SIAPA sangka Jena, kota kecil yang tenang di Jerman, punya pertautan dengan Jakarta? Kota ini menjadi rujukan para ilmuwan dalam membangun Planetarium. Di kota inilah ilmu astronomi berkembang pesat. Kemudian di sini pula planetarium modern pertama di dunia berdiri pada 1925.
Presiden Sukarno kagum pada perkembangan ilmu astronomi dan teknologinya di Jena. Dia ingin dua hal itu terjadi juga di Jakarta. Dia katakan dalam pidato pemancangan tiang pertama Planetarium Jakarta pada 9 September 1964 bahwa peralatan Planetarium akan berasal dari perusahaan teknologi VEB Carl Zeiss.
VEB Carl Zeiss adalah penyokong pendirian planetarium di Jena, dulu masih masuk wilayah Republik Demokrasi Jerman (RDJ).
Baca juga: Planetarium ambisi Sukarno menguak rahasia angkasa
Kebetulan hubungan diplomatik Indonesia dengan RDJ berjalan baik. Pemerintah Indonesia meminta bantuan pemerintah RDJ untuk membangun Planetarium Jakarta. RDJ lalu meneruskan keinginan ini kepada VEB Carl Zeis. Dari sinilah kontak Jakarta dengan perusahaan VEB Carl Zeiss bermula.
VEB Carl Zeiss bersedia membantu pengadaan peralatan untuk Planetarium Jakarta. Kontrak kerja sama profesional pun ditandatangani dua pihak: Planetarium Jakarta sebagai konsumen dan VEB Carl Zeiss selaku penyedia jasa.
Perjalanan kacau
Panitia Planetarium Jakarta mengutus seorang staf bernama Kodrat Iman Satoto untuk berhubungan dengan VEB Carl Zeiss dan meninjau sejumlah planetarium di Eropa. Biaya perjalanan Kodrat sepenuhnya berasal dari kas pemerintah sesuai Surat Keputusan Perdana Menteri RI No. 15/PM/PD/1965.
Kodrat harus berkunjung ke Jena untuk memperoleh petunjuk tentang peralatan Planetarium buatan VEB Carl Zeiss. “Petunjuk itu meliputi operation, troubleshooting, maintenance, dan mempelajari konstruksi peralatan planetarium di pabrik Sudwerke VEB Carl Zeiss Jena,” cerita Kodrat dalam laporan perjalanan dinasnya, 10 Juni 1965, termuat dalam bundel Arsip Sekretariat Negara 1959–1968 koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Kodrat berangkat naik pesawat terbang dari Jakarta pada 19 Maret 1965. Dia harus beberapa kali menyambung penerbangan lantaran tak ada maskapai yang membuka rute penerbangan dari Jakarta langsung menuju Jena.
Baca juga: Astronom asal Indonesia menemukan planet baru di luar galaksi
Kodrat turun di Berlin Barat setelah mengudara hampir 20 jam. Tidak ada orang dari kantor perwakilan Indonesia dan VEB Carl Zeiss yang menyambutnya. Dia kebingungan dan kedinginan di bandara. Pakaiannya tidak cukup tebal untuk menahan udara musim semi. Bekal uangnya cuma recehan senilai dua dolar Amerika Serikat.
Kodrat sudah memperkirakan kekacauan perjalanan ini. Sebelum keberangkatan, dia mengajukan surat kepada bendahara Planetarium dan Direktorat Perjalanan Pemerintah Daerah Khusus Jakarta.
Surat Kodrat berisi permintaan pengambilan uang otorisasi perjalanan dinas sebesar Rp1.500.000. Besaran itu sesuai dengan Surat Keputusan PM No. II-252.64/Keu. OT-PM TTG 4-12-64 dan PPU No. 1772/PPU/1964. Uang sebesar itu cukup untuk keperluan menuju kota Jena.
Berat di ongkos
Tapi kehendak Kodrat berbenturan dengan aturan yang berlaku. Bendahara Planetarium tak membalas surat permintaannya, sedangkan staf Direktorat Perjalanan Pemerintah Daerah Khusus Jakarta mengatakan bahwa uang tersebut akan ditransfer ke perwakilan Indonesia di beberapa kota di Eropa.
Artinya Kodrat baru memperoleh uang tersebut setibanya di Eropa. Yang jadi masalah, tak semua kota-kota planetarium yang akan dikunjungi oleh Kodrat terdapat kantor perwakilan Indonesia. Terpikir olehnya bahwa dia harus bolak-balik untuk mengambil uang otorisasi perjalanan dinas. “Secara efisiensi kurang,” tulis Kodrat.
Baca juga: Mengapa Pluto diturunkan statusnya menjadi planet kerdil
Kodrat terpaksa menggunakan uang hariannya selama di Eropa demi sampai ke Jena. Dia tombok perjalanan dinasnya. Pengeluarannya habis untuk biaya pajak bandara, tiket kereta api, biaya porter, tips, dan penginapan. “Sehingga dengan jumlah uang tersebut praktis tidak bersisa untuk keperluan yang lain. Misalnya saja, makan,” lanjut Kodrat.
Perkara ini benar-benar bikin Kodrat kesal. Dia menyebut kejadian ini sebagai “peristiwa tragis dan memalukan sekali.” Satu hal yang menghiburnya adalah kesempatan menyaksikan planetarium-planetarium di Eropa yang tak banyak orang Indonesia dapatkan.
Peralatan diubahsuaikan
Kodrat pun akhirnya tiba di Jena. Dia kembali meraih kesempatan langka mempelajari langsung peralatan planetarium buatan VEB Carl Zeiss. Salah satunya untuk Planetarium Jakarta.
“Planetarium yang paling up-to-date,” tulis Insinyur Sutami –kelak menjadi menteri pekerjaan umum– dalam Djaja, 19 September 1964. Maka peralatannya mesti paling mutakhir juga.
Ini peralatan pertama VEB Carl Zeiss untuk negeri tropis. Mereka menjamin peralatan ini tahan lama di iklim tropis. Agar alat tersebut bisa beroperasi baik sesuai dengan rancangan Planetarium Jakarta, Kodrat mengusulkan beberapa penyesuaian terhadap desainnya.
Baca juga: Cerita musik gamelan di luar angkasa
Penyesuaian desain juga terjadi pada kursi. Sebab ada perbedaan letak geografis antara Jakarta dan Jena. Jakarta terletak dekat dengan ekuator, kurang lebih 6 derajat selatan.
“Menyebabkan penonton harus melihat ke arah langit/matahari dengan posisi badan/kepala yang lebih mendatar, dibandingkan dengan para penonton planetarium yang letak geografisnya jauh dari ekuator,” tulis Kodrat. Dengan demikian, penyesuaian kursi akan membuat penonton lebih nyaman menyaksikan pertunjukan di Planetarium.
Pada akhir laporannya, Kodrat membubuhkan kritik penting terkait pembangunan Planetarium di Indonesia. Menurutnya, panitia pembangunan mesti berbenah. Tidak hanya dalam segi pengaturan perjalanan dinas pekerjanya, tetapi juga dalam ketepatan waktu sebagaimana tertuang dalam kontrak.
Baca juga: Robot-robot yang dikirim ke Mars tak bisa pulang ke Bumi
“VEB sangat disiplin. Sedangkan dalam kenyataannya dari pihak customer hingga pada saat ini sudah/tidak/belum dapat menepati atau berpegangan pada time schedule tersebut,” terang Kodrat.
Keterlambatan berdampak pada penambahan tanggung jawab dari pihak Planetarium Jakarta. Misalnya, ketika peralatan sudah siap kirim dari Jena, panitia justru belum mempunyai penampungan peralatan tersebut. Akibatnya, panitia harus mengganti rugi biaya perawatan selama peralatan tersebut belum dikirim.
Kodrat pulang ke Indonesia pada 31 Mei 1965. Dia membawa kenangan berharga pahitnya tombok perjalanan dinas dan sedapnya melihat perkembangan teknologi planetarium di Eropa. Dia akan dikenang sebagai orang yang mempertautkan Jena dan Jakarta dengan cara yang tidak biasa.