LAUT sahabat orang Melayu. Berkat budaya laut, orang Melayu berdiaspora ke wilayah pesisir pulau-pulau di Indonesia. Mereka banyak menempati wilayah pesisir Sumatra, kepulauan sekitar Selat Malaka, pesisir Kalimantan, pesisir Sulawesi, pesisir Kepulauan Maluku, dan Pesisir Jawa.
“Sampai Jawa? Sampai Jawa berkat hubungan dagang,” ucap Lily Tjahjandari, wakil direktur Lembaga Kajian Indonesia, dalam Seminar Nasional Memori Kolektif dalam Kebudayaan Melayu, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (30/11).
Pada perkembangannya orang Melayu yang sampai di pesisir berbaur dengan suku lain. Mereka melahirkan keanekaragaman tradisi Melayu pesisir yang dilestarikan oleh masyarakat pesisir Indonesia. Wilayah pesisir memungkinkan berbagai pertemuan antarbudaya. Meski begitu, masih tetap terlihat kekhasan budaya pesisir yang mirip satu sama lain.
Misalnya, Lily menyebut permainan perahu layar “jong” di wilayah Riau. Permainan ini merupakan ikon masyarakat Melayu pesisir. Biasanya dimainkan tak hanya oleh anak-anak tapi juga dewasa.
Bukti persebaran budaya Melayu juga terlihat dari beberapa kesamaan tradisi di berbagai wilayah di Indonesia saat ini. Ada kemiripan antara ornamen pengantin Betawi mirip dengan ornamen perempuan Riau.
“Untaian yang menutup itu kena dua pengaruh, Melayu dan Cina. Hanya warnanya beda, Riau juga untaiannya lebih jarang, kalau Betawi padat,” ujar Lily.
Dalam budaya Melayu juga mengenal tradisi ritus laut sebagai bentuk persembahan masyarakat pesisir pada Sang Pencipta. Biasanya dengan cara menghanyutkan berbagai bentuk persembahan di laut, baik makanan, pakaian, dan buah-buahan.
Ritual laut ini masih dilakukan di wilayah pesisir Jawa, Sulawesi, dan Sumatra. Di Jawa, ritual ini bisa dijumpai di Banten dan Cirebon.
Kedekatan budaya Melayu dengan laut diwujudkan dengan lahirnya UU laut dalam UU Malaka pada sekira abad 14-15 M. Di dalamnya ada pasal-pasal yang mengatur soal kapal karam. Disebutkan, apabila karam, anak buah kapal yang karam harus menjadi hamba kapten kapal yang menolong mereka.
“Mereka harus taat pada nakhoda kapal penyelamat,” kata Lily.
Dalam undang-undang itu pula nakhoda kapal diwajibkan untuk memperhatikan anak buahnya. Dia tak boleh berlaku semena-mena.
“Ada ancaman juga, jika masuk wilayah Malaka tanpa maksud baik, akan ada sanksi dari sultan,” jelasnya.
UU itu, kata Lily, tak pernah disiarkan dengan bebas. Namun, aturannya dilakukan sebagai tindakan yang berpola. Karenanya, meski naskah tidak berpindah, pelakunya terus menerus mengamalkan aturan UU Malaka.
“Sehingga menjadi sebuah sistem dan berlaku tidak selalu di wilayah Malaka,” ujar Lily.
Bagaimanapun, baik laut maupun sungai, keduanya merupakan sumber kehidupan orang Melayu. Mereka memandangnya bagai sebuah semesta. Mereka pun menerapkan pantangan-pantangan untuk memberikan penghormatan terhadap sungai dan laut.
“Laut adalah jiwa mereka. Sebagian besar mereka tinggal di dekatnya. Mereka melakukan ritus di dekat-dekat situ. Di situ pula sumber mereka mencari nafkah,” kata Welli Aprian, wakil ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya.