Planetarium dan Observatorium Jakarta berdiri di atas lahan bekas milik pelukis terkenal Raden Saleh (1814—1880). Dia memiliki tanah luas di Cikini, Batavia, dan menghibahkan sebagian untuk pengembangan dunia ilmu pengetahuan flora dan fauna. Berdirilah kebun tanaman dan binatang pertama di Hindia Belanda.
“Tetapi kebun tanaman dan binatang ini sempat ditutup oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Kemudian dibuka kembali pada 1949, lalu menjadi Planetarium dan Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1968,” kata Danang Priatmodjo, Kepala Bagian Arsitektur Kota dan Lingkungan sekaligus tim ahli cagar budaya Provinsi DKI Jakarta dalam Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta.
Danang mengatakan sejarah panjang kawasan Cikini sebagai kawasan pengembangan ilmu pengetahuan dan seni budaya turut menguatkan arti penting menjadikan gedung Planetarium dan Observatorium Jakarta sebagai cagar budaya.
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mendefinisikan cagar budaya sebagai warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya. Baik di darat maupun di air yang perlu dilestarikan keberadaannya melalui proses penetapan,” kata Danang.
Dalam kategori cagar budaya, Planetarium dan Observatorium Jakarta memiliki kemungkinan menjadi bangunan cagar budaya. “Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan atau tidak berdinding, dan beratap,” terang Danang.
Bangunan cagar budaya dapat berunsur tunggal atau banyak. Ia juga bisa berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.
Persyaratan Cagar Budaya
Untuk menjadikan Planetarium dan Observatorium sebagai bangunan cagar budaya, tim ahli berupaya memenuhi sejumlah ketentuan. Antara lain bangunan harus berusia 50 tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan; dan memiliki nilai kebudayaan bagi penguatan kepribadian bangsa.
Planetarium dan Observatorium Jakarta mulai dibangun pada 9 September 1964. Pemancangan tiang pertamanya dilakukan oleh Presiden Sukarno. Pembangunannya sempat terhenti selama setahun sejak peristiwa G30S. Kemudian pemerintah daerah Jakarta mengambil alih tanggung jawab pembangunan sejak 1966.
Baca juga: Setengah Abad Planetarium dan Observatorium Jakarta
Pembangunan Planetarium dan Observatorium tuntas pada akhir 1968. Gubernur Ali Sadikin meresmikan Planetarium dan Observatorium Jakarta pada 10 November 1968. Tetapi belum ada kegiatan untuk khalayak hingga Maret 1969.
Kegiatan pertama untuk khalayak di Planetarium dan Observatorium Jakarta berlangsung pada 1 Maret 1969. Seiring dengan pertunjukan teater bintang di dalam kubah Planetarium. Pengurus menetapkan kala ini sebagai hari jadi Planetarium dan Observatorium Jakarta.
“Dengan demikian jika mengambil patokan ini, Planetarium dan Observatorium Jakarta telah memenuhi syarat usia minimal 50 tahun,” terang Danang.
Planetarium dan Observatorium memiliki gaya arsitektur hampir mirip dengan planetarium-planetarium di belahan dunia lain. Ciri terpentingnya berupa kubah. “Gaya kubah ini mengambil inspirasi dari gaya neoklasik abad ke-18,” ungkap Danang. Kubah Planetarium Jakarta berukuran 23 meter. Termasuk terbesar pada masanya.
Kubah pada Planetarium dan Observatorium memiliki fungsi berbeda. Kubah planetarium berfungsi sebagai bidang proyeksi tata surya dari proyektor buatan Jerman. Kubahnya tidak bisa dibuka tutup.
Sedangkan kubah pada Observatorium berfungsi untuk mengurangi terpaan angin, memudahkan operasi mekanik, dan melancarkan sirkulasi udara bagi teleskop-teleskop di dalam kubah. Teleskop-teleskop itu tersimpan di dalam kubah untuk mengamati benda-benda antariksa. Kubah pada Observatorium dapat dibuka tutup dan berputar horizontal ke segala arah. Tetapi ukurannya lebih kecil daripada kubah Planetarium.
Baca juga: Menggali Budaya Astronomi Nusantara
Tak hanya kubah, Planetarium dan Observatorium Jakarta diperkaya dengan bangunan penunjang. “Bangunan itu berupa kantor, ruang kelas, tempat tunggu pengunjung, dan perpustakaan. Mengambil gaya arsitektur modern awal abad ke-20,” tambah Danang. Ini cukup membuktikan bahwa Planetarium dan Observatorium Jakarta memenuhi poin tentang arsitektur sebagai bangunan cagar budaya.
Planetarium dan Observatorium Jakarta berusia 50 tahun lebih. Sepanjang itu, pengelola telah menyelenggarakan banyak kegiatan seputar pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
“Misalnya tempat penyelenggaraan pertemuan ilmiah tingkat lokal, nasional, dan internasional,” kata Danang. Selain itu, Planetarium dan Observatorium Jakarta mempunyai peran nyata dalam pembelajaran pengetahuan ilmiah populer bagi masyarakat luas melalui gelaran teater bintang.
Dengan demikian, poin bahwa bangunan cagar budaya harus memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan pendidikan telah terliputi oleh Planetarium dan Observatorium Jakarta.
Untuk Apa Cagar Budaya?
Kegiatan-kegiatan tersebut juga sejalan dengan visi besar Presiden Sukarno selaku penggagas Planetarium dan Observatorium Jakarta. Dia punya pandangan Planetarium dan Observatorium Jakarta bakal menjadi wahana popularisasi sains dan tempat pengembangan ilmu astronomi untuk kemajuan bangsa Indonesia.
“Ketika Planetarium dan Observatorium dibangun, tujuannya tak jauh dari nation and character building yang dicanangkan oleh Presiden Sukarno,” ujar Danang. Ini berarti Planetarium dan Observatorium Jakarta memenuhi poin terakhir untuk menjadi bangunan cagar budaya, yaitu memiliki nilai kebudayaan bagi penguatan kepribadian bangsa.
Baca juga: Planetarium Ambisi Sukarno Menguak Rahasia Angkasa
Danang berharap jika semua kriteria tersebut akhirnya membuat Planetarium dan Observatorium Jakarta ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, tak lantas menghambat kegiatan dan pengembangannya. Penetapan sebuah bangunan menjadi cagar budaya memang membawa konsekuensi aturan yang lebih ketat. Misalnya dalam batas-batas penambahan dan pembongkaran bangunan tersebut, material apa yang boleh dan tidak boleh digunakan, dan bagian mana saja yang tetap dipertahankan atau boleh berubah.
Tetapi Danang memandang penetapan Planetarium dan Observatorium sebagai bangunan cagar budaya justru akan memantik kegiatan dan pengembangan lain terkait upaya pelestarian, perlindungan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, penelitian, pemanfaatan, dan perbanyakan. Hingga saat ini, tim ahli masih berupaya mendorong penetapan tersebut.