Rajanya bernama Maha Mosa. Ia sombong dan tak tahu sopan santun. Suatu hari ketika seorang utusan Tiongkok datang, dia ditegur. Raja pun turun dari singgasana, membungkuk, dan menerima perintah kekaisaran.
Ia disuruh kaisar mengirim upeti. Namun, ia beralasan baru saja dijarah Kerajaan Sulu sehingga mereka sedang lemah dan miskin. Tak mampu mereka memberi persembahan kepada kaisar di Tiongkok.
Apalagi ketika itu kerajaannya adalah bagian dari Jawa. Penduduk Jawa mencegahnya mengirim upeti. Maha Mosa pun bimbang.
“Sejak lama Jawa sudah mengakui dirinya sebagai bawahan dan membawa upeti. Mengapa engkau takut pada Jawa tetapi tidak pada Takhta Langit?” seru utusan itu akhirnya kepada sang raja.
Maka, Maha Mosa pun menunjuk utusan untuk membawa sepucuk surat dan upeti. Isinya, mahkota bangau, penyu hidup, merak, kapur barus berbentuk butiran kecil, kamper bubuk, kain dari barat, dan berbagai barang lainnya.
Maha Mosa bertakhta di Kerajaan Bu-ni yang tercatat dalam sumber Tiongkok sejak masa Dinasti Song (960-1279). Menurut W. P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, letaknya di pantai barat Kalimantan.
Sedangkan Sejarah Dinasti Song mendeskripsikan kerajaan itu terletak di laut barat daya. Jarak berlayarnya dari Jawa 45 hari, dari San-bo-zhai (Palembang) 40 hari, dan dari Campa 30 hari. Itu pun kalau anginnya mendukung.
Raja Pertama
Pada masa Dinasti Song, Maha Mosa belum lahir. Raja pertama Bu-Ni atau Pu-Ni yang dicatat bernama Hiang-ta. Pada 977, sang raja mengutus tiga orang untuk membawa upeti kepada kaisar. Isinya satu kati kamper dalam potongan besar, delapan kati kamper kelas dua, sebelas kati kamper kelas tiga, 20 kati kamper butiran kecil, dan 20 kati kamper kualitas terendah. Satu kati kira-kira sama beratnya dengan 0,8 kg sekarang.
Mereka juga membawa lima batang kayu kamper, 100 tempurung penyu, tiga nampan kayu cendana, dan enam gading gajah.
“Semoga kaisar hidup 10.000 tahun dan Sri Baginda tak menolak keramahan sederhana negara kami yang kecil ini,” kata utusan itu ketika mempersembahkan upeti kepada kaisar.
Baca juga: Tanjungpura, Negeri Berlian di Barat Kalimantan
Itulah adalah kali pertama mereka datang ke Tiongkok. Dulunya belum ada utusan dari Pu-Ni yang dikirim ke sana. “Karenanya tidak pernah disebutkan dalam sejarah,” tulis catatan itu.
Sejarah Dinasti Song merekam Pu-Ni sebagai sebuah kota yang dikelilingi dinding dari papan. Penduduknya sudah lebih dari 10.000 jiwa. Rajanya menguasai 14 tempat lainnya. Ia tinggal di bangunan beratap daun palem. Sementara rumah penduduknya beratap rumput.
Raja dibantu para menteri. Singgasananya berupa dipan yang dibuat dari anyaman tali. Jika bepergian, raja diangkut oleh beberapa orang dengan selembar kain lebar mirip hammock zaman sekarang.
Seabad kemudian, Pu-Ni kembali terekam mengirim upeti ke istana kaisar. Utusan itu disuruh oleh raja yang namanya ditulis Sri Ma-ja atau mungkin maksudnya Sri Maharaja.
Setelah itu, catatan mengenai Pu-Ni tak lagi muncul. Baru ada lagi dalam rekaman Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Maha Mosa yang memulai kembali hubungan itu.
Baca juga: Kerajaan Misterius di Pulau Sumatra
Tiga puluh lima tahun setelah utusan Maha Mosa dikirim, raja di Pu-Ni sudah ganti. Tersebut Raja Maraja Ka-la memberangkatkan utusannya. Kala itu kelihatannya hubungan Pu-Ni dan Tiongkok sangat baik. Maraja Ka-la sampai datang ke istana kaisar. Ia membawa serta permaisurinya, adik laki-laki, dan adik perempuannya, putra, dan putrinya, juga sejumlah pejabat. Rupanya, sang raja merasa setelah diberi pengukuhan dan gelar dari kaisar kehidupan di kerajaannya kian berjaya.
“Orang-orang tua di negara hamba semuanya mengatakan ini disebabkan oleh perlindungan Kaisar yang suci,” kata sang raja di hadapan kaisar.
Setelah raja wafat, putranya, Xia-wang namanya kalau dalam lafal Tiongkok, naik takhta. Raja yang baru ini sempat minta bantuan kepada kaisar. Mereka ingin bebas dari kewajiban membayar upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada Jawa. Upeti itu untuk selanjutnya akan dikirim ke istana kaisar. Sepertinya permohonan itu dikabulkan. Kaisar memerintahkan Jawa agar tak lagi meminta upeti kepada Pu-Ni.
Letak Kerajaan
Hingga tahun 1425 utusan negara ini terus datang ke Tiongkok. Seabad kemudian semakin jarang.
“Kedatangan orang Frank (Portugis, red.) pada Tarikh Zhengde (1506-1521) dan pengaruh buruk yang mereka sebarkan melalui kekerasan membuat pengiriman upeti berhenti,” catat Sejarah Dinasti Ming.
Ditambah lagi kemudian raja Pu-Ni mangkat tanpa penerus. Keluarganya pun berperang hebat. Mereka berebut singgasana. Semua yang bertikai lalu terbunuh. Tinggalah sang putri raja yang kemudian diangkat jadi ratu.
Sejak itu, tak ada lagi utusan ke Tiongkok. Kendati begitu, hubungan dagang kedua negara terus berlanjut.
Baca juga: Jawa Mencengkeram Kalimantan
Meski menyamakan Pu-Ni dengan wilayah di barat Kalimantan, Groeneveldt mengakui kalau posisi pasti Pu-Ni tak begitu jelas. “Deskripsi negara ini tidak jelas dan tak bisa digunakan untuk menentukan lokasi sebenarnya,” katanya.
Sementara itu, Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama, lebih menghubungkan daerah ini dengan Brunei. “Pu-ni biasa disamakan dengan Brunei, di bagian barat Kalimantan,” tulisnya.
Sebagaimana yang disebutkan Nagarakrtagama, Brunai atau Barune masuk ke dalam Pulau Tanjungpura yang telah terpengaruh Majapahit. Selain yang dicatat Prapanca, Tanjungpura berulangkali juga disebut dalam sumber-sumber tertulis Jawa lainnya.
Dalam Masa Akhir Majapahit, arkeolog Hasan Djafar menyebut letak Tanjungpura sebenarnya belum bisa dipastikan. “Namun demikian, oleh para sarjana dihubungkan dengan daerah di Kalimantan,” kata dia.