Masuk Daftar
My Getplus

Ilmu Eksak Tertua

Astronomi, ilmu eksak tertua yang dipelajari manusia, berpengaruh dalam berbagai bidang kehidupan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 16 Jan 2020
Video Mapping yang memperlihatkan perahu berlayar dan pergerakan benda langit dalam Pameran Angkasa Raya, Ruang, dan Waktu, di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. (Risa Herdahita Putri/Historia).

Manusia Nusantara sudah mengenal ilmu perbintangan sejak 35.000 tahun lalu. Di salah satu lukisan cadas tertua, Leang-leang di Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, ditemukan penggambaran proses perburuan babi dan rusa, telapak tangan, dan gambar-gambar geometris. Diperkirakan itu melambangkan bintang dan matahari.

Sementara itu, peradaban Mesopotamia mencatat pengetahuan astronomi untuk pertama kali pada 4.000 tahun silam. Mesopotamia bahkan telah mengenal planet-planet seperti Dewi Isthar atau Inana, sekarang dikenal dengan nama Venus.

“Mereka juga telah memperkenalkan konsep makrokosmos dan mikrokosmos yang mencapai India pada awal milenium pertama. Kemampuan leluhur mempelajari langit dan angkasa merupakan ilmu eksak paling tua yang ada di muka bumi,” kata Ayu Dipta Kirana, kurator Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.

Advertising
Advertising

Baca juga: Tradisi Pengetahuan yang Digerus Zaman

Karin menjabarkan sejarah perkembangan pengetahuan astronomi lewat pameran temporer Etnoastronomi bertajuk “Angkasa Raya, Ruang dan Waktu” di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Salah satunya soal bagaimana astronomi mempengaruhi religi masyarakat kuno hingga kini.

Menurut Karin, dimulai sejak kepercayaan animisme dan dinamisme, praktik penyembahan terhadap matahari sudah dijumpai. Komunitas pendukung kebudayaan itu meyakini kalau matahari memberikan kehidupan terhadap mereka. Aliran kepercayaan ini kemudian berkembang secara konseptual menjadi agama dunia yang lebih kompleks.

Nekara, salah satu dari corak kebudayaan logam awal, merupakan salah satu perangkat dalam upacara. Nekara ini dihiasi dengan berbagai unsur alam dan angksa, seperti simbol matahari, rembulan, dan bintang. (Wikipedia).

Nekara, salah satu dari corak kebudayaan logam awal, merupakan salah satu perangkat dalam upacara. Nekara ini dihias dengan berbagai unsur alam dan angksa, seperti simbol matahari, rembulan, dan bintang.

Praktik peribadatannya kemudian turut pula dipengaruhi oleh konsep langit dan arah mata angin, seperti dalam agama Hindu atau Buddha. “Ada pengetahuan kuno mengenai konsep kosmologi yang menjadi dasar spiritual beberapa kepercayaan kuno. Manusia adalah bagian dari sebuah jagad besar (makrokosmos) alam semesta ini, manusia juga representasi dari jagad kecil (mikrokosmos),” kata Karin.

Karenanya, manusia percaya kalau nasib dan garis hidupnya sudah ditentukan dan dibaca oleh langit. “Konsep makrokosmos dan mikrokosmos merupakan konsep tua dari masa Babilonia yang kemudian menyebar ke India, mempengaruhi perkembangan agama Hindu-Buddha juga,” lanjut Karin.

Baca juga: Menggali Budaya Astronomi Nusantara

Misalnya dalam pembangunan bangunan suci. Biasanya orang kuno menggunakan konsep mandala. Mandala adalah representasi dari alam semesta yang diwujudkan dalam konstelasi dewa-dewa berdasarkan tingkatannya. Konsep ini merupakan imajinasi visual mengenai alam raya.

Sebagaimana yang dijabarkan dalam pameran, Candi Borobudur menjadi contoh bangunan Buddhis yang memperlihatkan konsep mandala dengan jelas. Dikenal arca lima tokoh Tataghata yang mewakili unsur pokok alam semesta: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amoghasiddhi.

Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa arca Wairocana menguasai zenith dengan sikap tangan memutar roda dharma. Aksobhya menguasai arah timur dengan sikap tangan kanan seakan menyentuh bumi. Ratnasambhawa menguasai arah selatan, dengan sikap tangan mengajar. Amitabha menguasai arah barat dengan sikap tangan bersemadi. Lalu Amoghasiddhi menguasai arah utara dengan sikap tangan menolak bahaya.

Karena menjadi bagian dari jagad besar, gerak konstelasi bintang pun bisa dijadikan pertanda masa depan. Segala peristiwa dan kejadian dapat diprediksi dan berjalan sesuai dengan tatanan kosmik yang telah berlangsung selama ribuan tahun.

Dalam pameran yang masih berjalan hingga 10 Februari 2020 itu dijumpai cawan zodiak atau yang disebut dengan prasen. Ini biasanya menjadi perlengkapan upacara adat masyarakat Tengger, yang mendiami dataran tinggi di sekitar kawasan Pengunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur. Prasen digunakan sebagai wadah air suci oleh Dukun Pandita.

Baca juga: Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang

J.G. de Casparis, epigraf asal Belanda, dalam Indonesian Chronology menjelaskan prasen umumnya dibuat pada era Majapahit, abad ke-14 hingga ke-15. Ia berbahan perunggu. Pada permukaannya terdapat simbol-simbol zodiak. Di antaranya Mesa (domba jantan, Aries), Vrsabha (lembu jantan, Taurus), Mithuna (anak kembar, Gemini), Karka (ketam, Cancer), Simha (singa, Leo), Kanya (gadis, Virgo), Tula (timbangan, Libra), Vrscika (kalajengking, Scorpio), Dhanusa (busur panah, Sagitarius), Makara (uadng, Capriconus), Kumbha (guci, Aquarius), Mina (ikan, Pisces).

“Kehadiran tanda-tanda zodiak mirip jam matahari berhubungan dengan pengukuran waktu, misalnya penggunaannya dalam upacara keagamaan, mengetahui waktu kapan matahari memasuki setiap tanda zodiak,” jelas Casparis.

Angkasa yang menjadi dasar konsep waktu hadir dalam konsep spiritual hingga masa kini. Tanda-tanda pergantian waktu diterjemahkan praktik ibadahnya. Karin mencontohkan dengan waktu-waktu kapan azan, sebagai penanda waktu salat dalam Islam, dikumandangkan.

“Dalam Islam, perubahan waktu amat penting sebagai pondasi spiritual, termasuk untuk menentukan waktu perayaan ibadah seperti Ramadan,” kata Karin.

Menurutnya, pengamatan bintang dan benda-benda langit di alam raya membantu manusia untuk mewujudkan kepercayaan mereka. Tak heran, sejak dulu mereka yang ahli mengamati pergerakan benda langit mendapat tempat penting di masyarakat.

Di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit.

Baca juga: Menggali Ilmu di Langit

Beberapa prasasti menyebut profesi itu. Misalnya, prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa. Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan, di antaranya wariga.

“Kita saat ini sudah memegang pengetahuan luar biasa itu dalam alat bantu berupa kompas atau GPS, misalnya. Smartphone kita memuat semua pengetahuan itu terasa sangat sederhana, tapi dulu, tak semua orang bisa memahami pengetahuan langit,” kata Karin.

Pembaca bintang dan benda langit pada masa lalu tak cuma penting dalam spiritual, tapi dalam keseharian bahkan politik. Langit menentukan waktu tanam, waktu perjalanan, navigasi, menerjemahkan konsep pagi, siang, malam, untuk beradaptasi terhadap lingkungan, hingga meramal nasib kerajaan.

TAG

astronomi

ARTIKEL TERKAIT

Siapa Hendak Turut ke Uranus? (Bagian II – Habis) Siapa Hendak Turut ke Uranus? (Bagian I) Mitos dan Tetenger Wabah Penyakit Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang Menggali Ilmu di Langit Status Cagar Budaya untuk Planetarium dan Observatorium Jakarta Menggali Budaya Astronomi Nusantara Serba Serbi Gerhana Matahari di Padang 1901 Membunuh Planet Pluto Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”