UJARAN yang membahayakan nyawa Presiden Joko Widodo lagi-lagi dilontarkan. Dalam aksi unjuk rasa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), seorang pria yang diketahui berinisial HS mengatakan akan memenggal kepala Presiden Jokowi. Kata penggal lebih dari sekali diucapkan pemuda yang mengaku berasal dari Poso, Sulawesi Tengah ini.
“Dari Poso nih, siap penggal kepalanya Jokowi. Jokowi siap lehernya kita potong, Demi Allah,” kata HS dalam video yang viral di media sosial.
Kepolisian segera bertindak. HS pun kena ciduk. Akibat ucapannya, HS terjerat pasal makar. Kini, anak muda itu telah ditahan dan terancam hukuman mati.
Sejak negeri ini berdiri, ancaman senantiasa menyasar presiden dari masa ke masa. Ancaman itu bisa berbentuk ujaran, aksi teror, hingga upaya pembunuhan. Presiden RI pertama, Sukarno, setidaknya tercatat mengalami tujuh kali percobaan pembunuhan.
Baca juga: Tujuh Upaya Membunuh Presiden Sukarno
Dari tujuh percobaan pembunuhan terhadap dirinya, yang paling diingat Sukarno adalah Peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Saat itu, iring-iringan mobil rombongan Presiden Sukarno dilempari granat usai menghadiri acara malam amal di Perguruan Cikini. Sebanyak 10 orang tewas, termasuk anak-anak dan ibu hamil, dan 48 lainnya mengalami luka-luka. Beruntung, Presiden Sukarno selamat dari tragedi berdarah itu.
“Kartosuwiryo adalah orang yang meludahkan api di tahun ’50 dengan ucapannya, ‘Bunuh Sukarno’,” ujar Sukarno menyebut dalang Peristiwa Cikini dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Pelaku pelemparan granat merupakan anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Mereka terkait erat dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Di masa muda, Sukarno dan Kartosuwiryo adalah kawan sepondokan yang tinggal di rumah Haji Tjokroamoniro, tokoh Sarekat Islam. Di kemudian hari, keduanya bersilang jalan.
Sukarno yang berpaham nasionalis menjadi presiden Indonesia. Sementara Kartosuwiryo memilih jalan radikal untuk mewujudkan negara Islam yang didambanya. Darul Islam yang dibentuk Kartosuwiryo selama bertahun-tahun merongrong pemerintahan Sukarno dengan menebar teror dan perlawanan bersenjata. Pemberontakan Kartosuwiryo berakhir setelah pengadilan memutuskan vonis mati.
“Di tahun 1963 Kartosuwiryo mengakhiri hidupnya di hadapan regu tembak. Ini bukan tindakan untuk memberikan kepuasan hati. Ia adalah tindakan untuk menegakkan keadilan,” kata Sukarno
Baca juga: Empat Sekawan dalam Penggranatan
Berlanjut ke era Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, rasanya tiada yang berani mengancam Soeharto secara terang-terangan. Meski tangguh menghabisi lawan-lawannya, pernah pula Soeharto menghadapi ancaman serius. Seperti halnya Sukarno, Soeharto pun menindaknya dengan dengan tegas walau pendekatannya agak berbeda.
Bermula dari rencana kunjungan Presiden Soeharto ke Belanda pada awal September 1970. Rencana kedatangan Soeharto ditentang oleh kelompok separatis Maluku (RMS) yang berdiam di Belanda. Penolakan itu berkaitan dengan ditembak matinya pemimpin RMS Dr. Soumokil di Indonesia pada 1966. Soeharto terkena buntutnya. Padahal, esksekusi Soumokil terjadi pasa masa pemerintahan Sukarno.
Satu hari sebelum jadwal kedatangan Soeharto, 1 September 1970, RMS memulai ancamannya dengan aksi berdarah. Seorang polisi Belanda yang ditugaskan menjaga keamanan KBRI, ditembak mati oleh 32 pemuda anggota RMS yang menyerbu. Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Taswin Natadingrat sempat melarikan diri melalui lubang pada tembok belakang. Namun 30 orang lainnya disandera, termasuk istri sang duta besar.
Pemerintah Belanda berniat membatalkan kunjungan Soeharto. Kabar ini diterima oleh Soeharto dari salah satu menterinya, Mashuri Saleh, pada saat rombongan kepresiden di Bandara Halim Perdanakusuma bersiap untuk berangkat. Apa lacur, Soeharto bersikukuh untuk tetap datang ke Belanda.
Baca juga: Soeharto Datang, Genjer-Genjer Berkumandang
Sebagaimana dikisahkan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998, Soeharto berkata kepada Mashuri, “Saya tidak paham, Belanda tidak tegas. Kenapa tidak ditembak saja dan sesudah mereka kehabisan amunisi, baru lakukan penyerbuan.”
"Benar, tapi Pak Presiden, istri duta besar ada diantara para sandera,” jawab Mashuri .
“Bukannya untuk itulah makam pahlawan dibuat?,” timpal Soeharto.
Menurut Jusuf Wanandi, bagi Soeharto, semua orang dapat dikorbankan. Setelah melalui perundingan alot antara beberapa pejabat terkait dengan Presiden RMS J.A. Manusama, penyanderaan di KBRI akhirnya dapat diatasi. Semua sandera dibebaskan dan para pengacau RMS menyerahkan diri.
Baca juga: Dulu Soeharto, Sekarang Yudhoyono
Pada 3 September 1970, Soeharto akhirnya mendarat di Bandara Schiphol, Belanda. Sebanyak 5000 pasukan dikerahkan untuk menjaga keamanan. Dengan senjata dan tongkat pemukul, mereka siap menyergap siapa saja yang mencurigakan. Sudah ada beberapa yang langsung diringkus dan dimasukkan ke mobil patroli berterali.
“Tibalah saat kunjungan Soeharto. Seluruh Belanda dikepung! Begitu berita di koran-koran. Bagaimana tidak, belum pernah Belanda terkesan begitu mencekam demi menyambut kedatangan seorang presiden,” tulis Walentina Waluyanti dalam “Presiden Soeharto Berkunjung, Kerajaan Belanda Siagakan 5000 Pasukan Pengamanan” termuat di laman soeharto.co.
Dari bandara Schiphol, rombongan kepresidenan diterbangkan ke bandara militer Ypenburg, di dekat kota Den Haag. Setelah sempat dipusingkan dengan ancaman penyanderaan di kedutaan, Soeharto dapat melenggang bersua dengan Ratu Juliana. Ini adalah kunjungan perdana Soeharto ke negeri Belanda, sekaligus menjadi presiden Indonesia pertama yang datang ke negeri bekas penjajahnya .