PAGI itu, 1 Juni 1945, Sukarno didaulat menjadi pembicara pertama dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia berdiri di hadapan puluhan anggota BPUPKI, mengenakan stelan jas dan kopiah beludru hitam. Membuka pidatonya dengan kritik kepada pembicara dalam sidang sebelumnya yang dinilainya terlalu “njelimet”, meributkan hal-hal yang kurang penting untuk mendirikan sebuah negara.
“… Di dalam hati, saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang –saya katakan dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini– “zwaarwichtig” akan perkara yang kecil-kecil. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan,” ujar Sukarno.
Memang dalam rangkaian sidang yang dimulai sejak 28 Mei 1945 itu para pembicara sebelum Sukarno disibukkan oleh perdebatan bagaimana bentuk negara kelak, wilayah mana yang akan ditetapkan sebagai negara Indonesia dan bagaimana menjalankan pemerintahan. Itulah yang menurut Sukarno terlalu remeh untuk dibicarakan dan tak menyentuh persoalan yang sebenarnya.
Sukarno telah menjadi figur pemimpin nasionalis yang terkemuka sejak semasa sebelum perang. Orator yang piawai mempengaruhi massa pengikutnya. Seorang pemimpin yang sejak mula mengusung pentingnya kemerdekaan Indonesia. Sehingga dalam kesempatan pidato di sidang BPUPKI itu dia mengajukan usulan penting bahwa modal utama dari negara yang akan segera lahir itu tak lain adalah kemerdekaan. Karena kermerdekaan itu adalah “jembatan emas” kata Sukarno.
Jembatan. Itu kaca kuncinya. Di seberang jembatan itu kelak, kata Sukarno, semua akan ditata. Bagaimana masyarakat Indonesia yang telah meraih kemerdekaan akan hidup dengan landasan filosofi Pancasila yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam keberagaman.
Maka dalam pidatonya yang kerap mendapatkan sambutan tepuk tangan meriah itu Sukarno mengemukakan konsep nasionalisme modern. Sebuah paham kebangsaan yang tak bersendikan pada satu suku atau satu agama semata, melainkan suatu negara “semua buat semua”. “Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,” kata Sukarno dalam pidatonya.
Sukarno sadar betul bahwa masyarakat yang mendiami kepulauan Nusantara ini terdiri dari beragam macam latar belakang suku, agama dan ras. Mendirikan sebuah negara dengan basis agama atau suku bangsa tertentu bukanlah “intellectual fashion” yang sedang menggejala di kalangan para pendiri bangsa saat itu.
Mahatma Gandhi misalnya, semenjak mula dia selalu berusaha untuk menciptkan satu India, kendati kemudian terpecah menjadi Pakistan dan Bangladesh. Nasionalisme Gandhi berdiri di atas prinsip kemanusiaan. “My nationalism is humanity,” kata Gandhi seperti dikutip oleh Sukarno. Sukarno pun dirasuki semangat yang sama untuk membangun sebuah negara-bangsa yang tak diikat oleh sentimen suku dan atau keagamaan.
Sejak menulis artikelnya di Suluh Indonesia Muda tahun 1926, Sukarno menyerang nasionalisme sempit yang disebutnya sebagai “jinggo-nationalism” yang memecah belah persatuan karena perbedaan agama. Dia mengingatkan orang betapa bahayanya jika sentimen agama dan ras dibiarkan berkembang menjadi-jadi sehingga memecah belah persatuan.
Atas dasar semua kekhawatirannya itu dia mengutamakan agar sebaiknya Indonesia memperoleh kemerdekaannya terlebih dahulu. Lantas dengan kaki, tangan dan otak bangsa Indonesia sendirilah semua tata-kehidupan di negeri ini diatur.
Tapi apakah keadaan di seberang “jembatan emas” yang pernah dicita-citakan oleh Sukarno itu sesuai dengan harapannya?
Kemerdekaan memang sudah di tangan. Tapi tugas terberat yang saat itu harus dilakukan oleh angkatan Sukarno, Hatta dan Sjahrir adalah bagaimana mengubah mentalitas mayoritas masyarakat Indonesia dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang sepenuhnya merdeka. Terlepas dari segenap keterbelengguannya. Dalam pendapat Soedjatmoko bagaimana persoalan kemerdekaan yang telah diraih itu bisa mendatangkan kebebasan bagi seluruh orang Indonesia.
Kebebasan diperlukan karena selama ratusan tahun bangsa Indonesia hidup dalam penindasan dan penjajahan mewarisi struktur masyarakat yang timpang. Masyarakat yang disusun berdasarkan rasial, yang menempatkan orang Indonesia di kelas terendah dengan pengecualian para priayi yang masih memiliki hak istimewa, baik untuk duduk di pemerintahan maupun mengakses jenjang pendidikan tertinggi.
Indonesia pada masa awal menyeberangi “jembatan emas” adalah sebuah keadaan di mana tingkat buta huruf masih tinggi, pendapatan per kapita masyarakatnya masih rendah, korupsi mulai marak dan konflik politik semakin meruncing.
Bahkan kini, 67 tahun setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, cita-cita generasi angkatan Sukarno semakin jauh panggang dari api. Sentimen keagamaan justru semakin meningkat. Kemampuan untuk menerima perbedaan sangat rendah. Intoleransi lebih sering terjadi ketimbang toleransi. Korupsi bersimarajalela.
Indonesia, yang didirikan oleh para akitivis politik berwawasan luas dan kosmopolitan, justru tengah diramaikan oleh mereka yang berpikiran sempit yang tak sesuai dengan semangat pidato 1 Juni 1945: bahwa Indonesia didirikan “semua buat semua”. Indonesia kini berada di sebuah persimpangan dan pada persimpangan itu kita membutuhkan kaca spion untuk melihat ke belakang. Untuk melihat kembali apa yang dikatakan oleh Sukarno dalam pidatonya tentang tujuan didirikannya negara ini.
Sukarno memang seorang pemimpin sekaligus pemimpi yang besar. Sebagaimana yang selalu dia katakan bahwa Indonesia merdeka adalah bekal untuk menciptakan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.
Tapi saat ini saya melihat dari lantai empat pada gedung di mana saya bekerja. Keruwetan lalu lintas di ibukota. Mobil dan motor saling-silang, selip-menyelip, menyerupai gulungan benang kusut ditingkahi teriak sopir, kernet, dan bunyi klakson. Pengemis tunanetra berjalan beriringan di tepi jalan yang dipenuhi sampah, sementara tuan dan nyonya besar di atas sana selalu mengaku memikirkan nasib rakyat yang tak pernah habis-habisnya dipikirkan.
Itulah keadaan di seberang “jembatan emas” yang terjadi di negeri ini 70 tahun setelah kemerdekaanya. Mungkin bukan ini maksud Sukarno tapi begitulah kenyataannya.