Sebuah kapal kecil berlabuh di dermaga Victoria di Pelabuhan Melbourne, Australia. Satu per satu penumpangnya turun. Mereka berkulit cokelat. Sejumlah kaki-laki mengenakan sarung berwarna cerah. Sejumlah perempuan memakai kebaya. Mereka semua pengungsi dari Indonesia. Jumlahnya 67 orang.
“Mereka sebelumnya bekerja di Sumatra. Tapi karena perang meletus, mereka hendak dikirim kembali ke Jawa. Sebagian laki-laki bekerja sebagai buruh dan tukang bubut di pabrik senjata di Bandung,” catat Jan Lingard dalam Refugees and Rebels: Indonesian Exiles in Wartime Australia.
Tapi Jepang keburu mengambil alih Jawa pada April 1942. Rombongan itu tak bisa berlabuh dan memilih melanjutkan perjalanan ke selatan, ke Australia. Mereka sempat terkatung-katung di pelabuhan. Pemerintah setempat bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukan mereka.
Beruntung ada seorang pendeta bernama Rev John Freeman dari Gereja Methodist Melbourne. Dia menerima rombongan ini dengan hangat dan memberikan mereka tempat bernaung di sebuah balairung sekolah setempat. Mereka mendapat barang kebutuhan sehari-hari, alas tidur layak, dan pakaian baru.
Hubungan Akrab
Keluarga Freeman juga mengajari mereka kebudayaan dan adat istiadat setempat. Jika salah satu dari para pengungsi membutuhkan pertolongan medis, keluarga Freeman akan mengantar ke rumah sakit atau klinik terdekat.
Kebetulan saat itu ada seorang perempuan Jawa tengah hamil tua. Persalinannya berjalan lancar. Seorang bayi lelaki lahir dengan sehat. “Seorang bayi bernama Amaluddin diklaim sebagai bayi Jawa pertama yang lahir di Australia pada 1943,” tulis Jan Lingard.
Baca juga: Belanda Mengawasi Indonesia dari Australia
Di tempat baru itu, para pengungsi merasakan kehangatan hubungan karib antarsesama manusia meskipun mereka berbeda warna kulit dan kebangsaan. Padahal kedua bangsa belum lama saling mengenal. Margaret George dalam Australia dan Revolusi Indonesia mengatakan perhatian orang Australia terhadap Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II amat minim.
“Bahkan saat itu Australia masih menerapkan kebijakan White Australian Policy. Sebuah kebijakan rasialis untuk membendung orang-orang kulit berwarna dari negara lain memasuki negara mereka,” kata Harry Dharmawan, pengkaji sejarah Australia sekaligus kandidat doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, kepada historia.id.
Baca juga: Awal Keterlibatan Australia dalam Sengketa Indonesia-Belanda
Tapi di tingkat akar rumput, kebijakan itu kurang mendapat tempat. Buktinya, orang Australia menyambut para pengungsi itu dengan hangat. Sebermula orang-orang Australia rada bingung melihat kumpulan orang-orang berkulit cokelat di pelabuhan, tapi ujungnya mereka tetap saling kontak dan membangun hubungan akrab.
Di tingkat pemerintahan, Australia berhubungan baik dengan Belanda. Mereka tergabung dalam Blok Sekutu. Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Australia membuka negaranya sebagai tempat berlindung orang-orang Belanda yang lari dari kejaran Jepang di Hindia Belanda.
Kedatangan Kaum Digulis
Bagi orang Indonesia, Belanda adalah penjajah. Hubungan keduanya mewujud dalam pola-pola majikan-pembantu atau atasan-bawahan. Tapi di Australia, hubungan yang terjajah dan penjajah jadi berbeda. Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan turut membantu para pengungsi dari Indonesia. Mereka sama-sama tak suka pada Jepang. Mereka ingin Jepang segera angkat kaki dari Hindia Belanda.
Di Australia yang terjajah dan penjajah menggalang kekuatan untuk melawan Jepang. Ini terjadi ketika rombongan tahanan dari Digul mulai datang ke Cowra, Australia, pada 1943. Berbeda dari rombongan orang Indonesia pada 1942, rombongan ini sebagian besar adalah kaum pergerakan nasional dan penentang imperialisme.
Baca juga: Sikap Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia
“Pada bulan November 1943 datanglah wakil pemerintah Hindia Belanda, Van der Plass yang disertai oleh wakil pemerintah Australia ke Cowra. Mereka menawarkan pembebasan dengan syarat mau bekerja sama dengan Sekutu,” tulis Anhar Djamal dalam Di Bawah Bintang Salib Selatan: Gerakan dan Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Australia 1942–1947.
Sebagian besar mereka menerima tawaran ini. Atas pilihan sikap mereka, pemerintah Hindia Belanda di pengasingan membantu mencarikan pekerjaan untuk mereka di Australia. Beberapa bergabung ke militer Australia, sebagian lagi bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda di pengasingan.
Perubahan Politik
Kerja sama itu berhenti ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Agustus 1945. Belanda ingin menduduki Indonesia kembali. Sebaliknya, para Digulis menentang keras pendudukan itu.
Pemerintah Australia condong mendukung kemerdekaan Indonesia. Ini mengakibatkan hubungan Australia dengan Belanda merenggang. Sikap condong ini menjadi pembeda kebijakan luar negeri Australia sebelum Perang Dunia II. Saat itu, sebagai negara persemakmuran, Australia tak punya keberanian untuk bersikap sendiri di luar keputusan Inggris.
Jan Lingard menyebut perubahan kebijakan itu tak lepas dari pertautan erat antara Indonesia dan Australia sejak 1942. Hubungan dengan orang Indonesia selama tiga tahun membuat Australia merumuskan ulang wawasan dan cara pandangnya dalam melihat negara Asia, dirinya sendiri, dan masa depan negerinya.