DUA belas Juni 2019 kemarin mestinya menjadi ulang tahun ke-95 bagi mantan Presiden AS George HW Bush. Sayang, Bush menghembuskan nafas terakhir tujuh bulan sebelumnya, 30 November 2018.
Nama Bush dikenal karena keputusan kontroversialnya melancarkan Perang Teluk. Bersama 31 negara lain yang tergabung dalam pasukan Multinasional, Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada 17 Januari 1991.
Namun, itu bukan satu-satunya kontroversi Bush. Salah satu kontroversi Bush yang jarang diketahui apalagi dibahas orang, yakni keterkaitannya dengan pembunuhan Lazarus Salii, presiden kedua Palau, negera kecil di Kepulauan Mikronesia, Pasifik.
Palau dan pulau-pulau lain di Mikronesia merupakan tempat tugas Bush semasa menjadi pilot AL AS di Perang Pasifik. Terlibat dalam beberapa pertempuran hebat melawan Jepang di sana, Bush saat itu menilai Mikronesia secara militer punya posisi amat strategis bagi AS.
Baca juga: George HW Bush Nyaris Tewas dalam Perang Pasifik
Pungguk dicinta, ulam pun tiba. AS mendapat hak perwalian (trusteeship territory) PBB atas Palau dan wilayah-wilayah lain di Mikronesia pada 1947. Dengan begitu, AS berhak menjalankan pemerintahan di wilayah itu sambil “membimbing” bangsa-bangsa itu menyiapkan diri untuk kelak memiliki kedaulatan penuh.
Hak memerintah itu membuat AS tetap menggunakan Kepulauan Marshall di utara Palau sebagai tempat ujicoba nuklirnya. AS juga mulai mengupayakan pembangunan pangkalan militer di Palau untuk menggantikan dua pangkalan militernya di Filipina.
Pada 1970-an, Palau dan bangsa-bangsa lain Mikronesia mulai menegosiasikan pengakhiran status perwalian mereka. “Dalam negosiasi di Washington pada Mei 1970 AS mengusulkan bahwa wilayah-wilayah perwalian menjadi wilayah permanennya dengan status ‘Commonwealth’. Itu ditolak delegasi Mikronesia,” tulis Roy Smith dalam The Nuclear Free and Independent Pacific Movement After Mururia.
“Mikronesia akan menjadi minoritas non-kulit putih terbaru, terkecil, dan terpencil dalam keluarga politik AS – sepermanen dan se-Amerika, harus kita katakan, orang Indian,” tulis Smith mengutip tokoh kemerdekaan Palau Lazarus Salii.
Baca juga: 6 Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden
Penolakan tersebut membuat AS setengah hati melepas Palau. “Masih ada hubungan ketergantungan antara Mikronesia dan AS. Meskipun ada seruan untuk otonomi politik langsung, diakui bahwa Mikronesia belum dalam posisi untuk bisa mandiri. Ini berarti bahwa beberapa kompromi harus ditemukan segera dari kemerdekaan itu,” tulis Roy Smith.
Negosiasi status Palau berjalan tersendat karena penolakannya terhadap nuklir. Hubungan dengan AS berada di titik nadir ketika Bush menjabat direktur CIA (badan intelijen AS). Selain memerintahkan Brent Scowcroft, teman lama Bush, melakukan penyadapan ilegal atas Palau, Bush menugaskan Scowcroft mempengaruhi tokoh-tokoh kunci gerakan kemerdekaan Palau agar sepemikiran dengan Washington. Bush juga menunjuk Fred Zeder, teman lamanya sesama pilot AL dan pengusaha di Texas, sebagai wakil pribadi presiden untuk urusan negosiasi status Palau.
Konflik Palau-AS makin memanas pada 1979 ketika Palau mengadopsi konstitusi yang melarang adanya kapal atau senjata nuklir di wilayahnya. Pemerintahan Ronald Reagan dengan wakil presidennya Bush pun menolak larangan itu. Dalam negosiasi persyaratan dasar Compact of Free Association yang mulai digulirkan pada 1981, AS mendesakkan keinginannya untuk mendapatkan izin penggunaan nuklir secara terbatas jika diperlukan.
Kendati belum final, negosiasi membuahkan hasil. “(Palau red.) akhirnya dimerdekakan di bawah Compact of Free Association dengan AS pada 1982. Sebelum perjanjian itu diratifikasi, Harue Remeliik –seorang keturunan Jepang campuran penduduk lokal– terpilih sebagai persiden pertama Palau, dan memulai pemerintahan pada 2 Maret 1981,” tulis Michael Newton dalam Famous Assassination in World History: An Encyclopedia.
Baca juga: Main Mata Iran dan Amerika dalam Iran/Contra
Namun, masalah nuklir tetap mengganjal hubungan Palau-AS. Sementara AS bersiskukuh untuk menggunakan nuklir dan membangun pangkalan militernya, Palau memilih berada di garis depan gerakan anti-nuklir di Pasifik Selatan. Green Peace dan organisasi-organisasi lingkungan lain menjadi sekutunya.
AS makin berang. Namun, konflik itu terhenti sementara begitu Presiden Remeliik tewas ditembak di depan rumahnya pada 30 Juni 1985. “Itu membuka kembali negosiasi perjanjian yang mandek. Sesaat setelah itu, Wapres Bush secara pribadi terbang ke Saipan di Mariana Utara, terletak di utara Palau, tempat kantor pemerintahan perwalian berada, untuk membuka kembali perundingan status yang macet, dan untuk mencapai kesepakatan baru,” tulis Ed Rampell dalam “George HW Bush, Dirty Tricks, and Regime Change in Nuclear-Free Palau”, dimuat di peoplesworld.org.
Harapan AS terbuka lebar ketika Lazarus Salii, pejuang kemerdekaan Palau yang dekat dengan AS, terpilih menjadi presiden pada akhir 1985. Dengan pemerintahan Salii, AS menandatangani perjanjian untuk merevisi UU anti-nuklir Palau.
Namun, itu hanya manuver Salii. Pengadilan Tinggi Palau kemudian membatalkan perjanjian itu. Diperlukan 75 persen suara pendukung Compact Free Association di kongres untuk bisa membatalkan undang-undang anti-nuklir Palau, demikian putusan pengadilan itu.
Untuk melonggarkan ikatannya dari AS, Salii juga gencar mengkampanyekan “Free Association”. Negeri-negeri lain di Mikronesia kemudian mengadopsinya.
AS makin berang. Fred Zeder bekerja makin keras untuk menggembosi Palau. “Zeder memainkan peran penting dalam membangkrutkan Palau yang kecil dengan mendukung IPSECO, yang berkedok pembangkit listrik, dengan generator dan penghasil bahan bakar yang terlalu besar untuk Palau yang berpopulasi kecil, tapi memadai untuk menyediakan daya dan bahan bakar bagi pangkalan-pangkalan militer AS di kemudian hari. Satu-satunya cara negara berkembang dapat melunasi utang biaya energinya yang besar adalah dengan menyetujui perjanjian yang disebut Compact of Free Association. Perjanjian itu akan membatalkan konstitusi anti-nuklir Palau dengan imbalan bantuan AS,” tulis Rampell.
Baca juga: Nasib Presiden Pertama Negara Dunia Ketiga
Pada 1987, teroris mengepung Kongres Palau dan menembak mati beberapa aktivis perdamaian Pasifik. Investigasi dari Kantor Akuntan Publik Kongres AS menemukan adanya aliran dana dari AS untuk membiayai kekerasan politik senilai 2 juta dolar itu.
Presiden Salii tak menyerah terhadap keadaan yang ada meski langkahnya sulit. Namun, perjuangannya terhenti ketika pada 20 Agustus 1988 sebuah peluru menembus kepalanya. Pengumuman resmi menyatakan, Salii bunuh diri. Banyak rakyat Palau tak mempercayainya.
“Pendahulunya, Haruo Remeliik, presiden pertama Palau, dibunuh tiga tahun sebelumnya. Kemungkinan pembunuhan jelas ada. Bunuh diri tidak sesuai dengan karakter Salii. Dia dikenal sebagai pejuang, seorang pemimpin dengan tekad yang, bahkan jika berbagai kejadian menentangnya, terus berencana dan memperjuangkannya,” tulis Arnold Leibowitz dalam Embattled Island: Palau’s Struggle for Independence.