Masuk Daftar
My Getplus

Sukarno di Mata Pemuda-Pemudi

Bagaimana pemuda dan pemudi hari ini melihat Sukarno yang telah pergi setengah abad lalu?

Oleh: Andri Setiawan | 12 Jun 2020
Potret Sukarno pada 1948. (Nationaal Archief/Wikimedia Commons).

Sukarno pernah berkata bahwa bersama 1000 orang tua, ia bisa mencabut Semeru, tapi hanya dengan 10 pemuda, ia bisa mengguncang dunia. Kutipannya lalu menjadi salah satu yang paling terkenal dan diulang-ulang setiap tahun pada peringatan hari-hari bersejarah.

Sukarno memandang peranan pemuda-pemudi penting bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa. Dan barangkali kalimat itu hendak ia maksudkan menjadi cambuk untuk generasi penerus. Namun, sebelum bicara apakah cita-cita Bung Karno untuk mengguncang dunia itu telah terwujud atau belum, bagaimana pemuda-pemudi hari ini melihat sosok Bung Karno?

Untuk menyambut Bulan Bung Karno, Historia melalui talkshow “Sukarno Menurut Sepuluh Pemuda-Pemudi” pada Rabu, 10 Juni 2020, mengajak pemuda-pemudi dari berbagai daerah dan latar belakang untuk berbagi pandangan tentang Sukarno dan apa yang diwariskannya hari ini.

Advertising
Advertising

Memori tentang Sukarno

Berbeda dari generasi yang sempat mengalami masa di mana Sukarno masih hidup, pemuda-pemudi hari ini terpaut hampir setengah abad setelah kepergian Sang Proklamator. Namun, jejak-jejak sejarah Sukarno telah membentuk imajinasi tersendiri bagi mereka.

Raisa Kamila, penulis dan periset asal Aceh, mengakui bahwa di tanah kelahirannya, Sukarno bukanlah tokoh yang diidolakan. Pengetahuan sejarah tentang Sukarno di Aceh hanya disampaikan dari satu perspektif yang cenderung bernada kurang simpati. Rasa ingin tahu mendorongnya untuk mempelajari sejarah dari berbagai sumber dan sudut pandang.

“Saya sendiri waktu itu nggak tergoda untuk menjadi orang yang membenci atau orang yang gandrung. Jadi saya cuma penasaran kenapa ya seperti itu,” terangnya.

Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat

Raisa kemudian menyadari bahwa Sukarno memang memiliki peran besar di era kemerdekaan, menyatukan bangsa-bangsa kulit berwarna melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) dan mampu berdiri di tengah-tengah ragam ideologi di Indonesia. Raisa juga menyebut bahwa Sukarno, selain memiliki kecintaan pada akar budaya sendiri, juga memiliki visi yang modern.

Sementara itu, Eda Tukan, penggiat literasi dari Flores, melihat Sukarno sebagai seorang literat yang toleran. Sukarno yang pernah dibuang ke Ende dan juga sempat berkunjung ke Larantuka ketika Indonesia telah merdeka menginspirasi pemuda di Flores karena ia bisa bergaul dengan semua kalangan, peduli terhadap minoritas serta memberi kesadaran terhadap realitas multikultural.

“Pergaulan yang lintas batas menembus sekat-sekat primordial, Sukarno seorang nasionalis tapi beliau tidak menjadikan itu sebuah alasan untuk menutup diri terhadap sesama saudara dari kebangsaan yang berbeda,” sebut Eda.

Baca juga: Sukarno: Pemersatu atau Pembelah?

Darlene Litaay, koreografer dan performer asal Papua juga punya imajinasi sendiri tentang Bung Karno. Perjalanan Bung Karno ke berbagai daerah baik karena dibuang maupun sengaja singgah menjadi penting dalam pembentukan gagasan-gagasan Bung Karno yang masih relevan hingga hari ini.

“Bagaimana dia berjalan dari satu tempat yang lain di Nusantara atau pun keluar Indonesia, itu seperti membawa benang dan jarum lalu kemudian setiap elemen-elemen penting tempat yang dia singgahi dia ambil satu gagasan. Semua kumpulan gagasan yang dia dapat di daerah itu dia rajut menjadi satu yang namanya Indonesia,” terangnya.

Di ranah kebudayaan, sudah banyak diketahui bahwa Sukarno memiliki perhatian besar terhadap seni. Ia seorang kolektor lukisan, pecinta patung, dan melahirkan gagasan-gagasan kebudayaan baik di bidang musik, tari, hingga arsitektur.

Niesya Harahap, penggiat seni dari Medan melihat bahwa Sukarno memang menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan Indonesia. Di mana sebagai negara yang baru terbentuk kala itu, Indonesia hendak menunjukkan eksistensi salah satunya melalui jalan kebudayaan.

“Dia concern terhadap budaya. Merasa bahwa identitas bangsa itu akan terwujud dalam kebudayaan dan keseniannya,” ujar Niesya.

Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno

Bukan hanya pada kebudayaan yang telah ada sebelumnya, lanjut Niesya, Sukarno juga menggagas terciptanya identitas kesenian baru baik di bidang musik, tari, dan seni rupa. Selain itu yang tak kalah penting adalah misi kebudayaan untuk mengenalkan Indonesia kepada dunia.

Julisa Pratiwi, pebisnis muda asal Pontianak, juga punya pandangan sendiri terhadap Sukarno. Julisa melihat Sukarno bisa menjadi inspirasi dalam hal bisnis. Baik dari strategi Sukarno dalam menghadapi Jepang maupun perannya yang membuat Indonesia pernah menjadi negara yang sejajar dengan negara lain karena hubungan internasional yang baik.

Dalam hal ini, lanjut Julisa, salah satu semangat yang bisa diambil dari Sukarno adalah kolaborasi. “Pancasila aja, itu berkolaborasi lho,” sebutnya.

Reduksi Makna

Sukarno banyak melahirkan ide dan gagasan yang banyak membentuk bangsa Indonesia. Banyak di antaranya masih bertahan dan relevan dalam konteks hari ini. Namun bukan berarti, apa yang digagas Sukarno tidak mengalami pergeseran-pergeseran nilai.

Subarman Salim, pemerhati sejarah dan kebudayan dari Bone menyebut, telah terjadi reduksi makna gotong royong sebagai intisari Pancasila. Di mana gotong royong seringkali hanya dikampanyekan dan diartikan dalam kerja-kerja fisik.

“Kita tahu, kita mendengar, kalimat gotong royong itu seringkali dikampanyekan sebagai sebuah upaya untuk membangun kerja sama. Dalam tataran praktis seringkali hanya diartikan sebatas kerja-kerja fisik, sementara itu hilang dalam tataran elite politik misalnya,” sebut Salim.

Baca juga: Pidato Sukarno Menuju Memori Dunia

Pergeseran nilai-nilai juga ditemui Sucia K. Imanuella, peneliti tradisi lisan dari Kendari. Seperti yang dikatakan Sukarno sendiri, bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri, dari tradisi dan kebudayaan yang sudah ada sebelumnya. Namun hari ini, sumber-sumber gagasan itu justru semakin terpinggirkan.

“Apakah sama, kita melihat tradisi dan kebudayaan dengan rasa cinta, dengan rasa bangga dan terlebih lagi kita merasa memiliki kebudayaan itu? Atau sebaliknya justru kita memunculkan penindasan dalam tanda kutip yang kita ciptakan sendiri. Artinya kita merasa malu saat kita harus melestarikan tradisi kita sendiri,” ujarnya.

Sucia melanjutkan, satu pernyataaan Bung Karno yang penting sebagai bahan refleksi yakni “alat kolonial tidak akan berhasil kecuali jika ia memupuk keunggulan kulit putih terhadap sawo matang.”

Sementara itu, Imam A. Firdaus, penggiat lingkungan dari Depok melihat bahwa seringkali Sukarno dilihat dari hal-hal besarnya saja. Hal itu kemudian membuat gagasan Bung Karno kurang diimplementasikan generasi muda di ranah yang lebih sederhana.

Baca juga: Sukarno Meninggal Dunia

“Apakah kita pernah berpikir lebih jelas, lebih dalam tentang bagaimana menghadirkan Sukarno dalam konsep dan pikirannya itu di tengah-tengah kehidupan kita?” ujarnya.

Senada dengan Imam, Abdullah Tontona, penulis asal Ternate juga melihat bahwa seringkali Bung Karno hanya diingat melalui perayaan dan ritual-ritual tahunan. Gagasan-gagasannya justru jarang ditransformasikan dalam karya dan kerja yang nyata.

“Saat ini generasi kita, terutama generasi muda dan para politisi kita yang memegang kekuasaan tidak mentransformasikan secara praktis gagasan-gagasan Bung Karno yang sejak awal dia perjuangkan secara mati-matian,” sebutnya.

Abdullah menambahkan bahwa seringkali Bung Karno bukan hanya dijadikan sebagai fosil tapi juga suvenir.

TAG

sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band