Massa Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI bergerak di sekitar Bundaran Hotel Indonesia dan Jl. MH Thamrin menuju Istana Negara, pada Sabtu pagi, 28 September 2019. Salah satu rombongan yang tertangkap kamera fotografer CNN Indonesia, Ramadhan Rizky Saputra, membawa spanduk besar bertuliskan: “Amanat TAP MPR RI No. 6 Tahun 2000 Presiden Tidak Dipercaya Rakyat Wajib Mundur.”
Spanduk itu pun jadi bahan di twitter karena sepertinya massa tak mengetahui apa sebenarnya Tap MPR No. 6 Tahun 2000. Terlebih salah sambung dikaitkan dengan presiden yang harus mundur karena tidak dipercaya rakyat.
Tap MPR itu lahir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai bagian dari reformasi TNI yang menjadi kekuatan penguasa Orde Baru. Gus Dur mereformasi tubuh militer di antaranya memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI. Dia juga mengangkat pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan.
Selain itu, Gus Dur menunjuk Panglima TNI dari Angkatan Laut karena biasanya Panglima TNI selalu dipegang oleh Angkatan Darat. Dia melikuidasi Badan Koordinasi Strategi Nasional (Bakorstanas) pengganti Kopkamtib, dan Penelitian Khusus (Litsus), lembaga represif Orde Baru.
Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur
Gus Dur juga merealisasikan pemisahan secara tegas antara TNI dan Polri di mana posisi Polri langsung berada di bawah presiden.
Menurut Lalu Misbah Hidayat, anggota DPR periode 2004-2009, dalam Reformasi Administrasi: Kajian Komprehensif Pemerintahan Tiga Presiden (Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri), pemisahan ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali tugas dan fungsi pokok serta lingkup tanggung jawab polisi dan tentara. Lembaga kepolisian mempunyai tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil, sedangkan tugas dan fungsi TNI berkaitan dengan keamanan dan pertahanan negara secara militer.
Gagasan pemisahan itu sebenarnya telah dimulai sejak Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2/1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan dari ABRI. Namun, pemisahan itu belum terealisasi sampai akhir pemerintahannya. Instruksi itu ditindaklanjuti oleh keputusan yang dikeluarkan Menhankam/Panglima ABRI.
Baca juga: Sinta Nuriyah Berkisah tentang Gus Dur
Menurut Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat (buku dari disertasi di FISIP UI tahun 2007), Menhankam/Panglima ABRI mengeluarkan keputusan No: Kep/05/P/III/1999 tanggal 31 Maret 1999 tentang pemisahan Polri dari ABRI bahwa mulai tanggal 1 April 1999 wewenang penyelenggaraan pembinaan Polri dilimpahkan dari Panglima ABRI kepada Menteri Pertahanan Keamanan.
“Landasan konstitusional pemisahan Polri dari TNI secara de jure baru dikukuhkan melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dengan Polri dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri,” tulis Ahmad.
Berdasarkan Tap MPR tersebut, Gus Dur merealisasikan pemisahan TNI dengan Polri melalui penerbitan Keputusan Presiden No. 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu yang terpenting adalah Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden.”
Baca juga: Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri
Tap MPR itu juga menjadi landasan dibentuknya UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Dan selanjutnya baru dibentuk UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
“Pemisahan yang tegas ini membuat posisi Polri tidak mudah diintervensi dan dikooptasi kekuatan lain. Reposisi tersebut mengembalikan posisi Polri kembali ke khitah tahun 1946-1959, yaitu bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara,” tulis Misbah. Itu juga sesuai agenda Reformasi yang menyatakan bahwa pasca Pemilu 1999 Polri akan menjadi lembaga mandiri, sejajar dengan lembaga hukum lainnya dan kementerian.