Masuk Daftar
My Getplus

Yang Terbuang Setelah Perang

Hubungan Indonesia-Jepang menyisakan kaum terlantar yang kehilangan identitas dan kewarganegaraan.  

Oleh: Martin Sitompul | 23 Sep 2019
Buku "Sisi Gelap Perang Asia" karya Aiko Kurasawa (kiri) dan Pelajar Indonesia memegang spanduk "Merdeka" dalam pawai dari Hybia Park, Tokyo, memprotes penjajahan termasuk agresi militer Belanda terhadap Indonesia (Kanan). Ilustrasi: Nando/Historia.

KEKALAHAN Jepang dalam Perang Dunia II menyisakan masalah baru dengan Indonesia, wilayah jajahan Belanda yang sempat diambil alih Jepang. Mahasiswa Indonesia yang studi di Jepang dalam program nantoku terlantar pasca kapitulasi. Mereka terpaksa tinggal di Jepang sampai kemerdekaan Indonesia diakui oleh dunia internasional. Di Indonesia, anak-anak yang lahir hasil kawin campur perempuan Indonesia dan laki-laki Jepang ikut jadi korban. Mereka tidak diperkenankan tinggal di Indonesia karena dianggap berkewarganegaraan Jepang.        

Korban perang dari arus bawah itulah yang diteliti sejarawan Jepang Aiko Kurawasawa dalam buku terbarunya Sisi Gelap Perang Asia. Buku ini merupakan cuplikan kisah-kisah human interest dari disertasi kedua Aiko di Universitas Tokyo berjudul “Sengo Nihon Indonesia kan Keishi” (Hubungan Indonesia-Jepang Pascaperang). Aiko mengatakan itu terjadi pada periode gelap hubungan Jepang dan Indonesia.   

“Antara 1945—1957 belum ada hubungan resmi antara Indonesia dan Jepang. Saya mengambil nasib orang-orang kecil; orang biasa yang hidup di dalam kedua negara tersebut dalam masa itu,” kata Aiko dalam peluncuran bukunya di ruang seminar Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI, Jakarta Jumat, 20 September 2019.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pelajar Indonesia Berjuang di Jepang

Aiko juga mengangkat kisah perempuan Indonesia yang menikah dengan tentara Jepang. Banyak dari mereka-- yang kemudian diboyong ke Jepang-- mengalami kesulitan menghadapi situasi hidup serba baru dan serba berbeda, mulai dari tata cara penyelenggaraan pernikahan, status penikahan, hingga menjalani rumahtangga. Tak aneh jika kemudian sebagian besar pernikahan itu harus berakhir dengan perceraian.

Bedah buku Sisi Gelap Perang Asia karya Aiko Kurawasawa di di ruang seminar PDDI LIPI, Jakarta Jumat, 20 September 2019. (Fernando Randy/Historia).

Orang-orang itulah yang kemudian berjuang mati-matian agar dapat kembali pulang ke tanah air. Mereka yang disebut oleh Aiko, sebagai “korban perang”, dibiarkan terlantar di tempat yang tidak semestinya. Akibat perang, mereka termarjinalkan dan harus mengalami kesukaran dan rupa-rupa cerita  sedih. Orang-orang kecil yang kehidupannya diganggu ini akhirnya berhasil mencari solusi dan mendapatkan kembali keselamatannya untuk memulai kehidupan baru di zaman pascaperang.  

Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam yang jadi salah satu pembedah buku menyoroti tentang repatriasi pekerja paksa romusha. Banyak dari romusha yang dibawa dari Jawa ke berbagai wilayah jajahan Jepang. Nasib malang tidak dapat ditolak. Begitu Jepang kalah mereka ditinggalkan begitu saja di tempat kerja. Asvi mencatat, dari 300.000 romusha hanya 52.117 yang berhasil dipulangkan.

Baca juga: Sejarah Garong: Gabungan Romusha Ngamuk

“Ini sangat tragis,” kata Asvi, “Orang-orang yang terlantar karena perang; orang-orang yang nasibnya dipermainkan karena situasi politik dan peperangan pada saat itu.” Mengenai romusha, Asvi menguak satu hal yang kontroversial, yaitu mengenai peran Sukarno. Apakah Sukarno bersalah soal romusha?

Menurut Asvi, Sukarno – yang juga diakuinya sendiri dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat – terlibat dan mendukung program pengiriman romusha. Demikian kutipannya, “Sesungguhnya akulah – Sukarno – yang  mengirim mereka kerja paksa. Ya, aku lah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya.. ya.. akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha.”  

Sementara itu,  sejarawan Rushdy Hoesein yang turut membedah buku menyoroti dari perspektif militer. Usai Jepang kalah perang, banyak dari prajuritnya yang bertugas di Indonesia menolak kembali ke Jepang. Mereka lebih memilih menetap di Indonesia atau berjuang untuk Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perjanjian pascaperang antara tentara Sekutu pemerintah Jepang.

Aiko Kurasawa, sejarawan Keio University yang meneliti hubungan Indonesia Jepang selama lebih dari 30 tahun. (Fernando Randy/Historia).

Yang menarik, bila Aiko menguak kesengsaraan perempuan Indonesia yang dinikahi lelaki Jepang maka Rushdy menyatakan sebaliknya. Rushdy yang kenal banyak veteran perang Indonesia jebolan PETA (Pembela Tanah Air) mengatakan, lelaki Indonesia yang menikahi perempuan Jepang dan tinggal di Indonesia umumnya hidup lebih bahagia.  

“Banyak sekali mantan tentara Jepang yang terlibat dalam pasukan PETA itu ketika masih hidup pada setiap tanggal 17 Agustus mereka hadir dalam upacara peringatan proklamasi kemerdekaan di Yayasan PETA,” kenang Rushdy yang menulis disertasi tentang peran Sukarno dalam Perjanjian Linggadjati.

Baca juga: Cerita Para Desersi Jepang

Hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang secara resmi baru terjalin pada 1958. Ini terjadi seiring dengan kesepakatan Jepang membayarkan pampasan perang kepada Indonesia.  Dengan demikian, relasi kedua negara memasuki babak baru sebagai sesama negara berdaulat.

TAG

jepang

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Dulu Para Sersan Berserikat Sehimpun Riwayat Giyugun Masa Kecil Sesepuh Potlot Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Persahabatan Sersan KNIL Boenjamin dan dr. Soemarno Drama Mematikan di Laut Jawa dan Selat Sunda Pengemis dan Kapten Sanjoto Aktivisme Penyintas Ianfu