PADA dasarnya secara formalitas, militer Australia yang “mangkal” di Kalimantan Selatan patuh pada keinginan Sekutu casu quo Inggris. Agendanya pasca-penyerahan: memulangkan pasukan Jepang, membebaskan para interniran, dan membantu Belanda kembali menguasai pemerintahan. Hanya saja, ada yang tak diduga: “pembangkangan” sejumlah serdadunya.
Pasukan Kerajaan Australia (AIF) diterjunkan dalam rangka Kampanye Borneo (1 Mei-30 Agustus 1945) yang dilancarkan South-West Pacific Area (SWPA) pimpinan Jenderal Douglas MacArthur. Pasukan AIF yang jadi pasukan pemukul darat di antaranya Divisi ke-7 dan Divisi ke-9 Angkatan Darat (AD) yang merupakan bagian dari Korps I AD Australia pimpinan Letjen Leslie Morshead.
Kedua divisi itu sebelumnya berisi para “veteran” front Afrika Utara dan Papua Nugini. Selepas terlibat dalam Operasi Oboe di Pertempuran Tarakan (1 Mei-21 Juni 1945) dan Pertempuran Labuan (10-21 Juni 1945), Divisi ke-9 berangsur-angsur dipulangkan pada Oktober 1945, menyisakan Divisi ke-7 yang bertahan di Kalimantan hingga Maluku.
“Pada akhir perang (Pasifik), ada hampir 50 ribu tentara Australia di bumi Indonesia. Setelah Jepang menyerah, pasukan Australia (Divisi ke-7) diberi tanggung jawab menduduki seluruh Indonesia Bagian Timur dan Kalimantan,” tulis Anthony Reid dalam Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Goresan Tinta Seniman Australia Merekam Revolusi Kemerdekaan
Sebagai penerapan persetujuan di antara pihak internal Sekutu, lanjut Reid, Australia diharapkan membantu mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda seperti sebelum Perang Pasifik (1941-1945). Sejumlah pejabat NICA mulai kembali dari Australia ke Indonesia.
“Para pejabat NICA mendampingi satu-satuan (Sekutu) ini. Di kebanyakan daerah, mereka diterima dengan baik oleh para penguasa setempat dan kalangan atas lainnya yang merasa lega bahwa kesengsaraan di bawah kekuasaan Jepang telah berakhir. Jadi kebanyakan tentara pendudukan Australia hampir tidak sadar akan adanya masalah kemerdekaan (Proklamasi 17 Agustus 1945) bagi Indonesia,” tambahnya.
Pasukan Divisi ke-7 Australia ditugaskan menjaga ketertiban dan keamanan di sejumlah daerah bagian selatan Kalimantan, utamanya kota-kota besar seperti Banjarmasin, Samarinda, dan Balikpapan. Balikpapan dan Banjarmasin jadi tanggung jawab Batalyon ke-31 pimpinan Letkol Ewan Murray Robson.
Oei Keat Gin dalam Post-War Borneo, 1945-1950: Nationalism, Empire, and State-Building menulis, Robson jugalah yang kemudian berwenang menerima penyerahan pasukan Jepang dari Mayjen Uno Michio di Banjarmasin. Meski begitu, militer Australia juga tak terhindarkan dari tugasnya mengatasi pergolakan penduduk lokal yang menentang kembalinya NICA dengan bermodalkan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan di Jakarta.
“Sebuah pernyataan sampai dikeluarkan dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia tertanggal 1 Oktober dari Panglima Tertinggi Pasukan Australia, Jenderal Sir Thomas Blamey, kepada para penduduk di bagian Timur Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan. Pernyataannya berbunyi: ‘Angkatan-angkatan di bawah perintah General Sir Thomas Blamey telah tiba di negeri tuan dan menerima penyerahan tentara Jepang atas nama Sekutu. Mereka akan melindungi penduduk dan menjaga keamanan sampai waktu kembalinya pemerintah Hindia Belanda yang sah’,” ungkap Oei.
Baca juga: Misi Diplomat Australia Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Muaknya Serdadu Australia pada Belanda
Pernyataan Jenderal Blamey jelas jadi patokan perintah utama. Meski begitu, sejumlah serdadunya bersimpati pada kemerdekaan Indonesia dan perjuangan kaum republikan di Kalimantan Selatan yang menolak kembalinya NICA serta Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).
Dalam In the Ruins of Empire: The Japanese Surrender and the Battle for Postwar Asia, Roland Spector menyatakan, NICA dan KNIL memandang penting menguasai kembali Banjarmasin dan utamanya Balikpapan karena banyaknya interniran Belanda dan ladang-ladang minyaknya.
Simpati tentara Australia itu muncul di sejumlah serdadu Australia yang berasal dari kalangan simpatisan Partai Buruh dan Partai Komunis Australia. Kemunculannya seiring dimulainya aksi mogok serikat buruh pelabuhan di Australia dan boikot terhadap kapal-kapal Belanda.
“Sepertinya setiap prajurit Australia yang bertugas di Indonesia punya cerita-cerita anti-Belanda untuk disampaikan. Kami di Divisi ke-7 menyadari sentimen anti-Belanda dari orang-orang Indonesia yang tidak ingin diperintah ini-itu,” tulis seorang prajurit dalam surat pribadinya, dikutip Spector.
Baca juga: Sikap Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia
Para “Diggers” (sebutan pasukan Australia di Kalimantan) mengaku muak terhadap keangkuhan dan kekejaman pejabat dan perwira NICA. Sementara, mereka memandang orang-orang Indonesia sebagai kalangan yang tertindas dua kali: oleh Jepang dan oleh Belanda.
“Simpati kami terarah pada orang-orang Indonesia. Dalam pandangan kami, kalau sekarang orang-orang yang telah mengalami kebiadaban pendudukan Jepang maupun kekerasan dan kekejaman serbuan kita (Sekutu di Balikpapan) itu tidak mempunyai hak merdeka, ini berarti kita membenarkan suatu kejahatan,” tulis prajurit Australia Ron Hogan dalam suratnya, dikutip Reid.
Bahkan, menurut Rupert Lockwood dalam Black Armada & the Struggle for Indonesia Independence, 1942-1949, sebanyak 80 prajurit Australia di Balikpapan menandatangani sebuah petisi yang ditujukan kepada Perdana Menteri (PM) Ben Chifley dan serikat buruh pelabuhan, Waterside Workers Union. Dalam petisi itu, ke-80 prajurit tersebut memprotes kebijakan militer Australia sendiri yang membekingi kepentingan-kepentingan NICA.
Petisi kepada PM Chifley itu, sebagaimana dikutip Lockwood, berisi pernyataan: “Sebagai prajurit Australia yang berpartisipasi dalam membebaskan area selatan Kalimantan dari militer Jepang, kami menyambut proklamasi Republik Indonesia yang diumumkan dari Jawa. Kami percaya bahwa orang Indonesialah yang harusnya mengatur pemerintahan sipil untuk terlibat dalam kerjasama dengan Sekutu terkait pelucutan militer Jepang sampai adanya pemilu yang demokratis guna membentuk parlemen nasional Indonesia.”
Sedangkan petisi serupa yang dikirimkan untuk serikat buruh Waterside Workers Union berbunyi: “Bagian terbesar dari anggota tentara kita memiliki simpati yang besar sekali terhadap rakyat di sini, yang hidupnya terus-menerus sengsara di bawah kaum imperialis (NICA). Mengutip ungkapan yang paling sering dipakai oleh anggota-anggota tentara kita, ‘Orang-orang Belanda itu adalah sekumpulan bangsat.”
Baca juga: Joris Ivens dan Dukungan Buruh Australia untuk Indonesia
Di Banjarmasin, otoritas NICA dibuat gusar oleh simpati pasukan Australia yang seolah-olah “mengakomodir” gerakan kemerdekaan. Pada 10 Oktober 1945, pasukan Australia yang berniat menghadang gerakan massa pemuda Banjarmasin untuk berdemo dan menyerbu kantor NICA, memilih mengalihkan arus massa menjadi pawai keliling kota.
Di antara para “Diggers” itu juga ada yang membantu penyelundupan pamflet-pamflet berbahasa Inggris dan Indonesia dari Melbourne ke Banjarmasin.
“Salah satu aktivitas penting dari para anggota (simpatisan) Partai Komunis Australia dan Partai Buruh di tubuh AD Australia adalah turut mendistribuksikan pamflet-pamflet yang disuplai para pemuda nasionalis Indonesia di Australia. Para anggota Divisi ke-7 itu ikut menggiring penduduk lokal menentang Belanda. Setelah tiba di Banjarmasin, selebaran-selebaran itu juga disebarkan ke Tarakan, Samarinda, Balikpapan, dan beberapa kota lain di Kalimantan,” sambung Spector.
Dari catatan yang ada, diketahui pula segelintir pasukan Australia ikut membantu kaum republikan saat baku tembak dengan Belanda, medio November 1945. Harian Merdeka edisi 24 November 1945 memberitakan, “pertempuran hebat dimulai ketika bendera Belanda diturunkan oleh penduduk Indonesia. Dalam pertempuran tersebut, serdadu-serdadu Australia ikut membantu pasukan-pasukan kita. Lebih lanjutnya, bahwa Belanda mengajukan protes keras dan minta supaya tentara Australia yang ada di Borneo diganti oleh tentara Belanda.”
Terhadap protes-protes Belanda, Canberra bergeming. PM Chifley tetap pada keputusan awalnya bahwa pasukan Australia akan tetap berada di Kalimantan dan bagian Timur Indonesia hingga awal 1946.
Berangsur-angsur pasukan Australia mulai meninggalkan Banjarmasin pada 24 Oktober 1945 menuju titik pemberangkatan di Balikpapan. Pasukan Australia itu lalu digantikan Kompi ke-10 KNIL dalam menjaga keamanan. Pasukan lainnya di berbagai kota di Kalimantan dan bagian Timur Indonesia menyusul kurun November 1945-Februari 1946.
“Pada Februari 1946, segenap pasukan Australia resmi meninggalkan Hindia (Indonesia). Dukungan dan kerjasama AD (Australia) dinilai memuaskan bagi Belanda, terlepas di antara serdadu Australia menumbuhkan sentimen anti-Belanda dan mereka mendukung perjuangan Indonesia. Walaupun bagi orang-orang Indonesia keadaannya tidaklah happy ending,” tandas Spector.
Baca juga: Peran Australia dalam Perundingan Renville