SENIN pagi, 1 April 1968. Pesawat Garuda mendarat di Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Tamu penting dari Indonesia datang berkunjung: Presiden Soeharto dan istrinya Ibu Tien Soeharto. Bunga melati putih disebarkan di hamparan karpet merah. Ini adalah lawatan pertama Soeharto ke luar negeri setelah resmi menjabat presiden. Pangeran Norodom Sihanouk, pemimpin Kamboja berdebar-debar menanti rombongan presiden Indonesia yang baru saja dilantik itu.
Kamboja adalah negara kedua setelah Jepang yang didatangi Soeharto. Di Phnom Penh, rakyat menyambut dengan gagap gempita. Meriam ditembakkan sebanyak 21 kali. Ribuan orang dikerahkan berkumpul di stadion membentuk konfigurasi raksasa: “Hidup Presiden Soeharto”.
“Pak Harto tampak berkenan dengan sambutan meriah ini. Barangkali karena sebelumnya, di Jepang, tidak mungkin mendapat perlakuan serupa,” kenang Boediardjo dalam otobiografinya Siapa Sudi Saya Dongengi. Saat itu Boediardjo menjabat duta besar Indonesia untuk Kamboja.
Baca juga: Tahi Gajah Pangeran Kamboja
Namun, setelah itu sesuatu yang tidak terduga terjadi. Kala rakyat Kamboja menyanyi dan menari untuk Presiden Soeharto dan Ibu Tien, tiba-tiba saja Boediardjo jadi ketar-ketir.
“Astaga! Tiba-tiba ribuan orang Kamboja itu menyanyi dan menari gembira: Genjer-Genjer! Itu lagu rakyat Banyuwangi yang pernah dimanfaatkan oleh PKI untuk propaganda,” tutur Boediardjo.
Saat itu pengaruh komunis yang berasal dari Vietnam dan Tiongkok sudah cukup bertumbuh di Kamboja. Pangeran Sihanouk juga dikenal sebagai sahabat dekat Presiden Sukarno. Ia juga mengaggumi gagasan Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) ala Bung Karno. Maka tidak heran bila lagu Genjer-Genjer bisa sampai ke Kamboja.
Baca juga: Pencipta Lagu Genjer-genjer Anak Santri
Sebelum Genjer-Genjer diputar telah diperdengarkan pula lagu-lagu khas Indonesia seperti Maju Tak Gentar, Bengawan Solo, Pulau Bali, Burung Kakak Tua, dan sebagainya. Ini adalah tanda penghormatan dari pemerintah Kamboja selaku tuan rumah. Ketika lagu Genjer-Genjer berkumandang, seluruh anggota rombongan kepresidenan terkejut. Pasukan pengaman presiden bingung. Mereka ingin sekali menghentikan lagu jadah itu. Untunglah lagunya pendek sehigga cepat selesai.
Celaka bagi Boediardjo. Dalam amatannya, Soeharto tampak ikut terkejut. Raut keheranan terpancar dari wajah sang presiden. Boediardjo lekas berbisik kepada Soeharto. Ia mengaku salah dan minta maaf. Boediardjo merasa bertanggung jawab atas keteledorannya tidak meneliti lagu-lagu yang dinyanyikan dalam sambutan akbar itu. “Pak Harto diam saja dengan senyumnya yang misterius,” kata Boediardjo.
Kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto di Kamboja selama empat hari. Terlepas dari insiden Genjer-Genjer, hubungan diplomatik kedua negara berjalan ke arah yang lebih baik. Interaksi yang terjalin antara Pangeran Sihanouk dan Presiden Soeharto terlihat cukup akrab. Apalagi wajah keduanya memang agak mirip, seperti kakak-adik.
Baca juga: Ketika Presiden Soeharto Dijahili Pangeran Kamboja
Dalam Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973, tiada kesan berarti yang mengisahkan pengalaman perjalanan Soeharto di Kamboja. Buku yang mencatat agenda kerja Presiden Soeharto itu hanya menuliskan, “Kamis, 4 April 1968, Presiden dan Ibu Tien Soeharto beserta seluruh rombongan sore ini tiba kembali ke Jakarta, setelah mengadakan kunjungan kenegaraan ke Jepang dan Kamboja selama satu minggu.“
Bagaimana dengan nasib Boediardjo? Kurang lebih dua bulan setelah kunjungan Presiden Soeharto ke Kamboja, Boediardjo dipanggil pulang ke Jakarta. Siapa sangka, Soeharto malah mengangkat Boediardjo sebagai menteri penerangan. Sementara itu, lagu Genjer-Genjer jadi tembang yang terlarang dikumandangkan di Indonesia semasa pemerintahan Soeharto. Kamboja sendiri benar-benar menjadi rezim “Merah” ketika Jenderal Pol Pot berkuasa pada 1975.
Baca juga: Museum Tuol Sleng Kamboja Memaknai Kepedihan Bersama