ACARA pelantikan presiden juga menjadi momen untuk memperkenalkan ibu negara yang nantinya akan mendampingi presiden dalam menjalankan tugas kenegaraan hingga periode masa jabatannya berakhir. Namun tak semua presiden memiliki pasangan atau berstatus menikah. James Buchanan salah satunya. Presiden ke-15 Amerika Serikat itu merupakan satu-satunya presiden yang berstatus lajang dalam sejarah Amerika. Ia juga dikenal sebagai satu-satunya presiden yang terpilih dari Pennsylvania.
Lahir dari keluarga terpandang yang berkecukupan, Buchanan merupakan putra dari pengusaha James Buchanan Sr. dan Elizabeth Speer Buchanan. Di masa mudanya, pria kelahiran Pennsylvania, 23 April 1791 itu mengenyam pendidikan di Dickinson College di Carlisle, Pennsylvania dan berhasil lulus tahun 1809. Selanjutnya, Buchanan belajar hukum di Lancaster, Pennsylvania. Ia diterima di Pennsylvania Bar pada 1812 dan kemudian mendirikan firma hukum yang berkembang cukup baik dan sukses. Kepiawaian Buchanan dalam menyampaikan pidato membawanya ke dunia politik.
Menurut Bill Yenne dalam The Complete Book of US President, nama Buchanan mulai dikenal sebagai politisi ketika ia menjabat sebagai anggota legislatif negara bagian Pennsylvania dari tahun 1814 hingga 1816. Empat tahun berikutnya, ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS, di mana ia menjabat selama lima periode sebagai seorang federalis.
Baca juga:
Ketika Sukarno Murka kepada Presiden Amerika Serikat
Di masa kepemimpinan Presiden Andrew Jackson, Buchanan diangkat menjadi menteri AS untuk St. Petersburg dari tahun 1831 hingga 1833. Sekembalinya dari Rusia, ia kemudian menduduki jabatan sebagai senator AS (1834-1845) dan menteri luar negeri (1845-1849) dalam kabinet Presiden James K. Polk.
“Dalam jabatan ini, yang ia pegang hingga tahun 1849, Buchanan membantu menegosiasikan perjanjian dengan Inggris dalam sengketa atas wilayah Oregon. Buchanan berniat menggunakan jabatan menteri luar negeri sebagai batu loncatan menuju kursi kepresidenan,” tulis Yenne.
Buchanan sempat mengajukan diri sebagai calon presiden pada 1844, namun ia kemudian memutuskan untuk memberikan dukungannya kepada Polk. Gagal menerima nominasi presiden pada tahun 1848, Buchanan memutuskan untuk vakum dari pelayanan publik hingga 1853, ketika ia ditunjuk Presiden Franklin Pierce menjadi menteri untuk Inggris.
Mimpi Buchanan untuk menjadi presiden Amerika Serikat mulai menjadi kenyataan ketika pada Konvensi Demokrat tahun 1856 ia berhasil mengalahkan Pierce untuk mendapatkan nominasi calon presiden dan kemudian keluar sebagai pemenang pemilihan presiden. Buchanan sukses meraup suara lebih besar dari kandidat presiden pertama dari Partai Republik, John Charles Frémont dari California, dengan 174 banding 114 di Elecotral College, dengan 45,3 persen suara populer.
Sejumlah pengamat beranggapan bahwa kemenangan Buchanan salah satunya berkaitan dengan aktivitasnya dalam politik luar negeri AS. Pengabdiannya di luar negeri membantunya memenangkan nominasi Partai Demokrat di tahun 1856, karena aktivitasnya di luar negeri itu pula ia terbebas dari keterlibatan dalam kontroversi dalam negeri yang tidak menyenangkan.
Kemenangan Buchanan ramai menjadi perbincangan publik. Terlebih pria yang memiliki perawakan tinggi, elegan dan berwibawa itu berstatus lajang dan tidak memiliki pasangan. Terkait hal ini, Buchanan bukan berarti tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan perempuan. Ketika berusia 28 tahun, pria keturunan Irlandia itu pernah bertunangan dengan Anne C. Coleman, seorang putri dari keluarga kaya di Pennsylvania. Sayang pertunangan itu berujung pada perpisahan. Buchanan memutuskan untuk mengakhiri pertunangannya karena alasan yang dirahasiakan. Tak lama kemudian, Coleman dilaporkan meninggal dunia.
Sejarawan Amerika Thomas J. Balcerski menulis dalam Bosom Friends: The Intimate World of James Buchanan and William Rufus King bahwa setelah menduduki jabatan presiden AS, Buchanan pernah terlibat dalam sejumlah hubungan dengan beberapa perempuan meski tidak ada yang berlanjut ke jenjang pernikahan.
“Sebagai presiden, Buchanan sempat dekat dengan janda Elizabeth Church Craig, seorang putri dari presiden Universitas Georgia. Pada musim dingin 1858, Craig mengunjungi ibukota dan tinggal atas undangan presiden di Gedung Putih. Ketika dia meninggalkan Washington pada musim semi berikutnya, Old Buck (julukan untuk Buchanan terkait dengan statusnya sebagai bujangan tua) tetap menunjukkan ketertarikan yang sopan pada urusan pribadinya, tetapi dia kemudian meremehkan pasangan barunya di sebuah acara sosial,” tulis Balcerski.
Baca juga:
Empat Pilpres Kontroversial Amerika
Saat itu, Buchanan telah beralih ke hubungan asmara berikutnya. Pada musim panas 1859, ia menjalin hubungan dengan Eugénie Bate Bass dari Mississippi, seorang janda kaya berusia 33 tahun dan ibu tiga anak. Ketika Bass mengunjungi Buchanan di sebuah cottage, presiden dilaporkan bergegas keluar dari ruang tamu untuk berganti pakaian. Pada Agustus 1859, Buchanan memboyong Bass dan ketiga anaknya ke Bedforf Springs. Seperti hubungan-hubungan sebelumnya, jalinan asmara itu pun berakhir begitu saja dan Buchanan tetap menjadi seorang bujangan.
Status Buchanan sebagai seorang bujangan telah menjadi sorotan sejak ia mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat. Meski begitu, menurut Balcerski, Buchanan diuntungkan oleh perubahan pandangan tentang orang yang belum menikah di seluruh masyarakat Amerika. Pada konvensi partai, sekutunya Black dari Pennsylvania mengubah status bujangan Buchanan menjadi hal yang positif dengan menyatakan “segera setelah James Buchanan cukup umur untuk menikah, ia menikah dengan konstitusi negaranya, dan hukum di Pennsylvania tidak mengizinkan seorang pria memiliki lebih dari satu istri.”
“Yang menarik, kendati statusnya bujangan atau belum menikah, Partai Demokrat yang mengusung Buchanan menegaskan bahwa kandidat mereka adalah seorang family-man atau penyayang keluarga yang berintelektual tinggi,” tulis Balcerski.
Sosok Buchanan yang dikenal dekat dengan keluarganya kemudian menjadi faktor di balik penunjukkan Harriet Rebecca Lane, keponakan Buchanan, sebagai ibu negara. Lisa Kathleen Graddy dan Amy Pastan menulis dalam The Smithsonian First Ladies Collection bahwa dengan ketenangan dan kepekaan yang dimiliki Harriet, wanita berusia 26 tahun itu menjadi tuan rumah untuk acara-acara di Gedung Putih pada masa yang paling memecah belah dalam sejarah Amerika, yakni periode sebelum Perang Saudara.
Harriet yang lahir di Mercersburg, Pennsylvania pada 9 Mei 1830 merupakan putri dari saudara perempuan James Buchanan, Jane Buchanan dengan Elliot Tole Lane. Di usia yang baru menginjak 11 tahun Harriet telah kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena sakit. Ia kemudian diasuh oleh pamannya. Kendati Buchanan tak terlalu menyukai anak-anak, ia memenuhi seluruh kebutuhan keponakan-keponakannya dan menyekolahkan mereka di institusi pendidikan yang baik.
Sebelum menjadi ibu negara, Harriet telah lebih dahulu mendampingi Buchanan ketika ia bertugas sebagai menteri di Court of Saint James (yakni, duta besar untuk Britania Raya). Harriet menyusul sang paman ke Inggris pada bulan April tahun 1854. Di Inggris, Harriet sukses menarik perhatian banyak orang, tak terkecuali Ratu Victoria. Sang ratu bahkan menganugerahkan gelar “Duta Besar Kehormatan” kepada Harriet, dan koran-koran di London menjulukinya sebagai Girl Queen.
Seperti halnya di Inggris, Harriet juga mendapat sambutan positif dari masyarakat Amerika atas perannya sebagai ibu negara yang mendampingi pamannya. Tak hanya menjadi tuan rumah untuk berbagai acara yang digelar di Gedung Putih, Harriet juga kerap hadir dalam penyambutan delegasi internasional. Selain menyambut Pangeran Albert Edward, yang kemudian menjadi Raja Edward VII, pada tahun 1860, salah satu pertemuan bersejarah yang pernah dihadiri oleh Harriet adalah kunjungan tiga duta besar Jepang ke Washington pada bulan Mei 1860. Kunjungan itu berkaitan dengan perjanjian antara Amerika Serikat dengan Jepang.
Baca juga:
Tien Soeharto, Ibu Negara Tiga Dekade
Terlepas dari peran mengagumkan yang dilakukan Harriet untuk sang paman, masa kepemimpinan Buchanan tak lepas dari kontroversi. Mulanya, kemenangan Buchanan dipandang sebagai angin segar yang dapat mencegah terjadinya perpecahan di Negeri Paman Sam, salah satunya berkaitan dengan pandangan mengenai perbudakan. Sebagai presiden terpilih, Buchanan berpikir bahwa krisis akan hilang jika dia mempertahankan keseimbangan dalam penentuan kebijakannya dan dapat membujuk rakyat untuk menerima hukum konstitusional seperti yang ditafsirkan oleh Mahkamah Agung. Sayangnya, Buchanan kurang memahami realitas politik saat itu. Mengandalkan doktrin konstitusional untuk menutup keretakan yang semakin melebar karena perbudakan, Buchanan gagal memahami bahwa Utara tidak akan menerima argumen konstitusional yang menguntungkan Selatan. Ia juga tidak menyadari bagaimana sektarianisme telah menyelaraskan kembali partai-partai politik: Partai Demokrat terpecah, Partai Whig hancur, dan memunculkan Partai Republik.
“Masa kepresidenan James Buchanan merupakan bencana bagi dirinya sendiri, partai, dan negara. Ia menepati satu janji yang ia ucapkan pada saat pelantikannya-bahwa ia tidak akan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Abraham Lincoln telah terpilih, namun belum dilantik, ketika negara-negara bagian selatan mulai meninggalkan Uni pada bulan Desember 1860,’’ tulis Yenne.
Disalahkan sebagai penyebab Perang Saudara karena kelambanannya, Buchanan menghabiskan tahun-tahun terakhirnya untuk membela diri di pengadilan opini publik. Tertekan dan dalam kondisi kesehatan yang memburuk, Buchanan meninggal dunia pada 1 Juni 1868 dan dimakamkan di Pemakaman Woodward Hill di Lancaster, Pennsylvania. Di masa-masa menjelang ajalnya, Buchanan berkeyakinan bahwa sanak keluarganya akan membela dirinya dan menebus reputasinya yang hancur dan dianggap gagal.