Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Garong: Gabungan Romusha Ngamuk

Bilamana para eks romusha pulang kampung dan menjadi perampok

Oleh: Hendi Johari | 04 Sep 2018
Sekelompok petugas desa pro Belanda dan unsur tentara Belanda di Jawa Barat, siap-siap melakukan ronda kampung untuk mengantisipasi serangan garong. Foto: koleksi Flip Pieter.

ANTARA tahun 1945-1947 tak ada seorang pun yang berani melewati jalur Tagogapu-Padalarang di atas jam 16.00. Pasalnya, dalam waktu tersebut gerombolan bersenjata mulai beroperasi. Menurut Arnasan (91), kelompok-kelompok liar itu adalah eks para romusha (pekerja paksa di era bala tentara Jepang berkuasa) yang kembali pulang dari seberang.

“Entah bagaimana mereka kemudian menjadi orang-orang jahat yang kerjannya merampok orang-orang yang lewat di wilayah Padalarang dan sekitarnya,” ungkap lelaki yang masa mudanya dihabiskan untuk berdagang keliling itu.

Khalayak kemudian menamakan mereka sebagai garong, yang merupakan singkatan dari gabungan romusha ngamuk. Istilah inilah yang selama revolusi berkecamuk cukup mengganggu masyarakat. Mereka bukan saja dicari oleh pihak keamanan Republik namun juga diincar oleh tentara Belanda.

Advertising
Advertising

“Para garong ini tidak peduli korbannya orang Republik atau pihak Belanda, selama berharta dan berduit maka mereka akan menyikatnya tanpa ampun,” ujar Arnasan.

Baca juga: Kisah pilu romusha dari Jawa membangun jalan kereta api Thailand-Burma

Pengalaman Pramoedya

Soal gejala munculnya garong ini dikonfirmasi oleh penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer. Dalam sebuah karyanya yang berjudul Jalan Raya Pos Jalan Daendels, dia menuturkan pengalaman pribadinya semasa menjadi seorang prajurit TKR (Tentara Keamanan Rakjat) berpangkat letnan dua bagian persuratkabaran di Resimen Cikampek.

Pram berkisah suatu hari di akhir tahun 1945, dirinya diutus oleh komandannya Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang komandan di wilayah Padalarang bernama Doejeh. Bisa jadi yang dimaksud oleh Pram sebagai Doejeh adalah Mayor Doejeh Soeharsa, salah satu komandan batalyon yang masuk dalam Resimen Cililin.

“Tapi sebagai rendahan, aku tak dapat bertemu dengannya. Anak buahnya yang menyampaikan surat yang kubawa. Aku harus menunggu di luar, ditemani prajurit-prajurit yang lain,” ungkap Pram.

Saat bercengkarama dengan prajurit-prajurit dari Resimen Cililin inilah, Pram mendengar cerita salah seorang dari mereka mengenai  banyaknya garong merajalela di wilayah Padalarang dan sekitarnya (termasuk Cililin). Menurut sang prajurit, para garong itu terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata yang tidak bergabung dengan tentara dan laskar atau pihak Belanda.  

“Mereka melakukan perampokan di mana saja bila dianggap tak ada penjagaan yang kuat,” tulis Pram.

Para garong ini biasanya merampok dengan menggunakan senjata api pendek. Senapan atau karabin pun digergaji larasnya menjadi pendek  dan mudah disembunyikan di balik sarung. “Ketika aku tanya apa artinya garong, mereka menjawabnya: singkatan dari gabungan romusha ngamuk,” ungkap tentara yang kemudian banting setir menjadi sastrawan itu.

Baca juga: Sultan Yogyakarta menyelamatkan warganya jadi romusha dengan Selokan Mataram

Kasus Banyumas

Gejala munculnya garong sebagai eks romusha yang memilih jalan gelap, ternyata terjadi juga di wilayah Banyumas. Hal ini diungkap oleh M. Alie Humaedi, seorang peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam sebuah tulisan hasil risetnya berjudul “Gaboengan Romusha Ngamoek: Pertarungan Kekerasan di Kaki Pegunungan Dieng Banjarnegara (1942-1957)”.

Menurut Humaedi, antara tahun 1942-1957, di wilayah-wilayah seperti Kalibening, Karangkobar, Batur, Paweden, Wanayasa, Pekalongan atas dan Wonosobo, muncul kelompok-kelompok penjahat yang dijuluki khalayak sebagai garong. Kendati kepanjangan sama dengan garong yang berada di Jawa Barat, namun para eks romusha yang terlibat bukanlah berasal dari seberang, melainkan romusha lokal.

“Mereka terdiri dari anak-anak muda yang pernah dipekerjakan oleh bala tentara Jepang di wilayah keresidenan masing-masing,” ujar Humaedi kepada Historia.

Di wilayah keresidenan Banyumas tersebut, garong adalah nama kelompok yang seutuhnya penjahat. Mereka melakukan perampokan kepada siapapun, tanpa pandang bulu, dan bertujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sebagai paradoks dari mereka ada yang disebut maling suci.

“Berbeda dengan garong, maling suci menjalankan perampokan hanya kepada orang-orang kaya yang dinilai pro Belanda. Mereka pun kerap membagikan hasil rampokan mereka kepada orang-orang tak berpunya,” ujar Humaedi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian garong sendiri adalah perampok atau kawanan pencuri, penyamun. Belum jelas benar apakah istilah tersebut terbilang baru dalam khazanah bahasa Indonesia. Yang jelas, sebelum revolusi kemerdekaan, kata “perampok” sendiri kerap disejajarkan  dengan kata “penyamun”.

Baca juga: Ribuan romusha membangun terowongan untuk mengalirkan banjir ke Samudera Hindia

TAG

Jepang Romusha Pram

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia