SEWAKTU Pramoedya Ananta Toer dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina, sejumlah sastrawan terkemuka di Indonesia bak kebakaran jenggot. Selain Mochtar Lubis, nama Taufiq Ismail termasuk yang getol berusaha menentang penghargaan itu diberikan kepada Pram. Sikap Taufik ini kemudian diikuti oleh 25 sastrawan lain. Kebanyakan berasal dari kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu). Demi menjegal Pram, mereka melayangkan petisi penolakan.
“Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia,” demikian bunyi pernyataan bersama para sastrawan itu seperti diberitakan Kompas, 5 Agustus 1995.
Polemik penghargaan Magsaysay bagi Pram kian bertiup kencang sehingga menjadi pemberitaan di berbagai media nasional selama berminggu-minggu. Perbuatan Pram di masa lalu disingkap oleh para seterunya. Menurut Taufiq Ismail dkk., Pram telah membegal mereka dalam berkarya bahkan membuat sebagian kehilangan pekerjaan. Untuk itu, Pram dituntut untuk minta maaf secara terbuka.
Baca juga: Ketika Karya Pramoedya Diakui Dunia
Pada dekade 1960-an, Pram dalam lembaran kebudayaan “Lentera” yang diasuhnya di koran Bintang Timur memimpin kampanye antikarya-karya seniman yang dianggap tidak revolusioner. Pram mengkritik mereka sebagai seniman anti-Manipol yang didengungkan Presiden Sukarno. Sebagai reaksi, para seteru Pram mendeklarasikan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dengan mengusung nilai humanisme universal dalam berkebudayaan.
Beberapa penandatangan Manikebu kemudian dipersempit ruang geraknya dalam berkarya karena berseberangan dengan pemerintah. Ada pula yang sampai dicopot dari jabatannya, seperti Wiratmo Sukito dari RRI dan HB Jassin dari Fakultas Sastra UI. Pram dianggap biang keladi itu semua. Dalil itulah yang diajukan Taufiq Ismail dkk. kepada Yayasan Magsaysay sebagai pertimbangan untuk menganulir penghargaan untuk Pram.
Pram sendiri tidak mempunyai pendapat atau pendirian khusus terhadap suara-suara yang merundungnya. Pernyataan mereka dinilainya hanya kelanjutan dari kompetisi kreatif semata. Soal petaka yang menimpa kelompok Manikebu, Pram menyatakan tidak punya kuasa atas itu. Pram memang tidak menempati jabatan dalam pemerintahan. Yang dilakukannya hanya pertarungan wacana sesuai dengan pemikirannya. Namun, Pram rupanya tidak sendirian. Segelintir sastrawan kondang yang lain mendukung Pram atas kelayakannya menerimanya penghargaan Magsaysay.
Baca juga: Ali Bakatsir, Sastrawan Nasionalis Peranakan Arab
Arief Budiman, misalnya, yang dulu termasuk penandatangan Manikebu, menyatakan sikap berbeda dari kawan-kawannya. Kakak dari aktivis Angkatan '66 Soe Hok Gie ini setuju Pram dianugerahi penghargaan Magsaysay. Dalam opininya yang dimuat Kompas, 14 Agustus 1995, Arief mengaku sebagai penggemar karya-karya sastra Pram, bahkan sejak SD. Karenanya, Arief sangat senang dan menghargai apresiasi Yayasan Magsaysay terhadap karya Pram.
Bagi Arief, hadiah untuk Pram itu tepat lantaran diberikan kepada salah seorang sastrawan terbaik Indonesia. Tanpa menafikan masa silam, Arief ingin meninggalkan kejelekan budaya lama. Budaya mencegah seseorang mendapatkan sebuah hadiah yang memang pantas didapatkannya hanya karena berbeda pandangan, seperti yang dilakukan Pram dulu.
“Kalau saya bahkan menyambut hadiah tersebut dengan penuh syukur, maka kita membuktikan bahwa kita sudah keluar dari budaya kesewenang-wenangan kekuasaan yang dulu kita lawan. Kita menciptakan budaya baru dimana kita saling menghormati martabat orang lain, meskipun dia berlainan pendapat dengan kita. Saya tentu berharap bahwa karena sikap saya ini, Pram akan jadi setuju dengan saya, bahwa bagi seorang intelektual, kebebasan manusia lebih bernilai ketimbang kekuasaan,” terang Arief Budiman.
Baca juga: Jalan Seorang Arief Budiman
Seperti Arief Budiman, Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Majalah Tempo yang dulu juga penandatangan Manifes Kebudayaan, pun tidak ikut-ikutan kawannya mengoreki dosa Pram. Dalam ingatan kelompok Manikebu, Pram adalah seorang pembantai hak. Dalam ingatan Pram, seperti dinyatakannya dalam pelbagai wawancara, ia bukanlah pihak yang melakukan pelarangan. Ia hanya berniat memulai sebuah polemik.
“Kepala kita bisa memilih apa yang diingat dan yang tidak, tapi saya kira niat Pram bukan keinginan ganjil seorang penulis. Di tahun-tahun itu saya sendiri pun memimpikan bahwa itulah yang hendaknya berkembang: sebuah polemik, sebuah benturan ide-ide yang mencerminkan posisi yang berbeda, sebuah debat yang layak diikuti jika kita ingin menjelajah mencari rumusan sikap dalam menghadapi soal-soal nyata waktu itu,” catat Goenawan dalam Suara Independen, No.3/I, Agustus 1995, termuat dalam kumpulan tulisan Catatan Pinggir 5.
Dengan Goenawan, Pram memang sudah lebih dulu akur. Pram tampak menghadiri diskusi buku kumpulan tulisan Goenawan Catatan Pinggir 4 di Taman Ismail Marzuki pada 2 Agustus 1995. Bagi Goenawan, seperti diulas kritikus sastra Andres Teuuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, alasan penting untuk tidak ikutan menandatangani pernyataan protes adalah karena Pram masih belum bebas. Hak-hal sipil Pram masih belum dipulihkan oleh negara. Buku-bukunya dilarang beredar hingga pelarangan bepergian ke luar negeri dan lain-lain.
Baca juga: Pramoedya, Lekra, dan Lentera
Sementara itu, sastrawan Sunda Ajip Rosidi kendati dulu juga tidak sehaluan dengan Pram, mengecam tindakan yang dilakukan kelompok Taufiq Ismail. Ajip tidak keberatan protes Mochtar Lubis dan Jassin yang sebelumnya sama-sama pernah menerima penghargaan Magsaysay. Tapi, untuk Taufiq Ismail dan sekomplotnya, mereka tidak berhak merecoki penghargaan untuk Pram.
“Menurut pendapatku setiap panitia hadiah apapun juga punya hak untuk menetapkan siapa yang dianggapnya pantas untuk menerima hadiah. Mereka niscaya mempunyai kriteria yang mereka jadikan pegangan ketika menetapkan siapa yang akan diberi hadiah tersebut. Dan setiap keputusan juri hadiah bukankah tak bisa diganggu gugat?” kata Ajip dalam otobiografinya Hidup Tanpa Ijazah.
Tapi, tentang tuntutan permintaan maaf Pram, Ajip menyoal Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail karena mereka menerapkan standar ganda. Menurutnya, mereka begitu mudah memberikan maaf bangsa lain namun begitu dendam kepada Pram. Kepada Belanda dan Jepang yang dulu menjajah Indonesia, kedua sastrawan yang dimaksud Ajip ini begitu mesra.
Baca juga: Riwayat Erasmus Huis: Peran Baru Sebuah Pusat Kebudayaan (1970-Sekarang)
Katakanlah Jassin yang mau menerima hadiah Erasmus dari Belanda atas jasanya menerjemahkan novel Max Havelaar. Sementara itu, Taufiq Ismail bolak-balik membaca sajak di Festival Puisi Rotterdam. Pun demikian Mochtar Lubis untuk Yayasan Obor Indonesia terbuka untuk meminta bantuan uang kecuali kepada Amerika, juga kepada Belanda dan Jepang.
“Mengapa mereka tidak merasa ikut bangga bahwa ada anak bangsanya yang mendapat penghargaan di luar negeri?” sindir Ajip. “Mengapa mereka tidak rela Pram mendapat rejeki (US$ 50.000) yang niscaya memberikan kesempatan agar dia bisa hidup wajar karena buku-bukunya dilarang terbit di Indonesia?”
Penderitaan yang dialami orang Manikebu seperti Tauqfiq dan Jassin, sambung Ajip, belum sebanding dengan penderitaan Pram yang diasingkan di Pulau Buru sebagai tahanan politik (tapol) kurang lebih sepuluh tahun. Ajip pun kemudian akur dengan Pram. Pada 2001, di masa tua mereka, Ajip menjamu Pram dengan para sastrawan lainnya dari berbagai aliran, seperti Ramadhan KH sampai Sobron Aidit di Rawa Bambu, Pasar Minggu. Di sana tidak ada Taufiq Ismail.
Baca juga: Penderitaan Pramoedya Melebihi Manikebuis