SAYA tiba ke negeri ini ketika daun-daun mulai menguning dan berguguran. Cuaca mulai dingin dan awan mendung mulai bergelayut di langit, seperti menahan berkantung-kantung air yang siap tumpah membasahi bumi. Belanda memasuki musim gugur. Tak ada yang lebih syahdu dari musim gugur; ketika matahari mulai meredup di siang hari, tak seperti musim panas yang telah berlalu.
Pada Jumat 2 Oktober pekan lalu, sebuah simposium mengenai peristiwa 1965-1966 diselenggarakan di International Institute voor Social Geschiedenis atau Institut Internasional untuk Sejarah Sosial di Amsterdam. Sehari sebelumnya, di Ketelhuis, Amsterdam, diselenggarakan pemutaran film Living of Years Dangerously yang dibintangi oleh Mel Gibson, sebuah film yang berlatarbelakang kejadian politik menjelang kejatuhan Sukarno.
Yang menarik adalah diputarnya film dokumenter dari seorang jurnalis Belanda yang bekunjung ke Indonesia pada 1969. Jurnalis TV tersebut mewawancarai Menteri Penerangan Budiardjo dan wartawan Nono Anwar Makarim. Reportase itu, saya duga, dilakukan karena sebelumnya telah ada berita mengenai pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah yang diungkap oleh Poncke Princen. (Baca: Purwodadi: Skandal Pertama Orde Baru)
Poncke datang ke Purwodadi pada pertengahan Februari 1969 disertai dua wartawan Belanda Henk Kolb dan Cees van Caspel dari harian De Haagsche. Setelah mendapat keterangan mengenai pembunuhan massal di Purwodadi dari seorang pastor setempat, berita menyebar kemana-mana. Namun kisah tersebut tak jadi ekslusif milik De Haagsche karena Poncke keburu membocorkan kejadian itu pada Harian KAMI, yang dipimpin oleh Nono Anwar Makarim, narasumber dalam dokumenter tersebut. (Baca: Orde Baru Tutupi Skandal Purwodadi)
Dengan menggunakan bahasa Inggris yang “flawless,” demikian istilah yang digunakan Aboeprijadi Santoso, wartawan senior yang bermukim di Amsterdam, Nono menceritakan dialah wartawan pertama yang berhasil pergi ke Purwodadi untuk melihat situasi. Paling tidak demikian versinya. Kendati sebelum dia, jelas Poncke, Henk Colb dan Cees van Caspel adalah rombongan wartawan pertama yang tiba ke ibukota Kabupaten Grobogan tersebut sebelum Nono datang. (Baca: Di Balik Berita Purwodadi)
Simposium mengenai peristiwa 1965 pun tak kalah menariknya. Menampilkan lebih dari sepuluh sejarawan ahli Indonesia, yang datang dari berbagai negeri. Mereka mengungkapkan apa yang selama ini tidak pernah diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Atau kalau pun tahu, menyimpan hal itu sebagai rahasia.
Pada 1 Oktober yang lalu berbagai media di Belanda menurunkan tulisan tentang peristiwa tersebut. Mulai Volkskrant sampai NRC Handelsblad bahkan NPO, salah satu stasiun televisi Belanda pun menyiarkan film Senyap karya Joshua Oppenheimer dan sebelumnya menyiarkan pula tentang peran Pater Beek di era awal berdirinya Orde Baru.
Beek dikenal sebagai pastor katolik anti-komunis berdarah Belanda yang banyak memberikan pelatihan kepada para mahasiswa dan pemuda Katolik untuk menghadapi kekuatan PKI. Beek pernah mengirim surat terbuka kepada Presiden Sukarno, menyatakan keberatan terhadap kebijakan Sukarno memberi PKI ruang terlalu luas dalam panggung politik nasional.
Pada musim dedaunan mulai meranggas ini, 50 tahun peristiwa 1965 diperingati secara utuh. Tak hanya mengenang sepuluh pahlawan revolusi yang tewas pada 1 Oktober 1965 (terdiri dari enam jenderal AD, dua perwira menengah di Yogyakarta, satu perwira pertama di Jakarta dan Ade Irma Suryani) tapi juga mengenang ratusan ribu nyawa lainnya yang tewas sepanjang tahun 1965-1966.
Karena sejarah adalah guru kehidupan maka kepadanyalah kita belajar tentang hari ini dan masa depan. Semoga peristiwa yang kelam itu tak pernah lagi terulang.
[pages]