Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 15 Juni 2023, sistem proporsional tertutup yang diupayakan untuk diadopsi dalam pemilu pun kembali “tenggelam”. Sistem dengan wewenang besar pada partai politik itu merupakan sistem yang diadopsi sejak lama dalam pemilu di Indonesia.
Sistem proporsional tertutup digantikan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2004. Sejak sistem proporsional terbuka diterapkan, siapapun warga negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif ataupun kepala pemerintahan daerah. Maka panggung politik pun makin berwarna. Banyak calon anggota legislatif dan calon kepala pemerintahan daerah kemudian diduduki orang-orang yang sebelumnya “di luar” politik, seperti artis atau selebritis. Ada yang berhasil, banyak pula yang mentok di calon.
Namun, warna-warni dalam pemilu sejatinya telah ada sejak pemilu pertama di Indonesia, Pemilu 1955. Beberapa kandidat dalam Pemilu 1955 merupakan perorangan yang unik. Ada seorang bekas pejuang dari Muna bernama La Ode Idrus Effendi (1925- 1965), seorang guru kebatinan di Jawa Timur bernama Soedjono Prijosoedarso, dan bangsawan dari Keraton Kaprabonan Cirebon yang dikenal sebagai Radja Keprabonan. Ketiganya berhasil masuk ke kursi Konstituante.
Baca juga: Siapa Dia Ketua Pemilu 1955?
Radja Keprabonan merupakan bangsawan dari Kaprabonan, Cirebon yang lahir pada 31 Desember 1902. Dengan pendidikannya lulusan MULO (setara SMP), ia punya banyak pengalaman kerja seperti juru tulis, kapelmester, pembantu advokat di masa kolonial Belanda hingga kepala Djawatan Penerangan Karesidenan Cirebon sekaligus pegawai Bagian Penerangan Palang Merah di Cirebon di republik. Modal pengalaman itu mendorongnya terjun ke kancah politik dan mencalonkan diri dalam Pemilu 1955.
Dengan 33.660 suara yang diperoleh dalam Pemilu 1955, Radja Keprabonan mendapat satu kursi di Konstituante. Basis pemilihnya berada di sekitar Kabupaten Cirebon.
Selama duduk di Konstituante, Radja Keprabonan termasuk anggota yang vokal. De Preangerbode edisi 8 Juni 1957 memberitakan, Radja Keprabonan menginginkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dikedepankan. Selain itu, penggunaan istilah-istilah asing dalam konstituante sebaiknya dihindari agar tidak menimbulkan kesulitan di kalangan penduduk desa. Sehubungan dengan itulah Radja Keprabonan tidak sreg dengan nama Konstituante. Ia pun menyarankan untuk mengganti nama Konstituante dengan nama dalam bahasa Indonesia saja.
Baca juga: Bahasa Indonesia di Dewan Rakyat Hindia Belanda
Meski vokal, Radja Keprabonan tipikal konservstif. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante, 1956-1959, Radja mewakili pandangan umum masyarakat Indonesia yang patriarkis.
"Kala itu masih banyak orang yang menganggap perempuan tak perlu berperan serta dalam berpolitik dan banyak yang masih merasa perempuan itu kerjanya hanya mengurusi rumah tangga saja," tulis Buyung.
Radja tidak menyetujui pemimpin dari kaum perempuan. Dia punya alasan soal itu.
“Laki-laki itu yang memerintah perempuan karena mereka lebih mulia dan lebih cerdas. Laki-laki adalah pelindung perempuan,” kata Radja Keprabonan, terkutip dalam buku The Women's Movement in Postcolonial Indonesia yang disusun leh Elizabeth Martyn.
Kalimat sang raja tentu mengesalkan bagi gerakan perempuan yang sudah ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia. Ratu Aminah dari partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) terpancing untuk bersuara. Apa yang dikatakan Radja Keprabonan dianggapnya sebagai penghinaan yang tak boleh lagi terjadi.
Baca juga: IPKI: Ini Partai Kolonel Indonesia
Sikap konservatif Radja Keprabonan ketika di Konstituante yang lain adalah mencerminkan ketidakberubahan kalangan bangsawan Cirebon. Menurut De Preangerbode, golongan ini tidak ingin anak-anak mereka pergi ke sekolah dan juga tidak ingin bekerja. Keterpurukan mereka kerap mereka kaitkan dengan sikap sultan yang hanya mementingkan kerabat terdekat dan kurang memperhatikan kerabat jauh mereka.
Radja Keprabonan sendiri bukanlah sultan Cirebon. Di Cirebon terdapat beberapa keluarga bangsawan yang terpecah-pecah. Ada Kesepuhan, Kanoman, dan juga ada Kaprabonan. Radja Keprabonan disebut-sebut punya gelar sebagai Pangeran Aruman. Suara Merdeka edisi 11 Desember 1956 menyebut bahwa istri dari Kolonel Zulkifli Lubis –dikenal sebagai “Bapak intelijen” yang menjadi wakil Kepala Staf Angkatan Darat pada awal 1950-an sebelum terlibat PRRI/Permesta– adalah keturunan dari Kaprabonan.
Radja Keprabonan menjadi anggota Konstituante dari 1955 hingga 1959 ketika Konstituante dibubarkan Sukarno lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah Konstituante bubar, kiprahnya tak diketahui lagi.