Masuk Daftar
My Getplus

Drama Penangkapan Brigjen Soepardjo

Satu-satunya perwira tinggi dalam G30S itu berkali-kali meloloskan diri. Upaya pelariannya berakhir di atas loteng rumah seorang kopral.

Oleh: Martin Sitompul | 17 Des 2020
Brigjen Soepardjo beberapa saat setelah ditangkap. Sumber: Nationaal Archive.

Brigjen Mustafa Sjarief Soepardjo jadi buronan kelas kakap. Kodam V/Jaya  memasukkan namanya ke dalam daftar hitam pencarian. Soepardjo diburu karena dianggap bertanggung jawab dalam operasi makar Gerakan 30 September 1965 (G30S). Padahal, Soepardjo sebelumnya bertugas di Kalimantan Barat sebagai panglima Komando Tempur Ganyang Malaysia.

Soepardjo dalam kesaksiannya di Mahkamah Militer Luar Biasa: Perkara M.S. Supardjo, mencatat bahwa banyak sekali berita-berita suratkabar ibukota yang memberitakan dirinya. Termasuk pula foto-foto maupun reklame yang bertuliskan, “tangkap hidup atau mati Supardjo ex brigadir jenderal TNI adalah gembong Gestapu/PKI” dan sebagainya.

Dewan Revolusi yang berada di balik G30S, menempatkan Soepardjo sebagai orang kedua setelah Letkol Untung Sjamsuri. Untung sendiri telah dieksekusi mati pada akhir Maret 1966 di daerah Cimahi, Jawa Barat. Sementara itu, pemimpin PKI D.N. Aidit sudah lebih dulu dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah, diperkirakan itu terjadi pada November 1965.

Advertising
Advertising

Tersisa Sebatang Kara

Menurut Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Soepardjo merupakan satu-satunya pimpinan militer G30S yang belum berhasil diciduk sampai awal 1967. Di sisi lain, komplotannya sudah berhasil ditumbangkan atau diringkus. Melihat kenyataan tersebut, sosok Soepardjo memang perlu dicermati. Mengapa dia sanggup bertahan begitu lama?

“Sebagai seorang perwira tinggi berkualifikasi Rangers, ternyata hanya dia yang tetap bisa menunjukkan kemampuan. Sanggup berjuang sendirian dalam belantara Ibu Kota,” tulis Julius Pour. Terhitung, satu setengah tahun lamanya Soepardjo meloloskan diri sejak G30S meletus.

Baca juga: 

Drama Penangkapan D.N. Aidit

Soepardjo mulai menghilang setelah kemunculan terakhirnya di kawasan Halim Perdanakusuma pada awal Oktober 1966. Mula-mula. dia bersembunyi di sebuah rumah di belakang gedung hiburan Miss Cicih, Pasar Senen selama satu malam. Di daerah itu, Soepardjo berkenalan dengan beberapa orang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah seorang dari mereka bernama Saleh mengajak Soepardjo menetap di Cilincing, Jakarta Utara.

Selama empat bulan bermukim di Cilincing, Soepardjo tinggal berpindah. Mulai dari rumah Mayor (Laut) Suwardi, kemudian Kapten (Laut) Nandang, hingga sekali waktu di rumah Kopral (Udara) Sutarjo di Komplek AURI Halim Perdanakusuma. Atas bantuan Suwardi, Soepardjo berhasil memiliki KTP baru Kelurahan Semper dengan nama Sjarief.

Mengibuli Kalong

Untuk menangkap Soepardjo, Kodim 0501 Jakarta Pusat membentuk satuan tugas dengan sandi “Operasi Kalong” pada 16 Agustus 1966. Mendengar namanya, dapat ditebak operasi ini bergerak pada malam hari. Operasi Kalong dipimpin oleh Kapten (Inf.) Suroso, beranggotakan 8 intel dari kodim-kodim di wilayah Kodam V/Jaya.

Pada 24 Desember 1966, tim Operasi Kalong melancarkan operasi penyergapan. Namun, Soepardjo keburu mencium gelagat tidak aman sehingga dia berhasil meloloskan diri. Meskipun demikian, anggota Satgas Operasi Kalong berhasil mengetahui tempat persembunyian Soepardjo.

Keesokan hari, upaya penyergapan kedua dilancarkan. Satgas Operasi Kalong bekerja sama dengan beberapa anggota Angkatan Laut yang tinggal di daerah sekitar persembunyian Soepardjo. Operasi kedua ini dilakukan dengan sangat hati-hati sekaligus dipersiapkan sebagai hadiah “Natal”. Lagi-lagi Soepardjo gagal diringkus.

Baca juga: 

Kado Natal 1000 Gulden

“Rupanya Soepardjo memiliki feeling yang tajam dan gerakan yang licin bagaikan belut. Ia kembali berhasil meloloskan diri dari upaya penyergapan,” tulis Ki. Onto Bogo dalam “Operasi Unik: Penyergapan Gembong PKI Ex Brigjen Supardjo” termuat di majalah Senakatha, No. 19, Oktober 1994.

Setelah berhasil mengelabui pemburunya, Soepardjo bergegas meninggalkan daerah Cilincing. Soepardjo menuju kawasan Halim Perdanakusuma dengan menyamar sebagai pedagang radio keliling. Penyaramarannya cukup apik. Jenderal bintang satu ini berpakaian layaknya pedagang keliling berkopiah hitam dan berkacamata. Soepardjo yang berperawakan gagah dan berkumis sedang itu menggunakan nama samaran: Ibrahim.

Tertangkap di Loteng

Setiba di Halim, Soepardjo menumpang di rumah seorang kenalannya bernama Kopral Udara Sutarjo yang tinggal di Komplek AURI Rajawali. Sutarjo meyediakan kamar khusus yang berfungsi sebagai kamar kerja maupun kamar tidur bagi Soepardjo. Namun, bila sewaktu-waktu situasi tidak aman, Soepardjo tidur di atas loteng yang diatur sedemikian rupa. Di tempat ini pula Soepardjo menyimpan risalah yang ditulisnya sendiri bertajuk “Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja ‘G-30-S’ Dipandang dari Sudut Militer”. 

Satgas Operasi Kalong terus membuntuti Soepardjo. Kapten Suroso memimpin langsung operasi penangkapan sekaligus menjalin kerja sama dengan Komandan Pangkalan AU Halim Perdana Kusuma Kolonel (Udara) Rusman. Untuk itu, AURI  memperbantukan 4 intel dan 8 anggota Polisi Militer Angkatan Udara. Sejak itu, Satgas Operasi Kalong beranggotakan 20 orang. 

Baca juga: 

Derita Pasukan Karbol AURI

Memasuki Idul Fitri, 12 Januari 1967, Satgas Operasi Kalong bergerak dari markasnya di bilangan Tanah Abang menuju Halim pukul 03.00. Pukul 05.00, tim menggerebek kediaman Kopral Sutarjo. Kapten Suroso memerintahkan anak buahnya memeriksa setiap penjuru rumah. Setelah semua kamar digeledah, buronan yang dicari tidak ketemu.

Kapten Suroso kemudian memerintahkan Sersan Sukirman dan Peltu Rosadi naik ke atap untuk memeriksa loteng. Dalam keadaan remang temaram, Peltu Rosadi melaporkan adanya benda putih tergeletak di sudut loteng. Sementara itu, Kapten Suroso mendengar bunyi gesekan kaki di atap yang mencurigakan. Untuk memastikan, Peltu Rosandi diperintahkan sekali lagi naik ke atap dan menyergap. Setiba di loteng terjadilah percakapan antara Peltu Rosandi dan Brigjen Soeparjo.

“Kalau manusia harap menyerah, tetapi kalau bukan akan saya tembak,” seru Peltu Rosandi. Mendengar ancaman itu, Soepardjo memperlihatkan diri dan membalasnya dengan jawaban, “ya, saya menyerah,” sebagaimana terkisah dalam Senakatha. Supardjo berhasil ditangkap hidup-hidup dalam suatu penggerebekan setengah jam yang mencekam.

Setelah diringkus, Soepardjo diangkut panser ke markas Kodim 0501. Kedua belah tangannya diborgol. Ketika memasuki anak tangga depan kantor Kodim, sebagaimana dicatat juru warta TVRI Hendro Subroto dalam Dewan Revolusi PKI, keringat mengucur dari wajah Soepardjo sambil tangannya bergetar. Soepardjo kemudian dihadapkan kepada Komandan Kodim 0501 Letkol Sudjiman yang dulu pernah jadi anak buahnya.   

Baca juga: 

Meringkus Soepardjo, Sang Jenderal Buronan

Penangkapan Soepardjo, seperti disebutkan Ki Onto Seno melahirkan guyonan, “Baru dalam sejarah, ada jenderal diterkam kalong di atas loteng rumah.” Sementara itu, berbagai media ibukota ramai-ramai memberitakannya sebagai hadiah Lebaran bagi umat Islam Indonesia. Namun, Oei Tjoe Tat, menteri Kabinet Dwikora dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno agaknya meragukan peran Soepardjo sebagai otak di balik G30S.

Menurut Oei, Soepardjo pernah menyampaikan kepadanya tentang adanya golongan yang serius dengan konfrontasi dan ada golongan yang cuma pura-pura saja demi duit. “Sekiranya benar, ia tidak berniat berontak terhadap pemerintahan Sukarno,” kata Oei.

TAG

jenderal soepardjo

ARTIKEL TERKAIT

Evolusi Angkatan Perang Indonesia Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Dicopot dari Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani Santai Sudirman dan Bola Sehimpun Riwayat Giyugun Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Pengemis dan Kapten Sanjoto Jenderal Disko Ancaman Pemakzulan Gubernur Jenderal VOC