Empat puluh dua menit sudah lewat dari permulaan 29 November 1942 ketika kapal AL Australia HMAS Armidale mulai meninggalkan pelabuhan Darwin, Australia Utara. Bersama HMAS Castlemaine, HMAS Armidale berlayar menuju Kepulauan Timor di kegelapan itu.
“Pada 24 November, Markas Besar Angkatan Darat Sekutu menyetujui evakuasi dan bantuan kepada Kompi Independen 2/2 Australia yang beroperasi sebagai kekuatan gerilya di Timor yang diduduki Jepang, dan menderita malaria dan disentri kronis. Operasi tersebut juga mencakup penarikan pengungsi sipil Portugis dan 176 tentara Hindia Belanda dari Teluk Betano di pantai selatan Timor. Kapal HMA Armidale, Castlemaine (juga korvet) dan Kuru ditugaskan untuk operasi pasokan dan evakuasi,” tulis Lindsey Shaw dalam “The Sinking of HMAS Armidale”, termuat di www.sea.museum.
Pelayaran itu berjalan aman di hari pertama. Namun sekitar pukul 09.15 pagi 30 November, kedua kapal korvet itu mendapat serangan udara dari sebuah pesawat tempur Jepang sekitar 120 mil dari Pulau Timor. Akhirnya diputuskan bahwa misi pendaratan harus dilakukan di Timor.
Namun, HMAS Armidale tak bisa diselamatkan lagi pada 1 Desember 1942. Pasukan di dalam kapal itu pun tercerai-berai.
Waktu itu, HMAS Armidale mengangkut tiga personel Angkatan Darat Australia, dua perwira militer Belanda, dan 61 tentara Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands-Indische Leger/KNIL). Mereka hendak didaratkan ke Betano, Timor. Mereka bagian dari misi awal Z Force.
Akibat serangan itu, setidaknya 65 personel militer Belanda dianggap hilang. Termasuk 61 serdadu KNIL tadi. Sebanyak 44 serdadu KNIL itu adalah orang-orang Jawa. Sisanya serdadu asal Ambon, Manado, dan juga Timor.
Ribuan serdadu KNIL dari Jawa tiba di Australia setelah Maret 1942. Saat itu Jawa sudah diduduki Jepang. Sebelum pendudukan Jepang itupun sudah banyak pegawai sipil Hindia Belanda dengan disertai serdadu KNIL yang mengungsi ke Australia, sekutu Belanda dalam Perang Dunia II.
Dari 44 serdadu Jawa itu, terdapat Sersan Soewondo, Sersan Soepardi, Kopral Soebardi, Kopral Asrah, Kopral Ranamedja, Spandrig (Prajurit Infanteri Kelas Satu) Wongsodinomo, dan Spandrig Mohamad Sajoeti. Misi akhir bersama HMAS Armidale itu bukan misi pertama bagi Mohamad Sajoeti, Wongsodinomo, dan Ranamedja. Ketiganya adalah bekas anak buah Letnan Dua KNIL Julius Tahija.
“Di antara yang gugur adalah anak buah saya yang selamat dari Saumlaki,” aku Julius Tahija dalam Melintas Cakrawala.
Misi ke Saumlaki adalah misi penyusupan terhadap daerah pendudukan Jepang. Ketika berangkat dari Australia ke Saumlaki, Tahija punya 13 anak buah dari berbagai suku bangsa. Di Saumlaki, anak buahnya bertambah lagi dengan masuknya 26 polisi di sana.
Pasukan itu sempat baku tembak dengan tentara Jepang tapi kalah segalanya hingga akhirnya memutuskan kembali ke Australia menggunakan kapal tradisional orang Bugis. Setibanya di Australia, mereka dianggap sebagai pahlawan perang oleh pihak Sekutu. Dari 13 anak buah Tahija, hanya enam orang saja yang berhasil kembali ke Australia. Tiga di antaranya yakni Moh. Sajoeti, Wongsodinomo, dan Ranamedja.
Ranamedja, menurut arsip pribadinya, adalah anggota KNIL kelahiran Banyumas tahun 1909. Sementara, Wongsodinomo dan Mohamad Sajoeti kelahiran Yogyakarta tahun 1907. Koran The Argus terbitan Melbourne edisi Rabu, 28 Oktober 1942 menyebut Ranamedja, Wongsodinomo, Mohamad Sajoeti, Powikromo, dan Pamjas adalah lima prajurit KNIL Jawa yang mendapatkan Bronzen Kruis (Salib Perak) dari Kerajaan Belanda. Begitupun para anggota misi yang gugur. Di antara yang hidup itu kemudian ditarik ke dalam misi berbahaya bernama Z Force.