Pada April 1965, seorang Armenia bertubuh tinggi langsing, rambut dan kumis mulai beruban, bersikap aristokratis, tidak menarik perhatian banyak orang. Di Kedutaan Besar Uni Soviet pun hanya beberapa orang dalam yang tahu bahwa orang itu berpangkat jenderal, anggota Dinas Intelijen Uni Soviet.
Jenderal Agayants, kepala departemen berita-berita palsu, datang ke Indonesia untuk mengawasi sendiri operasi rahasia yang sedang berlangsung. Dia merasa puas dengan hasil Operasi Palmer.
Dinas Intelijen Cekoslowakia menunggangi gerakan anti-Amerika Serikat dengan menjadikan Bill Palmer sebagai korban. Kepala American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI) itu dituduh agen CIA. Sehingga, dia di-persona non grata, AMPAI ditutup, dan impor film-film Amerika Serikat dihentikan.
“Hubungan Indonesia-Amerika telah mencapai taraf yang sangat gawat. Bukan Palmer saja yang menghadapi kesulitan,” kata Ladislav Bittman, agen Dinas Intelijen Cekoslowakia, dalam Permainan Curang: Peranan Intelijen Cekoslowakia dalam Perang Politik Uni Soviet.
Baca juga: Operasi Palmer Dinas Intelijen Cekoslowakia di Indonesia
Sukarelawan Peace Corps dari Amerika Serikat di Indonesia juga dituduh agen-agen CIA. Pada pertengahan April 1965, pemerintah Indonesia meminta mereka menghentikan kegiatannya. Perpustakaan-perpustakaan USIA (United States Information Agency) juga ditutup. Pemerintah juga mengambil alih pimpinan perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan minyak milik Amerika Serikat.
Setelah kembali ke Uni Soviet, Jenderal Agayants memerintahkan siaran luar negeri Radio Moskow untuk menyiarkan mengenai kegiatan mata-mata Amerika Serikat di Indonesia, di antaranya menyebut Palmer sebagai agen CIA kawakan yang tertangkap basah.
Operasi Tahap Berikutnya
Jenderal Agayants kemudian mengirim telegram persetujuan ke Dinas Intelijen Cekoslowakia di Praha untuk operasi tahap berikutnya, yang disebut Rencana Bersama Inggris-Amerika Serikat untuk menyerbu Indonesia (British-American Joint Plan to Invade Indonesia).
“Palmer tidak memainkan peranan pada tahap ini,” kata Bittman.
Menurut Bittman, rencana ini dikemukakan oleh Mayor Louda, penggagas Operasi Palmer, dengan pertimbangan “Presiden Sukarno telah matang untuk menerima setiap bukti baru mengenai komplotan Amerika Serikat. Mari kita berikan itu kepadanya supaya senang.”
“Sebuah dokumen palsu, berupa laporan dari duta besar Inggris di Jakarta kepada Kementerian Luar Negeri Inggris, akan digunakan sebagai bukti. Dokumen palsu ini diteruskan kepada dr. Soebandrio,” kata Bittman.
Duta besar Inggris itu adalah Sir Andrew Gilchrist sehingga disebut Dokumen Gilchrist. Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio menerima surat berisi dokumen itu pada 15 Mei 1965.
“Saya orang pertama yang menerima Dokumen Gilchrist, sudah tergeletak di meja kerja saya dalam keadaan terbuka, mungkin karena telah dibuka salah seorang staf saya,” kata Soebandrio dalam Kesaksianku Tentang G30S.
Baca juga: Mulai Gilchrist Sampai WikiLeaks
Stafnya melaporkan bahwa surat itu dikirim kurir mengaku bernama Kahar Muzakar. Surat itu tanpa identitas dan alamat. “Namun, berdasar informasi yang kemudian saya terima, dokumen tersebut awalnya disimpan di rumah Bill Palmer,” kata Soebandrio.
Dokumen itu ditemukan di rumah Bill Palmer di Gunung Mas, Puncak, Bogor, ketika digerebek oleh pemuda pada 1 April 1965.
Menurut wartawan senior Kompas, Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang, kalau dicermati, kurang logis bahwa surat rahasia antara dua diplomat senior Inggris, tindasannya justru disimpan oleh orang Amerika Serikat.
Surat Gilchrist itu ditujukan kepada Sir Harold Caccia, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Kerajaan Inggris.
Soebandrio kemudian menugaskan Kepala Staf BPI Brigjen Pol. Raden Soegeng Soetarto untuk membandingkan surat itu dengan jenis surat yang pernah diambil dari reruntuhan Kedutaan Besar Inggris dua tahun lalu. Pada 16 September 1963, massa yang berdemonstrasi membakar Kedutaan Besar Inggris di Jakarta sebagai bentuk penolakan terhadap pembentukan Federasi Malaysia.
Dari reruntuhan itu, BPI menemukan dokumen kajian strategis, seperti mengenai rivalitas antarangkatan dalam ABRI, dan analisis Gilchrist yang menyebut posisi Sukarno bagaikan tikus terpojok.
Baca juga: Demo Rusuh Tolak Federasi Malaysia
Menurut Julius Pour, Soetarto memastikan jenis kertas Dokumen Gilchrist sama dengan surat resmi Kedutaan Besar Inggris. Namun, dia memberikan catatan bahwa belum jelas siapa yang dimaksud dengan local army friends (sahabat Amerika Serikat di Angkatan Darat) dan terdapat kesalahan tata bahasa sehingga diragukan penulisnya diplomat Inggris.
Sebelumnya, Soetarto melaporkan kepada Soebandrio mengenai informasi sejumlah jenderal Angkatan Darat yang tidak loyal, khususnya dalam kebijakan Ganyang Malaysia. Pada saat informasi itu sedang didalami, Soebandrio menerima surat berisi Dokumen Gilchrist.
Soebandrio mengabaikan catatan Soetarto. Dia meyakini dokumen itu otentik. Sebab, sebelumnya beredar buku mengenai rencana Inggris dan Amerika Serikat menyerang Indonesia.
“Saya selaku Kepala BPI telah mengerahkan petugas intelijen untuk melakukan pengecekan. Hasilnya membuat saya merasa yakin, dokumen tersebut otentik,” kata Soebandrio.
Namun, Soebandrio menegaskan, lepas dari asli tidaknya, Dokumen Gilchrist merupakan upaya provokasi pertama untuk memainkan Angkatan Darat dalam situasi politik di Indonesia yang tidak stabil. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal.
Baca juga: Memburu Subandrio
Soebandrio melaporkan Dokumen Gilchrist kepada Sukarno pada 26 Mei 1965. Sukarno segera memanggil semua panglima angkatan untuk menanyakan tentang our local army friends, apakah ada kesatuan yang harus dicurigai.
Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI Achmad Yani menjawab tidak perlu. Kalau secara perseorangan, Yani memang menugaskan Mayjen TNI Soewondo Parman dan Brigjen TNI Soekendro berhubungan dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris untuk mencari informasi yang harus dilaporkan kepadanya.
Mengenai Dewan Jenderal, Yani menjawab memang ada, malah dia sendiri yang memimpinnya. Yang dimaksud Yani adalah Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi) yang bertugas membahas kenaikan pangkat dan jabatan tinggi di Angkatan Darat.
Menurut Julius Pour, selesai rapat, Sukarno mengumumkan bahwa memiliki bukti pihak imperialis merencanakan serangan terbatas ke Indonesia untuk membunuh dirinya, Soebandrio, dan Achmad Yani. Serangan itu untuk menggagalkan Konferensi Asia Afrika II di Aljazair pada Juli 1965.
Diumumkan di Kairo
Konferensi Asia Afrika II ditunda karena terjadi kudeta di Aljazair. Sukarno yang dalam perjalanan menuju Aljazair terdampar di Mesir. Di sana, dia memerintahkan Soebandrio untuk menyebarkan Dokumen Gilchrist kepada pers internasional.
Bittman menyebut, kemungkinan besar Soebandrio dan Sukarno sepakat untuk tidak mengumumkannya di Indonesia, melainkan dalam pertemuan pemimpin Asia dan Afrika di Aljazair, untuk memberikan arti dan publisitas yang lebih besar kepada dokumen itu.
“Ketika Konferensi Asia Afrika itu diundurkan, Sukarno dan Soebandrio memutuskan untuk mengumumkan dokumen itu pada akhir kunjungan mereka ke Kairo,” kata Bittman.
Koran Al Ahram, 5 Juli 1965, memuat fotokopi Dokumen Gilchrist dan keterangan Soebandrio bahwa dengan diundurnya Konferensi Asia Afrika II, dia memutuskan untuk mengungkapkan dokumen rahasia itu di Kairo. Sehingga seluruh dunia mengetahui bahwa sikap Indonesia terhadap Malaysia semata-mata untuk mempertahankan diri. Maksud lain untuk memberi tahu dunia mengenai untuk apa Inggris mempunyai pangkalan militer di Singapura dan Malaysia.
Soebandrio menambahkan, beberapa dokumen lain mengenai rencana operasional yang akan dilancarkan Inggris dengan bantuan Amerika Serikat juga telah dirampas. Inggris merencanakan serangan ke Indonesia setelah Konferensi Asia Afrika II di Aljazair. Serangan itu akan dilancarkan dari Malaysia, yang berdekatan dengan Sumatra; dari Singapura, pangkalan militer Inggris terbesar di Asia; dan dari daerah-daerah Kalimantan Utara yang berada di bawah kontrol Inggris.
Baca juga: Membebaskan Tjakrabirawa di Aljazair
Penguasa Inggris dan Amerika Serikat menyangkal keras dokumen itu. Marsekal Sir John Grandy, pemimpin angkatan perang Inggris di Timur Jauh, menyebut tuduhan itu omong kosong.
“Tetapi sanggahan-sanggahan Inggris dan Amerika itu hanya menambah panasnya situasi saja. Sanggahan-sanggahan itu dianggap sebagai tipu muslihat untuk menyelimuti maksud-maksud mereka yang agresif,” kata Bittman.
Pada akhirnya, Inggris tidak menyerang Indonesia. Konflik bersenjata pasukan Indonesia dan Inggris hanya terjadi di Kalimantan dalam rangka Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Dan yang terjadi adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 dengan dalih untuk menggagalkan kudeta oleh Dewan Jenderal yang dianggap sebagai our local army friends.
Julius Pour menyebut bahwa Dokumen Gilchrist masih selalu dipertanyakan sebab belum terjawab tuntas. Catatan CIA pada 1968 yang sudah dideklasifikasi menyebut tiga pihak yang diduga ingin Sukarno segera menindak sejumlah jenderal Angkatan Darat yang tidak loyal. Dugaan CIA, salah satu dari tiga pihak itu membuat dokumen palsu sebagai pemicu: Soebandrio, PKI, atau Dinas Rahasia Republik Rakyat China.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
Sementara itu, menurut pengakuan Bittman, dokumen palsu itu dibuat oleh Dinas Intelijen Cekoslowakia dengan arahan dari Uni Soviet. Dokumen itu disampaikan melalui saluran duta besar Indonesia yang disebut Polan, bukan nama sebenarnya, hingga akhirnya sampai di tangan Soebandrio.
Mengapa Dinas Intelijen Cekoslowakia beroperasi di Indonesia? Dalam pengantar bukunya untuk edisi Indonesia tahun 1973, Bittman mengungkapkan, pada waktu itu tidak seorang pun mengetahui bahwa Cekoslowakia, sebuah negara kecil di Eropa, telah ikut serta dalam permainan politik di Indonesia.
Indonesia bukan ancaman bagi kepentingan Cekoslowakia di bidang ekonomi, politik, dan militer. “Tetapi Dinas Rahasia Cekoslowakia, seperti halnya dinas rahasia negara-negara satelit Soviet yang lain, adalah alat Soviet,” kata Bittman.
Di bawah pengawasan penasihat-penasihat Uni Soviet, lanjut Bittman, departemen informasi palsu Dinas Intelijen Cekoslowakia merencanakan kampanye penipuan dan propaganda untuk menggambarkan Amerika Serikat sebagai musuh utama dan kambing hitam bagi semua kesulitan dalam negeri Indonesia. Informasi palsu itu tidak diberitahukan kepada orang PKI karena model ideologi, pelindung, dan penasihatnya Partai Komunis China, bukan Partai Komunis Uni Soviet.
“Sebagai akibatnya, pengaruh Amerika menjadi lemah dan kedudukan Soviet menjadi semakin kuat,” kata Bittman.
Mayor Ladislav Bittman alias Brychta kemudian menyeberang ke Amerika Serikat pada 1968 setelah Uni Soviet menyerang Cekoslowakia.