KUBURAN tua itu terpuruk di satu sudut Taman Pemakaman Umum Pandu, Bandung. Nisannya yang bercorak abu-abu terlihat kusam dengan baris tulisan bahasa Inggris yang samar berbunyi: “Mengenang Raymond Kennedy 1906-1950, akademisi Amerika, ilmuwan, humanis, kawan setia rakyat Indonesia sekaligus martir untuk kemerdekaan mereka.”
Ironisnya, tak banyak orang Indonesia tahu sosok Raymond Kennedy. Padahal di tempatnya berkiprah, Yale University, dia dikenal sebagai profesor terkemuka yang menjadi perintis studi Asia Tenggara, terutama terkait dengan Indonesia.
Bermodalkan ketrampilan berbahasa Melayu yang sangat baik, dia menulis banyak hal tentang Indonesia di berbagai jurnal dan penerbitan. Salah satu karyanya yang legendaris adalah buku empat jilid berjudul Peoples and Cultures of Indonesia, diterbitkan tahun 1945. “Dia pun berperan dalam penyusunan data-data tentang Asia Tenggara untuk program Survey Lintas Budaya yang dijalankan Yale University saat itu,” tulis John Embree dalam tulisannya “Raymond Kennedy, 1906-1950”, dimuat The Far Eastern Quarterly, Vol. 10, No. 2 Februari 1951.
Baca juga:
Ketika George Kahin Disangka Orang Belanda
Karena keluasan wawasan Kennedy mengenai Asia Tenggara dan Indonesia, menjelang Perang Dunia II, Kantor Urusan Strategis (OSS) –cikal-bakal CIA– merekrut lelaki bersorot mata tajam itu. “Dia ditarik oleh Divisi Operasi Khusus OSS,” tulis Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?.
Menurut Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, ketertarikan OSS terhadap Kennedy bermula dari salah satu karyanya yakni The Ageless Indies. Dalam buku ini, secara lugas Kennedy mengupas habis berbagai praktik kolonialisme yang dilakukan Belanda di tanah Hindia. Namun entah kenapa, usai Perang Dunia II berakhir, Kennedy mundur dari dunia intelijen dan memilih melanjutkan kembali karier akademisnya di Yale University.
Dalam kasus konflik Indonesia-Belanda, Kennedy cenderung mendukung perjuangan orang-orang Indonesia. Menurut sejarawan AS Robert Shaffer, sikap itu diperlihatkan Kennedy saat dia mengkritik kebijakan politik AS yang dinilainya terlalu lunak kepada negara-negara Eropa yang kolonialis (laiknya Belanda). “Dia mengingatkan kebijakan seperti itu di masa depan bisa merugikan posisi AS secara ekonomi dan politik,” tulis Shaffer.
Di tengah kegundahan akan sikap politik AS tersebut, pada 1949 Kennedy memulai perjalanan penelitian 15 bulannya ke seluruh Asia Tenggara. Dia memfokuskan risetnya untuk mempelajari interaksi antara budaya Barat dan lokal. Setahun kemudian dia sampai di Bandung dan berniat pergi lewat jalan darat menuju Yogyakarta. Dalam perjalanan itu, ikut bersamanya Robert “Bob” Doyle, kontributor majalah Time-Life berusia 31 tahun. Bob, panggilan akrab Doyle, tengah menulis tentang kondisi para petani Jawa pascaperang.
Baca juga:
Bob sosok menarik. Dia dikenal sebagai lelaki lembut dan murah senyum. Sebelum menjadi jurnalis, dia adalah seorang anggota militer berpangkat letnan.
“Lelaki kelahiran Chicago itu pernah berdinas sebagai perwira senior intelijen di Angkatan Laut AS pada era perang,” tulis The New York Times, 29 April 1950.
Doyle menjadi kontributor Time-Life sejak 1947. Dia pernah menulis sejumlah laporan mengenai Tiongkok, dari soal Jenderal Mao Tse-tung hingga Nasionalis Tiongkok. Di Indonesia, dia membuat esai foto mengenai RIS yang dimuat majalah Life.
Dalam editorialnya, majalah Life edisi 8 Mei 1950 menyebut Doyle tewas dalam tugas mengejar berita. “Kami mengatakan bahwa Robert Doyle tengah mengejar berita. Lebih dari itu: dia mengejar pemahaman, dan lebih baik daripada kebanyakan dari kita dalam usaha ini dia menemukan dan menyampaikan kepada pembacanya.”
Sama-sama pernah berkiprah di dunia intelijen, pada akhirnya Bob dan Kennedy harus bernasib sama: terbunuh di Pulau Jawa.*
Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016