Jika anda berkunjung ke komplek makam Pangeran Hidayatullah (Pahlawan Nasional asal Banjarmasin) di Cianjur, akan nampak sebuah makam besar berlapiskan marmer putih di sisi kiri makam sang pangeran. Banyak orang mengira ini adalah makam salah satu kerabat Pangeran Hidayatullah. Namun anggapan itu keliru.
“Itu adalah makam Sultan Ibrahim Chaliluddin dari Kerajaan Paserbalengkong,” ujar Helmy Adam (32), anggota De Brings Tjiandjoer, komunitas pecinta sejarah Cianjur.
Buku Republik Indonesia Propinsi Kalimantan, yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1953, mengakui Sultan Ibrahim Chalilluddin sebagai pejuang dari Kalimantan Timur. Menurut Adjie Benni Sarief Firmansyah Chaliluddin (46), pencantuman nama kakek buyutnya di buku tersebut tentunya tidak asal-asalan.
“Buku ini pastinya dibuat berdasarkan kajian ahli-ahli sejarah dan para saksi sejarah yang pada waktu itu masih hidup,” ujar Adjie Benni kepada Historia.
Presiden Sjarikat Islam
Ibrahim Chaliluddin merupakan sultan terakhir Kerajaan Paserbalengkong. Dia diangkat sebagai sultan setelah kekuasaan kerajaan vakum selama beberapa tahun menyusul penangkapan Sultan Adjie Mohammad Ali oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1876. Namun belum lama diangkat sebagai sultan, pada 1906 pihak pemerintah Hindia Belanda memakzulkannya sekaligus membubarkan Kerajaan Paserbalengkong.
Kendati demikian rakyat Paserbalengkong masih menganggap Ibrahim Chaliluddin sebagai sultan dan menaati setiap perintahnya. Saat sang raja tanpa tahta itu menjadi presiden Sjarikat Islam (SI) cabang Paser pada 1914, berduyun-duyun rakyat masuk SI.
“Termasuk bekas para pembesar Kerajaan Paser yang lantas menjadi pengurus organisasi tersebut,” kata Adjie Benni.
Pemerintah Hindia Belanda waswas; orang yang mereka awasi justru masuk organisasi yang sebagai oposisi pemerintah. Dan kecurigaan itu terbukti pada Juli 1915 saat meletus pemberontakan SI di Paser.
“Tangsi militer Belanda di Tanah Grogot diserang massa-rakyat pimpinan Pangeran Singa Maulana hingga menimbulkan korban yang banyak di kedua pihak,” tulis Anggraini Antemas dalam koran Buana Minggu, 25 Januari 1976.
Konflik bersenjata itu ternyata bukan insiden sesaat. Diperlukan waktu 1,5 tahun bagi pemerintah untuk memadamkannya. Setelah perlawanan kian surut, pada Februari 1916 pemerintah menangkap Ibrahim Chaliluddin dan para pengurus SI Paser.
“Kakek buyut saya, setelah disergap secara mendadak di rumahnya, hanya diberi waktu beberapa menit untuk bersiap-siap pergi oleh tentara Belanda,” ujar Adjie Benni.
Selanjutnya, Ibrahim dan keluarganya dibuang ke Banjarmasin selama tiga tahun. Mereka lalu dipindahkan ke Teluk Betung, Lampung. Pada 1928, beserta istri dan putranya, Ibrahim kembali dibuang ke Batavia lalu ke Cianjur, tempat dia menghembuskan nafas terakhirnya dua tahun kemudian.