Hossein Kosbakthy, imigran Iran di Amerika Serikat tak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar kabar adiknya ditolak masuk Amerika melalui bandara Los Angeles. Hossein datang ke bandara untuk menjemputnya, namun adiknya tak kunjung keluar dari pemeriksaan imigrasi dan langsung dipulangkan ke Iran.
“Adik saya tak pernah berbuat salah di tempat mana pun di dunia ini... Kenapa kami harus disalahkan atas persoalan yang tidak pernah kami perbuat?” kata Hossein berurai air mata sebagaimana terekam dalam klip video yang terpublikasi pada laman media sosial AJ+.
Kesedihan Hossein hari itu, Minggu, 29 Januari 2017, sebagai akibat dari keputusan Presiden Donald Trump yang melarang imigran dari negeri-negeri muslim masuk ke Amerika. Trump mewujudkan sesumbarnya selama kampanye bahwa dia akan melarang orang-orang dari negeri berpenduduk muslim datang ke Amerika demi melindungi Amerika dari serangan teroris.
Keputusan tersebut menimbulkan protes di seantero negeri Paman Sam. Ribuan orang turun ke jalan menggugat kebijakan yang diskriminatif dan berbau rasialis itu. Kebijakan yang menyebabkan Hossein, imigran yang telah bermukim di Amerika selama 20 tahun, merasakan dampaknya.
Yang mengherankan pada situasi Amerika pascaterpilihnya Trump –tentu saja situasi umum yang kini menggejala di dunia– adalah bangkitnya populisme yang mengusung ide-ide sempit serta antiketerbukaan. Solidaritas yang dibangun melalui sentimen rasialis dan keagamaan serta perasaan paling unggul dari yang lain ini semakin menggejala. Celakanya, ia ada peminatnya.
Pola yang sama di dalam sejarah seperti terulang kembali. Jika pada 1933 Hitler dan Nazi menjadikan imigran Yahudi sebagai musuh bersama sekaligus kambing hitam krisis ekonomi di Jerman, maka Trump pun melakukan yang sama pada imigran muslim. Setali tiga uang dengan Hitler dan Trump, Geert Wilders di Belanda sejak awal kemunculannya terus-menerus menyuarakan kebenciannya pada kaum imigran di Belanda.
Di Jerman pada era Nazi berkuasa synagoga dihancurkan, di Amerika masjid dibakar dan di Kanada enam warga muslim tewas ditembak di masjid. Kebencian dan kekerasan bersimarajalela. Menjalar kemana-mana dan seakan tak terbendung lagi. Kita menyaksikan dalam sejarah, fasisme Hitler di Jerman berujung pada bencana kemanusiaan terdahsyat abad ke-20.
Kini celakanya, semangat yang sama terasa pula kehadirannya di negeri ini. Pada hari-hari terakhir ini, kebencian direproduksi massal, disebarkan melalui jejaring sosial, diperbincangkan di warung kopi bahkan sampai ke tempat ibadah. Orang-orang bersatu untuk memerangi mereka yang katanya hendak melawan agama. Tak ada lagi rasionalitas kecuali serapah tentang negeri yang katanya akan dikuasai si liyan ini.
Semangat membenci kepada yang liyan dikelola dan dirawat sedemikian rupa sebagai bahan bakar dalam perebutan kekuasaan. Pada titik itu keberagaman tak lebih penting dari keseragaman. Takdir sebagai negeri yang beragam kian terancam seiring klaim soal mayoritas versus minoritas dalam batas-batas pengertian yang sempit.
Maka, bila Jerman era Nazi sempat menjadi lahan di mana bibit kebencian yang tumbuh subur berujung pada pembasmian massal si liyan, apakah hal yang sama perlu terjadi lagi?