HUBUNGAN Amerika Serikat (AS) dan Iran memanas sejak beberapa waktu belakangan. Berbagai media memberitakan kedua negara saat ini bahkan telah di ambang perang. Lewat akun twitter pribadinya, @realDonaldTrump, Presiden AS Donald Trump memberi komentar pada 20 Mei 2019. “Jika Iran ingin berperang, akan ada akhir resmi bagi Iran. Jangan pernah mengancam Amerika Serikat,” ujarnya, dikutip cnnindonesia.com.
Komentar Trump kontan menuai respons tak kalah “garang” dari Teheran. Jenderal Morteza Qorbani, penasehat komando militer Iran, mengancam akan menenggelamkan kapal-kapal perang AS yang dikirim ke Timur Tengah. “Jika mereka tetap berkomitmen melakukan kebodohan itu, kami akanmembuat kapal-kapal itu tenggelam ke dasar laut bersama kru dan pesawat mereka menggunakan dua rudal atau dua senjata rahasia kami,” ujarnya, dilansir cnnindonesia.com, 27 Mei 2019.
Hubungan kedua negara memang bak Tom and Jerry dalam film kartun. Selepas kemesraan dengan rezim Reza Pahlevi sirna, AS praktis selalu menjadi rival utama Iran. Pun begitu sebaliknya.
Namun di tengah ketegangan itu, kedua negara pernah main mata dalam skandal yang dikenal sebagai Skandal Iran/Contra. Skandal itu terjadi pada masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan.
Sejak menjabat presiden ke-40 AS, Reagan bertekad melanjutkan kebijakan embargo senjata ke Iran yang dikeluarkan pendahulunya, Presiden Jimmy Carter. Kebijakan Carter dikeluarkan setelah enam warga negara Amerika disandera oleh demonstan yang membanjiri Kedubes AS di Teheran pada 1979. Para sandera itu dibebaskan pada saat Reagan melakukan pidato inaugurasinya, awal 1981. Reagan melanjutkan Carter dengan mengeluarkan Operasi Staunch, yang melarang penjualan senjata ke negara-negara pendukung terorisme.
Namun, kebijakan itu dinilai tidak efektif lantaran Iran, yang saat itu sedang berperang melawan Irak, masih tetap bisa mendapatkan senjata buatan AS dari tangan-tangan lain. Para pejabat teras di pemerintahan Reagan lalu mendiskusikan kebijakan tersebut. Hasilnya, embargo senjata atas Iran hanya akan membuka pintu bagi Iran jatuh ke dalam pelukan Uni Soviet. Ditambah dengan fakta adanya penyanderaan kembali warga negara AS oleh Hizbullah yang disponsori Iran pada 1982, AS pun mengoreksi langkahnya sendiri.
Dengan harapan Iran mau membantu pembebasan para sandera, pemerintahan Reagan secara klandestin mulai menjual senjata ke Iran. “Langkah paling signifikan yang bisa diambil Iran, kami indikasikan, adalah menggunakan pengaruhnya di Libanon untuk menjamin pembebasan semua sandera yang ditahan di sana,” kata Presiden Ronald Reagan dalam pidato publiknya.
Penjualan senjata itu dilakukan AS lewat perantaraan Israel. “Program rahasia ini berasal dari Israel, dan baru menjadi perhatian Amerika pada musim panas 1985. Orang Amerika berhati-hati, tetapi pada Juli Reagan mengizinkan kontak dengan Iran, dan pada Agustus dia setuju untuk memasok kembali senjata yang akan dikirim Israel ke sana. Pada 20 Agustus 1985, 96 rudal TOW dikirim ke Iran,” tulis Ann Wroe dalam Lives, Lies and the Iran-Contra.
Namun, ditahannya sebuah kapal kargo berisi senjata AS oleh otoritas Portugal pada 17 November membuat Presiden Reagan mulai mengubah cara. “Kengerian pengiriman logistik ini mendorong Amerika untuk mulai berurusan langsung dengan Iran, bukan melalui Israel, meskipun Israel terus berfungsi sebagai kedok,” lanjut Ann. Pada 17 Januari 1986, AS resmi menjual langsung senjatanya kepada Iran kendati tetap klandestin. “Sejak itu, program tersebut adalah tanggung jawab Amerika.
Pada 19 Februari, AS mengapalkan 500 buah rudal TOW ke Iran. Sejumlah 500 rudal TOW lain menyusul delapan hari kemudian.
Toh, lancarnya pengiriman senjata ke Iran tak membuat pembebasan sandera berjalan lancar. Hingga saat itu, baru Pendeta Benjamin Weir yang dibebaskan. Alhasil, Reagan pun mengirim Robert McFarlane, bekas penasehat keamanannya, ke Teheran pada Mei 1986 untuk menegosiasikan langsung dengan pemerintah Iran.
AS lagi-lagi kecewa, McFarlene –yang ke Iran menggunakan identitas palsu dengan nama alias Sean Devlin, berpaspor Irlandia; berangkat bersama Mayor Oliver North dan Amiram Nir dari Israel– gagal menjalankan misinya. Kesialan AS kian bertambah ketika misi rahasia itu malah terbongkar setelah majalah Lebanon Al-Shiraa memberitakan kunjungan tersebut.
Satu per satu pejabat teras pemerintahan Reagan yang terkait operasi pun memberi klarifikasi. Namun, situasi makin runyam bagi pemerintahan Reagan pada akhir 1985 ketika Letkol Oliver North dari Dewan Keamanan Nasional kedapatan mengalihkan sebagian dari hasil penjualan senjata ke Iran untuk menyokong perjuangan gerilyawan Contra melawan pemerintahan kiri Sandinista –mengakhiri pemerintahan Dinasti Somoza pada 1979– di Nikaragua.
Pengungkapan itu tak hanya menyingkap “perselingkuhan” pemerintahan Reagan tapi sekaligus membuka dua fakta yang selalu ditutup-tutupi. Pertama, pemerintahan Reagan telah menjual senjata ke Iran sejak sebelum penyanderaan warga AS oleh Hizbullah. Kedua, sokongan terhadap gerilyawan Contra telah lama berjalan.
Tak bisa dipungkiri, Reagan merupakan penentang Sandinista. Sejak masih calon presiden, dia berjanji akan menyokong perjuangan gerilyawan Contra melawan rezim Sandinista dan menggagas “Perjuangan Demokratik Nikaragua” dengan merangkul lawan-lawan politik Sandinista.
Alhasil, lewat Boland Amandment –amandemen yang diusulkan Edwards Bolan– Kongres AS lalu melarang bantuan untuk Contra oleh pemerintah. Amandemen itu hanya mengizinkan bantuan dilakukan oleh perorangan.
Toh, larangan itu tak menghentikan arus bantuan AS kepada Contra. Baru pada awal Oktober 1986 itu berhenti setelah pasukan militer Nikaragua menembak jatuh sebuah pesawat kargo AS di bagian utara negeri itu. Pesawat itu mengangkut pasokan logistik untuk para pemberontak anti-Sandinista. Satu kru yang selamat, veteran Marinir AS berusia 45 tahun, kemudian ditangkap dan diinterogasi.
“Korban selamat, Eugene Hasenfus, mengatakan pada konferensi pers yang diadakan pemerintah di Managua bahwa penerbangan pasokan ke pemberontak Nikaragua itu secara langsung diawasi oleh anggota CIA di El Salvador,” tulis New York Times, 12 Oktober 1986.
Sehari pasca-terungkapnya skandal itu, Reagan akhirnya angkat bicara. “Pada 25 November 1986, skandal politik dan konstitusi terbesar sejak Watergate meledak di Washington ketika Presiden Ronald Reagan mengatakan dalam konferensi pers bahwa dana yang berasal dari penjualan senjata secara rahasia dengan Republik Islam Iran telah dialihkan untuk membelikan persenjataan bagi pemberontak Contra dukungan AS di Nikaragua,” tulis Dewan Keamanan Nasional dalam lamannya, https://nsarchive2.gwu.edu.