DI tengah tugas patroli di Teluk Persia, pada 15 Mei 1987 Kapten Eric Brindel, komandan frigat Amerika Serikat (AS) USS Stark, rekreasi dengan berlayar bersama Laksamana Harold Bernsen, panglima Middle East Force (MEF) AS. Brindel lalu diberitahu bahwa telah terjadi sebuah insiden di mana militer Irak menyerang sebuah kapal di areal itu, sekira 60 mil dari posisi USS Stark.
Ancaman bahaya terhadap kepentingan AS di tengah Perang Iran-Irak (1980-1988) itulah yang membuat Brindel lalu diperintahkan Bernsen untuk menghadap asisten perwira intelijen MEF keesokan harinya. Sebelum mendapat pengarahan, Brindel diinformasikan tentang kondisi terbaru langkah-langkah yang ditempuh Irak di kawasan tersebut. Salah satunya, pergerakan pasukan Irak yang dikirim beberapa hari sebelumnya dan berpotensi menyerang siapa saja tanpa pandang bulu.
Pengerahan pasukan militer Irak ke Teluk Persia meningkat saat itu. Presiden Irak Saddam Husein melakukannya untuk memburu kapal-kapal tanker minyak Iran yang mengangkut minyak ekspornya. Saddam paham betul tanker-tanker minyak Iran merupakan satu-satunya jalur ekspor minyak Iran.
Baca juga: Hasrat Amerika Menguasai Niaga Lada di Sumatera
Sementara di sisi lain, militer Iran menyerang kapal-kapal sipil negeri lain, terutama Kuwait, untuk mengamankan ekspor minyaknya dan memegang dominasi di perairan tersebut. Kuwait dijadikan sasaran Iran lantaran dukungannya terhadap Irak.
“Dukungan Kuwait pada Irak termasuk memberikan pinjaman besar, mengizinkan penggunaan pelabuhannya untuk membongkar sebagian besar persenjataan Soviet yang ditujukan untuk Irak, dan bahkan mungkin termasuk mengizinkan pesawat Irak melewati wilayah udaranya dalam perjalanan untuk menyerang target-target di Teluk,” tulis Lee Allen Zatarain dalam America’s First Clash with Iran: The Tanker War, 1987-1988.
Penyerangan kapal-kapal Kuwait dilakukan Iran untuk memaksa Kuwait menghentikan dukungannya terhadap Irak. Penyerangan itu meningkat pesat setelah Iran menguasai Semenanjung Faw tepat di seberang Pulau Bubiyan, Kuwait, pada Februari 1986. Pada tahun itu juga, tiga kapal tanker berbendera Kuwait dan 10 kapal berbendera lain diserang.
“Frustrasi atas dukungan Kuwait terhadap Irak, dan menuntut agar Emir ‘bertaubat’ dengan mengakhirinya (dukungan), Iran berganti-ganti antara mengeluarkan ancaman dan isyarat perdamaian,” sambung Zatarain.
Baca juga: Apa Arti Pengibaran Bendera Merah Iran?
Serangan Iran membuat Kuwait merasa tak cukup aman dengan berlindung di balik Irak. “Di bawah tekanan berat, Kuwait yang semakin putus asa beralih ke negara-negara besar untuk (mendapatkan) bantuan. Pada akhir 1986, Kuwait mendekati Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan pokok menandai kembali setengah dari 22 kapal tanker milik perusahaan minyak negara Kuwait. Yang lebih penting dari sekadar perlindungan kapal adalah gagasan bahwa komitmen untuk menandai kembali akan menarik satu, dan kemungkinan keduanya, negara adikuasa lebih dalam ke Teluk. Tujuan utamanya adalah menggunakan keterlibatan mereka untuk mengakhiri perang.”
Itulah sebabnya banyak kapal perang AS hadir di Teluk, lantaran AS secara resmi “mengabulkan” permintaan Kuwait pada Maret 1987. Di sisi lain, “koalisi” dengan Kuwait memungkinkan AS untuk mengkampanyekan “Kemerdekaan Navigasi” di perairan tersebut. Semenjak Perang Iran-Irak pecah, banyak kapal sipil tak aman memasuki perairan tersebut.
Untuk misi itulah, MEF mengeluarkan sejumlah aturan untuk pertahanan diri kapal-kapal perang AS yang dinamakan Rules of Engagement. Antara lain, AS menganggap pesawat-pesawat dua negara yang berperang, Iran maupun Irak, sebagai berpotensi menjadi musuh. Lalu, ketika terjadi kontak dengan pesawat kedua negara yang mendekati posisi kapal AS dalam jarak yang telah ditentukan, pihak AS mesti mengidentifikasi, memperingatkan, dan terakhir mengambil tindakan yang diperlukan jika membahayakan. Tanpa boleh memulai tembakan, kapal-kapal AS diizinkan menembak pesawat-pesawat yang sudah diberi peringatan namun tak mengindahkan.
Baca juga: Nasib Tragis Kapal Inggris
Pada 17 Mei 1987, USS Stark masih berpatroli di perairan tersebut. Pukul 20.00, Kapten Bridel diberitahu adanya persawat tempur Mirage F-1 Irak yang mendekati kapalnya di jarak 200 mil. Di Combat Information Center (CIC), pukul 20.15 Letnan Basil E. Moncrief, perwira Tactical Action Officer, memberitahu Brindel tentang pesawat tersebut. Lantaran kehadiran Mirage F-1 itu tak tampak di radar, para petugas CIC lalu mengubah mode pencarian radar SPS-49 Stark ke mode 80 mil. Pesawat itu ternyata telah berada di posisi 70 mil dari Stark. Upaya pemberitahuan yang dikirim petugas Stark tak didengar pilot Irak.
Pukul 21.03, operator radar SPS-49 meminta izin Moncrief mengeluarkan peringatan kepada pilot Irak. “Tidak. Tunggu!” kata Moncrief, dikutip Michael Vlahos dalam “The Stark Report”, dimuat news.usni.org. Dua menit kemudian, Mirage F-1 itu memutar arah menuju Stark di jarak 32 mil. Letnan Moncrief menganggapnya sebagai bahaya dan berupaya meminta komando dari Bridel. Namun, Bridel tak dapat ditemukannya.
Ketika pesawat itu mencapai jarak 22,5 mil dari Stark pukul 21.07, sebuah rudal Exocet dilepaskannya ke arah Stark. Para petugas Weapons Control Officer Stark langsung meminta identitas pilot. Alih-alih menjawab permintaan itu, pilot Irak malah menjawabnya dengan meluncurkan Exocet kedua, di jarak 15 mil.
Langkah-langkah pertahanan pun dilakukan para awak Stark. Selain menyiapkan peluncur sekam (flare), mereka menyiapkan senapan anti-serangan udara Phalanx (Close in Weapons System) ke mode siaga.
Namun, semua upaya para awak Stark itu terlambat. Exocet pertama Irak menghantam sisi kiri Stark. Meski gagal meledak, bahan bakar rudal itu menyebabkan kebakaran hebat. “Kebakaran yang dihasilkan merembet ke atas ke pusat informasi tempur kapal itu, menonaktifkan sistem elektrik,” kata Richard S. Gough dalam The Weapon Director.
Baca juga: Celaka di Selat Sunda
Tak lama kemudian, Exocet kedua menghantam sisi sama Stark dan meledak hebat. “Rudal kedua meninggalkan lubang di bangunan utama frigat dan kebakaran hebat melintasi seluruh kapal,” sambungnya. Hantaman Exocet kedua itu memadamkan sistem pertahanan misil Stark sehingga kapal nahas itu tak bisa melakukan pembalasan.
Selain membuat Stark miring dan nyaris tenggelam, serangan oleh pilot AU Irak itu menewaskan 37 awak Stark dan melukai puluhan lainnya. Lebih jauh, serangan itu mengagetkan para pengamat militer dan awak Stark yang selamat akan dahsyatnya daya hancur rudal buatan Prancis itu –rudal ini pula yang digunakan AU Argentina ketika menenggelamkan destroyer Inggris HMS Sheffield yang berukuran lebih besar lima tahun sebelumnya di Perang Malvinas.
Kongres langsung melakukan investigasi, yang diikuti Staf Gabungan. Hasilnya yang diumumkan akhir tahun itu juga, menetapkan Bridel dan Moncrief salah karena lalai dalam merespon peringatan dari petugas radar. Akibat kelalaian itu membuat USS Stark telat mengambil langkah pengamanan diri.
Sementara, penyerangan Stark membuat rakyat AS marah. Pemerintahan Reagan, yang sedang direpotkan oleh Skandal Iran-Contra, langsung mengirim tim Kementerian Pertahanan yang dipimpin Laksda David N. Rogers ke Baghdad untuk melakukan penyelidikan dan meminta tanggung jawab Irak.
Baca juga: Main Mata Iran dan Amerika dalam Iran/Contra
Perdebatan serius pun terjadi di antara pemerintah AS dan Irak. Irak akhirnya mengklaim pilotnya melakukan kesalahan teknis dengan radar pesawatnya sehingga mengira USS Stark sebagai kapal tanker Iran yang berada di wilayah Zona Ekslusifnya.
Meski melalui perdebatan alot, kompromi antara pemerintah AS dan Irak akhirnya dicapai. “Irak setuju membayar $ 27,3 juta sebagai kompensasi kepada keluarga para korban Stark,” tulis Zatarain. “Serangan Stark memberi AL AS pengalaman pertama tentang dampak dari serangan rudal yang sebenarnya di kapal modernnya.”