Suatu hari pada abad ke-17. Sebuah kapal asing tiba-tiba muncul di wilayah perairan Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bentuknya tampak asing bagi penduduk di sana. Begitu kapal merapat, para pedagang mengenalinya sebagai kapal milik maskapai dagang Belanda (VOC). Sejarah mencatat, peristiwa itu menjadi awal masuknya VOC dalam masalah-malasaj yang terjadi di Kesultanan Banjar.
Mulanya kapal pimpinan Gillis Michiel itu diterima dengan baik oleh penguasa Banjar, Sultan Suriansyah. Mereka diberi izin merapatkan kapal ke dermaga dan berinteraksi dengan penduduk Banjar. Namun lama-kelamaan orang-orang Belanda ini malah berbuat onar. Sultan pun tidak tinggal diam. Dia lalu memerintahkan pasukannya menumpas habis para pendatang tersebut.
Gagal dengan percobaan pertama, Belanda kembali mengirim pasukannya ke Banjarmasin. Mereka bersikeras mengadakan hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar yang terkenal akan pala dan lada berkualitas baik. Dua kali mencoba, dua kali pula pemerintah Kolonial mengalami kegagalan. Sultan belum merasa perlu menjalin hubungan dengan Belanda. Perdagangan dengan saudagar Timur Tengah masih menguntungkan bagi negerinya.
Baca juga: Hikayat Demang Lehman dari Kesultanan Banjar
Pada 1612, pertempuran besar meletus di Banjarmasin. Pasukan dari Kerajaan Mataram melakukan serangan mendadak ke wilayah kekuasaan Sultan Suriansyah. Penyebabnya, sang sultan melanggar janji pembayaran upeti kepada penguasa di sana. Menurut Idwar Saleh, dkk dalam Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, huru-hara tersebut langsung dimanfaatkan Belanda untuk melakukan pembalasan atas pembantaian sebelumnya. Akibatnya kota dapat diduduki tentara Belanda. Sultan pun terpaksa mengungsi ke Kayu Tangi Martapura dan mendirikan pemerintahan di tempat itu.
“Di pertengahan abad ke-17, akibat perebutan kekuasaan, ibukota terpisah menjadi dua, yang Banjarmasin di bawah Sultan Agung, dan di Martapura di bawah Panembahan Ratu,” ungkap Saleh, dkk.
Setelah Sultan Suriansyah wafat, putranya Sultan Rachmatullah menduduki takhta. Dia berhasil membawa kemajuan bagi Kesultanan Banjar. Jalur perdagangan sudah semakin terbuka, siapa pun bisa membeli rempah dari negerinya. Hubungan dengan Belanda juga mulai membaik. Tetapi pada 1630, kerusuhan lagi-lagi terjadi di Banjarmasin. Kali ini dilakukan oleh rakyat Banjar sendiri. Mereka merasa tidak puas dengan keberadaan orang-orang Belanda di kota tersebut yang kerap menyulitkan penduduk.
Tiga tahun berselang, kota dapat dibangun kembali. Kondisinya jauh lebih tentram setelah banyak bangsa Belanda yang pergi ke Batavia. Sebagaimana diceritakan dalam Republik Indonesia: Kalimantan, terbitan Kementerian Penerangan, Pelabuhan Banjarmasin pun semakin ramai didatangi. Kapal-kapal bangsa asing penuh sesak merapat di sana. Pedagang Inggris dan Portugis mulai secara terang-terangan melakukan kegiatan dagang. Sementara kehadiran para pedagang Belanda hampir tidak ada.
Baca juga: Kontes Kuasa Alam Kalimantan
“Rupanya telah menjadi tabiat atau memang sudah menjadi adat kebiasaan bangsa Belanda yang selalu iri hati dalam persaiangan dagang yang banyak menderita kekalahan, tiba-tiba Kompeni Belanda mengirim enam buah kapal perang ke Banjarmasin untuk memusnahkan semua kapal dagang asing yang berada di Pelabuhan Banjarmasin,” tulis buku tersebut.
Setelah menciptakan kegemparan, Belanda mengadakan perjanjian dagang dengan Sultan Rachmatullah, dengan ketentuan bahwa penjualan rempah-rempah hanya boleh dilakukan melalui VOC. Jika melanggar, hukuman berat menanti. Setelah perjanjian ditandatangani, pada 1636, VOC mendirikan kantor dagang di Banjarmasin. Praktis semua rakyat harus menjual hasil buminya kepada mereka. Harga juga sudah ditentukan. Nilainya amat memberatkan. Kembalinya para penjajah itu membuat kemalangan bagi rakyat Banjar.
Kondisi semacam itu tidak didiamkan saja oleh rakyat Banjar. Kemarahan mereka sudah memuncak. Pada 1638, pemberontakan meletus di pusat Banjarmasin. Seluruh harta benda milik orang-orang Belanda dibakar, termasuk kapal yang bersandar di Kotawaringin. Para pegawai dan serdadu dihabisi. Total ada 64 orang Belanda yang tewas.
Baca juga: Kerajaan Kuno di Barat Kalimantan
VOC yang murka segera menghimpun kekuatan. Tetapi saat hendak melancarkan serangan ke dalam kota, mereka seketika mengubah taktiknya.VOC hanya menyiagakan kapal-kapal mereka di lautan. Tujuannya adalah menyergap dan merampas perahu-perahu Banjar yang membawa muatan dagangan.
Akibat memanasnya hubungan kedua kubu, perjanjian dagang pun dibatalkan. Inggris yang mengetahui hal itu segera mendekatkan diri. Di bawah pimpinan Sultan Mustainullah, Kesultanan Banjar sepakat menjalin kerja sama dengan Inggris. Tidak lama, Belanda kembali ke Banjarmasin. Diberikannya kesepakat baru, yang salah satu isinya tidak akan melakukan pembalasan atau tuntutan atas peristiwa pemberontakan yang lalu. Belanda juga akan memberikan harga pembelian yang lebih pantas. Sultan setuju dan hubungan dengan Belanda terjalin lagi.
Inggris yang juga menjalin hubungan dagang dengan Banjar mendirikan sebuah benteng dan kantor dagang di sepanjang sungai di Martapura. Inggris berusaha memantau pergerakan kapal yang masuk ke Martapura. Di bawah kuasa Sultan Saidillah, Inggris mendapat keleluasaan memonopoli perdagangan lada.
Baca juga: Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
Namun ketika Sultan Saidillah digantikan Sultan Tahlilullah, huru-hara terhadap Inggris mulai terjadi. Menurut Vera Damayanti dalam “Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Kota Banjarmasin di Masa Kesultanan” dimuat Jurnal Arsitektur Lanskap Vol. 5, Oktober 2019, kantor dagang dan benteng Inggris itu dibinasakan sultan dan rakyat Martapura pada 1707.
“Melihat keadaan yang demikian itu, kompeni Belanda sangat bergembira dan dengan demikian Belanda tidak usah mendirikan kantor dagangnya lagi di Banjarmasin untuk mengganti kepunyaan bangsa Inggris sebab mereka yakin bahwa sesudah rusaknya urusan dagang bangsa Inggris, tentu Sultan akan mengirimkan dagangannya ke Batavia, jadi cukuplah menunggu di Batavia saja,” jelas Kementerian Penerangan.
Benar saja, sultan segera memutus kontrak dagang dengan Inggris dan menjadikan Belanda satu-satunya mitra dagang mereka. Belanda secara leluasa memonopoli perdagangan rempah di Banjarmasin. Keadaan itu bertahan hingga memasuki abad ke-19. Berakhir ketika Perang Banjar pecah pada 1859.