FILM dokumenter Dirty Vote bikin geger perpolitikan Indonesia. Pasalnya film berdurasi 1 jam 57 menit itu dirilis tiga hari jelang Pemilu 2024 yang ditengarai rawan kecurangan.
Digarap rumah produksi Watchdog dengan sutradaranya Dandhy Dwi Laksono, Dirty Vote menyajikan pendekatan eksplanatori dari tiga ahli hukum tata negara sebagai narasumbernya: Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti. Filmnya dirilis di tiga akun Youtube: Dirty Vote, PSHK Indonesia, dan Refly Harun sejak 11 Februari 2024.
Dirty Vote tidak sekadar menyuarakan kekhawatiran akan potensi rusaknya tatanan demokrasi lewat penggunaan instrumen kekuasaan demi memenangi pemilu. Sedikit-banyak film ini juga menyuguhkan pendidikan politik bagi penontonnya, khususnya soal sistem pemilu. Pakar hukum Universitas Andalas Feri Amsari, misalnya, mengungkapkan bahwa kemenangan pemilu pemilihan presiden (pilpres) hanya bisa dicapai jika dalam sebaran wilayah, satu pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) bisa mendulang 50 persen plus 1 suara dari seluruh total suara, menang di 20 dari total 38 provinsi, serta menang lebih dari 20 persen suara di setiap provinsi.
“Sebaran wilayah tentu saja sangat menentukan. Saya ingin mengambil contoh kasus Pemilu (pemilihan) Presiden Amerika di tahun 2016. Semua orang tahu bahwa dalam pemilu itu Hillary Clinton memenangkan suara terbanyak popular vote tetapi Hillary tidak menang di jumlah sebaran. Bandingkan dengan kemenangan sebaran wilayah yang didapat Donald Trump,” ungkap Feri.
Baca juga: Joe Biden dan Pemimpin Gagap
Pilpres Amerika Serikat (AS) memang unik. Sejak pertama kali digelar pada 1789, sistem kemenangan dalam pilpresnya diraih lewat electoral college atau suara elektoral. Pada praktiknya, setiap warga punya hak memilih lewat popular vote atau pencoblosan rakyat, tetapi penentuan pemenangnya tetap melalui suara elektoral.
Di setiap masa, jumlah suara elektoral AS kian meningkat seiring masuknya koloni-koloni menjadi negara bagian di AS. Pada Pemilu terakhir di 2020, tercatat 538 total suara elektoral berdasarkan 435 wakil rakyat dan 100 senator dari 50 negara bagian plus tiga suara elektoral khusus dari ibukota Washington DC. Untuk bisa menang, seorang capres minimum harus meraup 270 suara elektoral.
“Sebanyak 32 negara bagian menominasikan para pemilih (elektoral) lewat konvensi-konvensi negara bagian. Di lima negara bagian lain dan (Washington) District of Columbia, komite pusat masing-masing partai yang menominasikannya. Tiga (negara bagian) lainnya menerapkan aneka metode untuk memilih pemegang suaranya, di antaranya dengan memercayakan keputusannya kepada otoritas partai, nominasi dari gubernur lewat rekomendasi komite partai, serta melalui pemilu negara bagian,” tulis George C. Edwards III dalam Why the Electoral College Is Bad for America, Third Edition.
Jika dalam popular vote pemilihnya adalah setiap warga negara, lantas siapa pemegang hak pemilih dalam suara elektoralnya?
“Konstitusi menyatakan bahwa pemilik suara elektoral (yang dinominasikan) tidak boleh berasal dari kalangan senator, wakil rakyat, atau pejabat di dalam pemerintahan. Para pendiri bangsa ingin mencegah anggota kongres dan pejabat federal memiliki peran dalam memilih presiden –setidaknya dalam fase awal pemilihan, untuk menghindari suap dan intrik-intrik tertentu yang memengaruhi hasilnya,” lanjutnya.
Menariknya, dari 59 pilpres hingga 2020, tercatat ada empat pilpres di mana seorang capres yang kalah dalam popular vote bisa menang dalam suara elektoral hingga akhirnya menjadi presiden terpilih. Berikut empat pilpres kontroversial AS:
Baca juga: Presiden Amerika Mengintip Jeroan Lawan Politik
Pilpres 1876
Pilpres 1876 dengan mempertemukan Rutherford B. Hayes (Republik) melawan Samuel J. Tilden (Demokrat) menjadi kasus pertamanya. Kendati Tilden unggul dengan 4,2 juta suara popular vote (41,4 persen), Hayes yang memenangi 185 dari 369 suara elektoral. Dia pun menjadi presiden Amerika ke-19.
Tilden sempat protes lantaran menuding adanya manipulasi dan kecurangan. Terlebih Hayes menang tepat di ambang batas suara elektoral (185), sementara Tilden hanya mendapatkan 184 suara elektoral.
“Di negara bagian Oregon terdapat satu suara elektoral yang dinyatakan tidak sah oleh Gubernur La Fayette Grover. Ia mengklaim salah satu pemilik suara elektoral, John Watts, dianggap tidak sah karena Watts masih menduduki sebuah jabatan federal,” ungkap Andrews E. Benjamin dalam History of the United States.
Baca juga: Enam Pelaut Amerika yang Menjadi Presiden
Ending pilpres paling kontroversial dalam sejarah Amerika itu diselesaikan dengan kompromi demi mencegah konflik seperti Perang Saudara (1861-1865). Lewat Kompromi 1877, komisi elektoral “memaksa” pihak Demokrat menerima hasil pilpres dengan “imbalan” penarikan pasukan federal dari negara bagian South Carolina dan Louisiana yang diduduki sejak berakhirnya Perang Saudara.
“Saya bisa pensiun dari kehidupan publik dengan kesadaran bahwa saya akan menerima pengakuan telah memenangkan posisi tertinggi yang diberikan rakyat tanpa hak dan kewajiban dalam pemerintahan,” tukas Tilden dikutip Aaron T. Walter dalam Dirty, Rotten, Scandalous: U.S. Presidential Elections Throughout History.
Pilpres 1888
Pada Pilpres 1888, petahana Grover Cleveland (Demokrat) meraup 5,5 juta popular vote (48,6 persen) dan 168 suara elektoral. Tetapi yang terpilih jadi presiden justru Benjamin Harrison (Republik) yang mengantongi 5,4 juta suara (47,8 persen) dan meraup 233 dari 401 suara elektoral.
“Pilpres 1888 merupakan salah satu persaingan (capres) paling ketat dalam sejarah Amerika. Juga salah satu pilpres yang paling kotor dalam kampanyenya,” tulis Larry Sabato dan Howard R. Ernst dalam Encyclopedia of American Political Parties and Elections.
Baca juga: Kala Presiden Amerika Terpapar Virus Influenza
Dikatakan kotor karena Partai Republik menggencarkan kampanye negatif bahwa Cleveland adalah pengecut karena tidak pernah berperan dalam Perang Saudara. Kampanye hitam lainnya adalah digembar-gemborkannya opini duta besar Inggris yang memihak Cleveland via suratkabar-suratkabar. Kala itu sentimen anti-Inggris sebagian masyarakat Amerika masih kuat gegara isu perdagangan bebas.
“Hal terburuknya adalah Cleveland tak mampu mengusung kampanye kontra narasi yang efektif. Wakil presidennya, Allen Thurman pun tak sanggup total ikut berkampanye karena masalah kesehatan,” imbuh Sabato dan Ernst.
Pilpres 2000
Dalam Pilpres 2000, Partai Republik diwakili capres George W. Bush. Sementara, Demokrat mengusung Al Gore. Mereka saling berebut 538 suara elektoral (minimum 270 suara elektoral).
Dalam kontestasi yang begitu ketat, Al Gore mengantongi nyaris 51 juta suara (48,4 persen) tapi hanya meraup 266 suara elektoral. Sedangkan Bush mendapatkan 50,5 juta suara (47,9 persen) namun mengantongi 271 suara elektoral.
Dari 50 “medan pertempuran”, penentuan pemenangnya jatuh pada negara bagian Florida dengan 25 suara elektoral. Bush dinyatakan komisi pemilihan Florida sebagai pemenangnya lewat penghitungan ulang. Gore pun menggugatnya ke meja hijau karena menganggap ada puluhan ribu surat yang tak terbaca di mesin suara. Akan tetapi gugatan Gore untuk melakukan penghitungan ulang ditolak Mahkamah Agung.
Baca juga: Obituari George Bush Sr.
Pilpres 2016
Hillary Clinton sejatinya unggul dalam popular vote sebanyak 65,8 juta (48,2 persen), namun capres Demokrat itu hanya mengantongi 227 suara elektoral. Sebaliknya, capres Republik Donald Trump dalam hal sebarannya memenangi 304 dari 538 suara elektoral meski hanya meraup 63 juta popular vote (46,1 persen) namun.
Kemenangan Trump itu mengejutkan banyak pihak lantaran Trump cenderung rasis terhadap golongan-golongan minoritas dalam sejumlah kampanyenya. Maka protes anti-Trump pun meledak di mana-mana. Trump kemudian juga didera isu pelecehan seksual.
“Donald Trump melanggar hampir semua aturan dalam politik untuk memenangkan nominasi capres Republik. Disusul kemenangan yang mengejutkan semua orang dari Hillary Clinton dalam pilpres,” ungkap Larry J. Sabato, Kyle Kondik, dan Geoffrey Skelley dalam Trumped: The 2016 Election That Broke All the Rules.
Baca juga: Trump