KESABARAN George H. W. Bush sudah hampir habis. Di Gedung Putih, pada 22 Februari 1991 presiden Amerika Serikat (AS) itu memberi ultimatum untuk menuntut Saddam Hussein agar menarik kombatan infantri dan tank-tanknya usai memicu Perang Teluk (2 Agustus 1990-28 Februari 1991).
Ultimatum Presiden Bush berisi: dalam waktu 24 jam, Irak harus angkat kaki dari Kuwait. Jika tidak, Pasukan Koalisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan melancarkan serangan darat terhadap posisi-posisi Irak di Kuwait dan di wilayah Irak sendiri.
“Koalisi akan memberikan waktu bagi Saddam Hussein sampai Sabtu siang (23 Februari, red.) untuk menindaklanjuti apa yang harusnya dia lakukan sesegera mungkin dan penarikan mundur tanpa syarat dari Kuwait,” ungkap Bush dalam ultimatumnya, dikutip suratkabar Chicago Tribune edisi 23 Februari 1991.
Baca juga: Kala Kapal Perang Amerika Dimangsa Rudal Irak
Ultimatum itu juga sekaligus jadi penolakan Presiden Bush atas rencana perdamaian yang ditawarkan Presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, pasca-Irak menginvasi Kuwait sejak 2 Agustus 1990. Pengabaian Irak terhadap peringatan Dewan Keamanan PBB lewat empat resolusinya (Resolusi 660-664) memaksa pasukan Koalisi dibentuk di Arab Saudi lewat “Operation Desert Shield” (2 Agustus 1990-17 Januari 1991).
Pasukan Koalisi dibentuk di Arab Saudi dekat perbatasan dengan Kuwait dan Irak. Kekuatannya dipimpin AS dengan anggota Inggris, Prancis, Arab Saudi, Mesir, Kanada, dan sisa-sisa militer Kuwait. Panglimanya Jenderal AS Norman Schwarzkopf.
Koalisi mengerahkan kekuatan gabungan 950 ribu serdadu, 3.113 tank dan kendaraan tempur (ranpur) lapis baja, 2.200 artileri, dan 1.800 pesawat. Sementara di kubu seberang, Saddam Hussein punya Garda Republik Irak yang berkekuatan lebih dari 1 juta prajurit (600 ribu menduduki Kuwait), 5.500 tank dan ranpur lapis baja, 3.000 sistem artileri, dan 700 pesawat.
Setelah ultimatum Bush ditolak mentah-mentah oleh Saddam, pada 23 Februari malam pasukan Koalisi pun melancarkan serangan darat melalui “Operation Desert Storm” (Operasi Badai Gurun). Sebelumnya, pasukan Koalisi masih sekadar melancarkan kampanye serangan udara sejak 17 Januari.
Baca juga: Perang Teluk Hitler
Adu Gempur di Medan Laga 73 Easting
Operasi Badai Gurun menggerakkan mesin-mesin perang Korps VII –dengan dua pasukan utamanya, Divisi Lapis Baja ke-2 Amerika dan dan Divisi Lapis Baja ke-1 Inggris berkomposisi 4 ribu infantri dan sekira 300 tank dan ranpur– dari perbatasan Saudi. Pasukan ini bakal ditandingi Divisi Tawakalna dengan 3.500 infantri dan sekitar 400 tank dan ranpurnya.
Adalah Resimen Lapis Baja ke-2 (ARC ke-2) pimpinan Kolonel Don Holder dari Divisi Lapis Baja ke-2 yang jadi ujung tombaknya melintasi perbatasan ke wilayah tenggara Irak. Satuan tersebut dipecah menjadi tiga skadron pasukan tank dan ranpur (Skadron Pasukan E “Eagle”, G “Ghost”, I “Iron”); sekitar 4.000 prajurit; serta satu skadron bantuan udara.
“ARC ke-2 diperintahkan pimpinan Divisi ke-2 maju ke arah timur untuk melacak, menentukan disposisinya, lalu memberi jalan brigade-brigade mekanis dari Divisi Infantri ke-1 untuk mengepung dan menghancurkan pasukan Irak. Perintah resminya, Kolonel Don Holder diinstruksikan mengintai, mencari musuh, tetapi menghindari pertempuran,” ungkap Rick Atkinson dalam Crusade: The Untold Story of the Persian Gulf War.
Baca juga: Pertempuran Amerika dan Iran di Lautan
Skadron Eagle dan Ghost yang masing-masing diperkuat tank-tank tempur M1A1 Abrams dan sejumlah ranpur M3 Bradley bermanuver di garis terdepan secara paralel. Mulai 24 Februari pagi, mereka mulai merangsek ke wilayah 70 Easting atau garis koordinat 70 lintang timur dari peta kampanye Operasi Badai Gurun dan menghancurkan dengan mudah dua brigade mekanis dari Divisi Tawakalna Irak.
Sejak 26 Februari pagi, segenap kekuatan ACR ke-2 dikerahkan ke arah timur laut mengikuti garis lintang timur 73 alias 73 Easting. Namun memasuki pukul 4 petang, tetiba datang tembakan pertama dari ranpur ringan ZSU-23-4 “Shika” Irak dari sebuah kubu pertahanan di sebuah desa. Tembakan itu nyaris mengenai posisi tank-tank Pasukan Eagle. Pertempuran 73 Easting pun dimulai.
Sembilan tank tempur Abram dan ranpur Bradley Pasukan Eagle di bawah komando Kapten Herbert Raymond McMaster pun mulai mengatur lini serangannya untuk melacak dan membalas tembakan. Adapun Pasukan Ghost masih ikut bergerak membayangi Pasukan Eagle di sisi utara.
“Pukul 16.00, pengintai ranpur Bradley di Peleton ke-1 Pasukan Eagle menggunakan alat thermal 13X untuk melacak posisi kubu musuh dengan jangkauan 3.500 meter. Sementara Peleton ke-3 mulai menembaki bunker dan kompleks bangunan. Seiring ancaman mulai nyata, komandan (Pasukan Eagle) Kapten H. R. McMaster mengarhakan Peleton ke-2 dan ke-4 mensejajarkan diri di samping tank-nya dan memerintahkan menyiapkan tembakan voli dengan peluru HEAT (high-explosive anti-tank) ke kompleks bangunannya,” kenang veteran palagan itu, Lettu Daniel L. Davis, dalam artikel “The 2d ACR at the Battle of 73 Easting” yang dimuat buletin Field Artillery edisi April 1992.
Baca juga: Di Balik Garangnya Tank M1 Abrams
Rupanya, saat itu McMaster menghadapi satu batalyon gabungan yang merupakan bagian dari Brigade Mekanis ke-18 dan Brigade Lapis Baja ke-9 Divisi Tawakalna Irak. Namun sembilan tank Abrams McMaster punya keunggulan jangkauan tembakan meriam ketimbang tank-tank utama Irak, T-72.
“Saya pikir saat itu kekuatan mereka (hanya) tank-tank T-55 karena begitu mudahnya dihancurkan. Tembakan balasan musuh juga tidak efektif. Beberapa tembakan T-72 lainnya hanya berjarak pendek dan senapan-senapan mesin mereka tak menimbulkan efek apapun ke lapis baja,” kenang McMaster, dikutip Tom Clancy dalam Armored Cav.
Tak ayal hanya butuh sekira 25 menit bagi pasukan McMaster menghancurkan 28 tank, 16 ranpur personel, dan 30 truk militer Irak tanpa kehilangan satupun nyawa prajuritnya. Di sisi utara, Pasukan Ghost pimpinan Kapten Joe Sartiano juga secepat kilat membersihkan bunker dan kubu-kubu pertahanan tank-tank Brigade Mekanis ke-18 lainnya pada pukul 16.40.
Ketika kembali melanjutkan rutenya, dekat sebuah wadi menjelang Garis 74 Easting sekitar pukul 18.30, Pasukan Eagle dan Ghost dihadapkan pada puluhan tank T-72 dan T-55 Irak. Saking sengitnya adu gempur, Koalisi sampai harus meminta bantuan tembakan artileri howitzer, sementara bantuan udara belum memungkinkan karena cuaca buruk dan hari mulai gelap.
Baca juga: Di Balik Garangnya Tank M1 Abrams
Terlepas perintah untuk menghindari pertempuran besar, McMaster memberanikan diri untuk terlibat adu gempur berbekal sembilan tank Abrams dan 13 ranpur Bradley. Ia diuntungkan superioritas teknologi saat hari sudah gelap karena pasukannya dilengkapi peralatan binokular malam AN/PVS-7 dan lensa optik infra merah pada tank-tanknya. Sementara, dua brigade tank Irak sekadar mengandalkan lensa optik biasa.
Keunggulan itulah yang memudahkan Pasukan Eagle dan Ghost membidik dan menghancurkan musuh-musuhnya di kegelapan malam. Saat cuaca mulai membaik, mereka bisa minta bantuan serangan udara dari heli-heli serbu AH-64 Apache dan AH-1 Cobra.
Palagan genting itu berlangsung hingga sekira 23 menit. Pasukan Eagle menghancurkan puluhan tank Irak dan lagi-lagi tanpa kehilangan satupun tanknya. Sementara, Pasukan G kehilangan satu M3 Bradley-nya dengan dua krunya tewas.
“Kira-kira 30 tank, 16 ranpur BMP, dan 39 truk militer (Irak) yang kami hancurkan. Saya sangat bersyukur atas hasil pertempuran itu karena tidak satupun jatuh korban di Pasukan Eagle. Saya bersyukur pada Tuhan untuk itu,” imbuh McMaster.
Baca juga: AMX-13 Tank Prancis Rasa Amerika
Namun, laju Pasukan Eagle kemudian tertahan oleh kubu pertahanan Irak lain berkekuatan dua brigade di Garis 74 Easting. Mereka hingga harus menunggu sisa-sisa kekuatan ACR ke-2 tiba yang kemudian disusul kedatangan pasukan Divisi Infantri ke-1. Divisi itu datang untuk menggantikan ARC ke-2 pada pukul 2 dinihari 24 Februari yang mempertahankan perimeternya. Sebelumnya, ARC ke-2 menghancurkan 159 tank, 260 ranpur dan truk, serta menawan dua ribu prajurit Irak.
Di lain tempat, Al-Muthanna, pasukan gabungan Amerika-Inggris juga terlibat pertempuran lain (Pertempuran Norfolk) dengan unit-unit dari Divisi Tawakalna pada 27-28 Februari. Perintah penarikan mundur Saddam Hussein kepada pasukannya di Kuwait pada 27 Februari malam datang terlambat. Akibatnya konvoi pasukannya saat hendak keluar dari ibukota Kuwait City disergap pemboman udara Koalisi sampai akhirnya Kuwait resmi dibebaskan pada 28 Februari 1991.