Sebagai orang buangan politik yang paling dicari-cari oleh pemerintah kolonial dan imperialis di Asia, Tan Malaka selalu mengganti-ganti identitas demi keselamatannya. Pengalaman ditangkap dan ditahan di beberapa negeri, mulai Hongkong sampai Filipina, membuatnya harus semakin mahir menyembunyikan diri di balik identitas palsu. Bak film spionase, bukan hanya nama yang diganti, tapi juga penampilan dan bahasa.
Salah satu periode penting dalam hidup Tan Malaka, di mana dia tampil sepenuhnya sebagai orang Tionghoa terjadi ketika dia menetap di Singapura mulai 1937 sampai 1942. Sebelum tinggal di Singapura, yang saat itu masih di bawah wilayah Malaya kekuasaan Inggris, Tan sempat singgah beberapa bulan saja di Rangoon, Burma. Karena kesulitan mendapat pekerjaan, dia memutuskan untuk hijrah ke Singapura di pengujung 1937.
Penyamarannya sebagai seorang Tionghoa sudah dimulai sejak kali pertama tiba di Pelabuhan Penang di bawah nama Tan Ming Siong. Petugas pelabuhan, menurut Tan, menaruh curiga padanya dan berlama-lama memeriksanya dalam bahasa Mandarin. Sesekali petugas tersebut menjebak Tan untuk menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris atau Melayu, namun Tan mengendus aroma jebakan dalam pemeriksaan itu. Sekali terpleset, petugas bisa langsung mengetahui identitas asli Tan Malaka.
Baca juga: Tan Malaka di Hong Kong
Menurut Tan, kepiawaian bahasa Mandarin petugas tersebut tak lebih baik darinya. Itu sebabnya Tan bersikukuh mengaku sebagai orang Tionghoa, “oleh karena dia belum pernah pergi ke negara “leluhurnya” maka dalam hal ke-Tionghoa-an saya tak perlu mengangkat bendera putih di depannya ... apabila dia mau membelok kepada bahasa Melayu atau Inggris entah apa sebabnya –maka saya tetap ber si Tionghoa dan menarik dia kembali kepada ke-Tionghoa-an,” ujar Tan Malaka dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara jilid II.
Setelah sekian lama diperiksa, akhirnya Tan berhasil mengelabui petugas dan mempercepat jalannya pemeriksaan dengan menyogok mereka. “Ciak teh” begitu istilah sogokan yang berlaku saat itu. Cara itu lazim berlaku di wilayah jajahan Inggris yang sebetulnya memberlakukan aturan ketat bagi imigran Tiongkok “Dengan menjalarnya penyakit ciak-teh di pelabuhan seperti Singapura dan Penang, maka immigration law Inggris adalah sandiwara semata-mata,” ujar Tan.
Lolos dari imigrasi pelabuhan, Tan Malaka alias Tan Ming Siong menuju ke kawasan kampung Geylang di Singapura, tempat di mana dia pernah tinggal sepuluh tahun sebelumnya. Namun kata Tan Malaka, kampung yang sebelumnya banyak ditempati pendatang dari Jawa itu kini lebih banyak dihuni warga Tionghoa.
Baca juga: Kala Tan Malaka Kemalingan di China
Di Singapura, Tan Malaka sempat luntang-lantung mencari pekerjaan yang tak pernah dia dapatkan sampai kemudian secara tak sengaja bertemu Buna, seorang pemuda hokian, sohib lamanya. Dari Buna Tan dihubungkan kepada kawan Tionghoa lainnya yang berjasa memberikannya pekerjaan sebagai guru di sekolah rendah Tionghoa. Kendati tak punya ijazah, berkat kemahiran Tan Malaka menguasai bahasa serta beberapa mata pelajaran sekolah, dia diterima bekerja.
Menurutnya, ijazah sekolah asal Hindia Belanda “sama sekali tak boleh disimpan apalagi dipertontonkan”. Karena orang Indonesia dari Jawa atau Sumatera yang pandai, mahir berbahasa asing, dapat menimbulkan kecurigaan orang-orang. “Mungkin sekali dia komunis pelarian, demikianlah pikiran orang Melayu sesudah tahun 1927,” kata Tan merujuk tahun di saat terjadinya pemberontakan PKI di Banten dan di Sumatera Barat.
Untuk menjaga kemungkinan dikuntit intelijen Belanda dan Inggris, sebisa mungkin dia tak tampil sebagai orang Indonesia yang bisa beresiko bagi keselamatannya. “Intelligence Service Inggris yang kerjasama dengan PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Pengawasan Politik, red.) Belanda sama tajam penciumannya dengan hardershond tulen (anjing pemburu),” kata Tan Malaka.
Baca juga: Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi
Dalam pengantar buku Materialisme, Dialektika, Logika (Madilog) dia menulis, “Di Singapura dalam masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa (sudah tentu diluar pengetahuan Inggris yang asyik mencium jejak saya), saya beruntung bisa memanjat dari sekolah rendah sampai kepada Sekolah Menengah Tinggi yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu Nanyang Chinese Normal School (NCNS). Di sini saya melamar jadi guru bahasa Inggris dengan memakai nama Tan Ho Seng.”
Sebagai guru sekolah rendah Tionghoa yang bertugas mengajari bahasa Inggris untuk anak-anak Tiongkok totok dia mendapat bayaran 8 dolar per bulan. Seperti diakuinya, gaji sedemikian kecil tak bisa mencukupi kehidupannya selama sebulan. Tapi yang terpenting baginya adalah rasa aman bekerja sebagai guru Tionghoa.
“Siang hari saya dapat menjalankan tabir asap. Anjing pemburu (baca: intelijen Inggris, red.) tak “lekas” tercium oleh hidungnya kedalam kamar sekolah anak-anak. Di jalanan pun tak bisa berjalan bersama-sama dengan para guru Tionghoa, sehingga tak pula “lekas” tercium oleh hidungnya anjing pemburu yang ingin mendapatkan mangsa buat tuannya,” kata Tan dalam otobiografinya.
Baca juga: Harry Poeze 40 Tahun Mencari Tan Malaka
Sejarawan Harry Poeze memperkuat kisah tersebut. Menurutnya aktivitas penyamaran Tan Malaka dilakukan untuk menghindari kejaran intelijen Inggris. “Selama di Singapura dia sepenuhnya hidup sebagai seorang Tionghoa, berbicara dan bergaul dengan orang Tionghoa,” kata dia kepada Historia beberapa waktu lalu.
Hanya di waktu-waktu tertentu Tan mencari kontak orang Indonesia. “Pada saat-saat senggang dan di tempat-tempat yang aman ia mencari hubungan dengan orang-orang Indonesia,” tulis Harry dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid 3.
Masa penyamarannya sebagai orang Tionghoa berakhir ketika Jepang menyerbu Singapura. Aktivitas mengajarnya berhenti dan situasi semakin tak menentu. Saat itu pula dia memutuskan untuk menyeberang ke Sumatera, pulang kembali ke negerinya sendiri yang selama 20 tahun ditinggalkannya. Pada April 1942, setelah hampir lima tahun tinggal di wilayah koloni Inggris itu, Tan bertolak ke Penang selanjutnya menyeberangi Selat Malaka menuju Belawan, Medan.