Masuk Daftar
My Getplus

Serba-serbi Politik Gentong Babi

Mulanya sekadar daging babi yang diawetkan di era perbudakan tetapi lamat-lamat dijadikan alat politik untuk mengawetkan kekuasaan.

Oleh: Randy Wirayudha | 14 Feb 2024
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengangkat isu pork barrel politics di film "Dirty Vote" (Tangkapan Layar Youtube Dirty Vote)

MASIFNYA penggunaan instrumen kekuasaan untuk memenangkan Pemilu 2024 bukan sekadar mengutak-atik produk hukum namun juga menjadikan bantuan sosial (bansos) sebagai alat politik. Film dokumenter Dirty Vote menyuguhkannya lewat penjelasan politik “gentong babi” yang sudah eksis pada era perbudakan di Amerika Serikat.

Dirty Vote yang digarap rumah produksi Watchdog dengan disutradarai Dandhy Dwi Laksono ditayangkan di akun Youtube Dirty Vote dan PSHK Indonesia sejak Minggu (11/2/2024). Dokumenter ini disajikan dengan pendekatan eksplanatori oleh tiga ahli hukum tata negara: Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.

Dalam dokumenter itu, Bivitri bicara perkara anggaran bansos yang acap meroket di setiap tahun pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres). Tak ayal bansos begitu rawan jadi alat politik untuk menjangkau sebaran suara melalui aparat hingga pejabat negara untuk mengajak masyarakat penerima bansos memilih calon presiden (capres) tertentu.

Advertising
Advertising

Baca juga: Dirty Vote dan Empat Pilpres Kontroversial Amerika

Bivitri lantas mengasosiasikannya dengan salah satu konsep ilmu politik: pork barrel politics atau politik gentong babi. Istilahnya sendiri sudah ada sejak masa perbudakan nan getir di Negeri Paman Sam.

“Jadi bayangkan, pada saat itu para budak harus berebutan mengambil daging babi yang diawetkan di dalam gentong dan akhirnya muncul istilah bahwa ada orang-orang yang akan berebutan suatu jatah resmi untuk kenyamanan dirinya. Itu asal-muasal istilah gentong babi,” terang Bivitri.

“Jadi yang kita bicarakan di sini adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara untuk digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh para politisi agar dirinya bisa dipilih kembali. Tapi tentu saja kali ini Jokowi (Presiden Joko Widodo, red.) tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya, melainkan penerusnya,” imbuh salah satu pendiri PSHK tersebut.

Grafik anggaran bansos sejak 2014 (Tangkapan layar Youtube Dirty Vote)

Mula Gentong Babi

Istilah “gentong babi” bisa dilacak sampai ke sepanjang masa perbudakan di Amerika. Tepatnya sejak koloni-koloni tumbuh bak jamur di musim hujan mulai 1526 hingga era penghapusan perbudakan pada 1865 pasca-Perang Saudara (1861-1865).

Dalam artikelnya yang dimuat Jurnal National Municipal Review edisi Desember 1919, “A Little History of Pork”, Chester Collins Maxey mengungkapkan, di perkebunan-perkebunan di wilayah selatan pada masa perbudakan terdapat kebiasaan rutin membagikan daging babi kepada para budak. Daging babi itu biasanya diawetkan dengan garam dan dikemas di dalam gentong kayu.

“Metode pendistribusiannya adalah dengan melubangi gentongnya dan setiap budak mendatangi gentongnya untuk menerima jatahnya. Seringkali ketidaksabaran para budak menyebabkan kericuhan karena para budak berusaha mengambil sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri,” tulis Maxey.

Baca juga: Robohnya Patung Tokoh Perbudakan dan Rasisme

Masih di era perbudakan, seiring waktu, istilah “gentong babi” mulai merasuki arena perpolitikan. Istilah “gentong babi” digunakan untuk menyebutkan sebuah upaya politik alokasi anggaran yang bersifat kolektif yang dapat dinikmati sekelompok orang dengan beragam pembangunan infrastruktur atau pelayanan masyarakat lainnya. Mirip dengan clientelism, meski istilah ini cenderung untuk menyebut pengalokasian sumber daya negara untuk keuntungan pendukung politisi yang lebih bersifat individu, semisal penghapusan pajak, kesepakatan kontrak, atau pemberian pekerjaan/proyek.

Praktiknya pertamakali coba diwujudkan oleh politisi John Caldwell Calhoun pada 1817. Sosok yang tercatat menjadi wakil presiden Amerika ke-7 periode 1825-1832 itu mengajukan Rancangan Undang-Undang (UU) Bonus 1817.

“Pada 1817 Calhoun sebagai anggota parlemen dari South Carolina dan (politisi, Henry) Clay meloloskan rancangan undang-undangnya untuk mengalokasikan anggaran federal guna pembangunan (infrastruktur),” tulis Mark A. Smith dalam Engineering Security: The Corps of Engineers and Third System Defense Policy, 1815-1861.

Ilustrasi gentong babi secara harfiah (kiri) dan sudah menjadi praktik politik (gmu.edu /The Independent edisi 29 Januari 1917)

Anggaran yang dimaksud berasal dari bonus dan dividen masa depan sebesar 650 ribu dolar per tahunnya dari Second Bank of the United States yang baru berdiri. Anggaran itu diperuntukkan bagi proyek pembangunan jalan yang menghubungkan antara wilayah timur dan selatan dengan wilayah barat, kanal-kanal, dan saluran-saluran irigasi. Akan tetapi UU Bonus 1817 itu kemudian diveto Presiden James Madison di akhir masa jabatannya dengan alasan inkonstitusional.

Di era modern, konsep itu juga digunakan Thomas Phillip ‘Tip’ O’Neill, ketua parlemen Amerika dari Partai Demokrat, saat mengajukan megaproyek sistem jalur terowongan “Big Dig” atau Central Artery/Tunnel di Boston, Massachusetts pada 1982. Proyek yang rampung pada 2007 itu menghabiskan anggaran hingga 51 juta dolar.

Pada kampanye calon presiden 2008, senator negara bagian Alaska, Theodor Fulton ‘Ted’ Stevens, juga mendorong rencana proyek Jembatan Pulau Gravina. Proyek yang menyedot anggaran hingga 398 juta dolar itu direncanakan dibangun untuk menghubungkan antara Bandara Internasional Ketchikan, Pulau Revillagigedo, dan Pulau Gravina yang hanya berpopulasi 50 penduduk.

“Mereka hanya sedikit lebih baik di antara para pelaku politik gentong babi sepanjang sejarah, di mana mereka lebih baik memainkannya dari banyak legislator di era 1820-an. Akar sejarah yang begitu kuat membuatnya kebal dari sejumlah pergerakan reformasi. Kini saatnya menggali lebih dalam untuk melihat bahwa masalah sebenarnya ada pada badan legislatif,” tukas Jay Cost dalam A Republic No More: Big Government and the Rise of American Political Corruption.

Baca juga: Omnibus Law dari Masa Lampau

TAG

pemilu pilpres amerika-serikat amerika

ARTIKEL TERKAIT

Mimpi Pilkada Langsung Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Presiden Bayangan Amerika Serikat Bung Karno di Meksiko Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Presiden yang Memilih Hidup Melajang Kawan Setia Rakyat Indonesia Dewi Dja Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia di Amerika Kisah Penemu Terkenal yang Menjadi Korban Rasisme