana penyakit, yang kemudian diperluas artinya ke bermacam bencana," ujar Dwi.
Dengan pengertian itu, seringkali wabah penyakit, yang termasuk ke dalam malapetaka tadi, disembuhkan tidak lewat penanganan medis. "Ini kan suatu isu penyakit kemudian membias ke hal yang di luar penyakit," kata Dwi.
Misalnya, ada masyarakat yang membuat tumpeng untuk mengatasi serangan pagebluk. Seperti dijumpai pada masyarakat Tengger, suku asli yang mendiami wilayah Gunung Bromo dan Semeru, Jawa Timur. Mereka punya Tumpeng Pras.
Baca juga: Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit
Namanya berkenaan dengan cara tumpeng itu diperlakukan. Setelah diupacarai, puncak tumpeng akan dikepras. Diyakini, pemotong ini salah satunya untuk menghilangkan penyakit.
"Jadi secara simbol tumpeng dan praktik social distancing ini sama prinsipnya. Memotong rantai penularan," jelas Dwi.
Ketika wabah terjadi biasanya di wilayah masyarakat Tengger terjadi penyimpangan yang bersifat makrokosmos. Tandanya seperti ada harimau yang masuk kampung. Ini menyimpang karena perkampungan penduduk bukanlah habitat harimau.
"Ini isyarat akan ada penyimpangan di dunia manusia. Misalnya banyak anak mati secara beruntun. Pagebluk itu tadi. Menghilangkannya dengan membuat tumpeng pras. Memang digunakan untuk kepentingan ini,” jelas Dwi.
Baca juga: Konsep Sakit dan Sehat dalam Primbon
Secara umum, menurut Bani Sudardi, dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam "Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa", terbit di jurnal Humaniora Vol. 14/2002, orang Jawa percaya kemungkinan mereka sakit bergantung pada kualitas hubunganya dengan lingkungan. Mereka yakin bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis.
Itu mengapa, sebagaimana menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa III: Warisan Kerajaan Konsentris, ritual-ritual pedesaan seperti oleh masyarakat Tengger tadi, banyak dilakuan demi menjaga keserasian semesta. Antara desa dan kosmos harus seimbang agar kehidupan tak bergoyang.
Sementara wabah penyakit yang menimpa manusia ataupun binatang adalah pertanda tentang adanya kekacauan di mikrokosmos. Adapun kemunculan lintang kemukus merupakan pertanda adanya krisis pada makrokosmosnya.
"Komet itu kan penyimpangan. Dalam kondisi normal komet akan tetap di garis orbitnya. Ini seringkali dipercayai akan diikuti dengan penyimpangan mikrokosmos, pagebluk,” jelas Dwi.
Baca juga: Wabah Aneh yang Membuat Orang Menari